Isu perkosaan yang merangkai kerusahan Mei 1998, hingga kini tetap jadi perdebatan. Banyak yang menyangsikan bahwa adanya perkosaan politis dan sistematis menargetkan perempuan WNI Keturunan. Namun banyak pula yang percaya peristiwa itu benar-benar terjadi.
Nunik Iswardhani, menuliskannya sebagai berikut
Usai meliput di Monumen Mahatma Gandhi dan Museum Jawaharlal Nehru di New Delhi, saya menuju Wisa Duta Kedutaan Besar Republik Indonesia di kawasan Chanakyapuri, New Delhi, India.
Petang itu pada akhir Mei 2011 lalu, saya diterima Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk India, Letnan Jenderal (Purn) Andi Muhammad Ghalib.
“Shubh sundhyaa. Aapka swaagat hai!” katanya dalam bahasa India. Ia tersenyum dan meminta saya membuka kamus bahasa India. Ungkapan itu berarti selamat malam dan selamat datang.
Salah satu obrolan malam itu seputar peristiwa kerusuhan Mei 1998. Ghalib pada Mei 1998 masih sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) ABRI, dengan pangkat mayor jenderal. Hampir tiga tahun ia menyandang pangkat mayor jenderal dalam usia menjelang 53 tahun. Jabatan sebelumnya adalah Oditur Jenderal ABRI istilah lain untuk jaksa agung militer.
Namun pertanyaan saya bukan dalam kapasitasnya sebagai Oditur Jenderal ABRI maupun Kababinkum ABRI, melainkan sebagai Jaksa Agung. Ia dilantik Presiden BJ Habibie sebagai Jaksa Agung pada 15 Juni 1998. Sekaligus dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jenderal. Sebuah hadiah hari kelahirannya ke 53 tahun.
Salah satu pertayaan saya yang membuat dia harus bolak balik ke meja kerjanya, seputar isu perkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998. “Bohong itu! Merusak citra Indonesia di mata dunia. Ada orang Cina yang kurangajar membuat cerita palsu di Amerika,” kata Ghalib. Ia meminta saya menghubungi Letnan Jenderal (Purn) Moetojib, jika sudah kembali ke Jakarta.
Ghalib pun menceritakan sebagai jaksa agung mendapatkan laporan tentang berita bohong (hoax dalam istilah sekarang) tersebut. Termasuk berkoordinasi dengan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Letnan Jenderal (Purn) Moetojib dan Kepala Polri, Letnan Jenderal Polisi Roesmanhadi.
Ia kemudian memperlihatkan dokumen dari FBI, Biro Penyelidik Amerika. Lembaga itu menyatakan bahwa kasus perkosaan massal merupakan modus penipuan dari sejumlah warga keturunan Cina di Indonesia untuk mendapatkan suaka politik. Dokumen tersebut didapatnya saat menjadi anggota DPR RI pada 2004.
Dokumen FBI 2004 itu, menurut Ghalib memperkuat hasil tim khusus yang dibuat pemerintah BJ Habibie pada 1999. Dalam laporan tim, tidak ditemukan data-data dan fakta-fakta, baik di rumah sakit, maupun apartemen yang disebutkan telah terjadi perkosaan massal itu.
Ya, FBI melaporkan dalam sebuah operasi dengan nama sandi Operation Jakarta. Mereka menangkap 26 anggota sindikat pemalsu dokumen suaka. Operasi rahasia dilakukan serentak di lebih dari 10 negara bagian di Amerika Serikat.
“Pemimpin sindikat ini adalah Hans Guow, WNI keturunan Cina, ” kata Jaksa Penuntut Wilayah Virginia, Paul J McNulty yang menangani kasus ini.
Kami membaca dokumen rahasia itu di ruang makan keluarga , sambil makan malam ditemani Andi Murniati, istri Andi Muhammad Ghalib.
Itulah operasi yang dilakukan terhadap sejumlah WNI keturunan Cina yang meminta suaka politik dengan alasan menjadi korban perkosaan dalam peristiwa Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya.
Setelah menyelidiki selama dua tahun, pada Senin, 22 November 2004 satuan tugas rahasia pemerintah Amerika Serikat menggelar operasi tersebut. Para tersangka dikenai tuduhan sama, yakni memalsukan dokumen suaka serta berkonspirasi dalam pemalsuan berbagai dokumen.
Awalnya, mereka hanya membantu menyediakan dokumen asli tapi palsu. Setelah berhasil mengelabui pihak berwenang dengan memalsukan izin kerja dan nomor jaminan sosial, mereka mulai menyiapkan aplikasi suaka politik palsu.
Menyiapkan skenario pengakuan palsu seperti diperkosa atau dianiaya dalam kerusuhan Mei 1998. “Cerita tentang penyiksaan itu sangat seragam, karena para pencari suaka menghafalkan kata demi kata secara persis seperti yang diajarkan,” kata Jaksa McNulty.
Mereka pun mengajari kliennya untuk menangis meraung-raung dan memohon dengan emosional untuk mengundang simpati petugas. Banyak yang menceritakan kisahnya begitu sama persis. Misalnya, diperkosa sopir taksi. Pengakuan itu meluncur dari mulut 14 perempuan WNI keturunan Cina yang mengajukan permohonan suaka sejak 31 Oktober 2000 hingga 6 Januari 2002.
“Mereka mengaku diperkosa karena sebagai WNI keturunan Cina,” kata Dean McDonald, agen spesial dari Biro Imigrasi dan Bea Cukai Kepabeanan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat di negara bagian Virginia.
Voice of Amerika juga membuat liputan investigatif tentang isu perkosaan massal itu. Mereka keluar masuk berbagai lokasi yang dicurigai sebagai tempat kejadian perkara perkosaan massal, dan mencoba mewawancarai berbagai pihak. Tapi hasilnya nihil!
Memang ada kasus perkosaan, tetapi bukan massal. Bukan hanya pada Mei 1998. Hampir tiap bulan juga ada kasus perkosaan di sejumlah tempat di Jakarta dan lainnya. Kasus kriminal biasa. Hasil penyidikan FBI akhirnya membongkar kebohongan itu.
Itulah salah satu isu dahsyat tentang pemerkosaan massal atas para perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan Mei 1998. Dengan sistematis mereka meniupkan isu tentang isu perkosaan itu, dengan berbagai cerita di berbagai media, dengan berbagai cara dan sarana, baik di dalam dan luar negeri.
Yang paling kontroversial adalah kisah hoax yang diceritakan seorang gadis keturunan Cina bernama Vivian. Cerita palsu itu muncul pada pertengahan Juni 1998. Di situ ia mengaku tinggal bersama orang tuanya di lantai 7 sebuah apartemen di kawasan Kapuk, Jakarta Utara.
Saat penyerbuan itu mereka memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangga-tetangganya. Kisahnya ditulis secara deskriptif, detail dan menyentuh, sehingga mampu membangkitkan emosi. Bahkan Majalah Jakarta-Jakarta mengutip cerita perkosaan itu. Sayang sekali majalah tersebut menyebarkan berita hoax yang mempermalukan bangsa Indonesia.
Di internet pun muncul foto-foto berisi gambar para korban kerusuhan Mei 1998. Sejumlah website memuat foto-foto yang luar biasa sadis dan mencekam, seolah-olah sebagai foto kerusuhan Mei 1998 dan korban-korban perkosaan massal itu.
Tayangan tersebut mengundang emosi luar biasa bagi etnis Cina di seluruh dunia. Mereka menuduh orang-orang Cina di Indonesia akan dibinasakan, seperti kasus The Rape of Nanking, saat pendudukan Jepang ke Cina, pada 1937.
Setelah pengakuan Vivian itu, para wartawan dalam dan luar negeri berupaya menelusuri petunjuk tersebut, Hasilnya nihil. Hal yang sama dialami aparat kepolisian dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), hasilnya pun sama, nihil!
Warga di sekitar apartemen yang disebut sebagai tempat tinggal Vivian menjawab, tidak ada dan tidak pernah terdengar adanya remaja putri Cina yang diperkosa saat kerusuhan Mei 1998. Beberapa saksi malah menyebutkan, mereka sudah kabur ke luar negeri sebelum peristiwa kerusuhan itu.
Seperti saran Ghalib, saya pun menemui Moetojib saat kembali ke Jakarta. Ceritanya pun sama. Bangsa Indonesia dipermalukan WNI keturunan Cina yang membuat berita bohong.
Jadi, jika masih ada yang percaya tentang kasus perkosaan massal terhadap WNI keturunan Cina pada Mei 1998, segera beranguslah dari pikiran busuk itu.
Komentar saya:
Pada tahun 1998 itu saya sudah grounded, melepaskan kerja sebagai redaktur acara Derap Hukum di SCTV dan fokus mengasuh putra saya yang masih balita …jadi saya selalu tertarik dengan isu-isu seputar peristiwa 1998 yang langka informasinya di internet dan buku putihnya belum ada (?) atau belum disosialisasikan ke masyarakat luas …
saya ada membaca artikel-artikel tentang perkosaan massal itu … kalau tidak salah aktivis Ita Fathia Nadia yang mengurus hotline pengaduannya. (ftr)
Sumber: http://www.gemarakyat.id/perkosaan-massal-98-terhadap-perempuan-tionghoa-ternyata-hoax-motif-apa-di-balik-hoax-itu/#