KEPRES REPELITA IV
Presiden Soeharto dihadapan pimpinan MPR/DPR/DPA dan sejumlah Menteri tgl. 19 Maret yl. menandatangani naskah Repelita IV dan sekaligus menjadikannya Keppres No. 21 tentang Repelita IV. Dengan demikian Repelita IV yang akan dimulai dari 1 April 1984 telah lengkap mempunyai landasan hukum dan politis.
Dari keterangan Menteri/Ketua Bappenas Dr. Sumarlin di Bogor diperoleh kesan bahwa berbagai masukan dari kalangan2 universitas, lembaga penelitian dan masyarakat luas melalui mass media telah dipertirnbangkan dan diolah sehingga naskah Repelita IV memperoleh bentuk final dalam Keppres No. 21.
Sudah tentu bukan merupakan maksud pemerintah bahwa dengan keluarnya Keppres Repelita IV maka diskusi mengenai Pelita IV sudah selesai.
Ini penting karena dalam pelaksanaan Repelita IV akan bisa diperkirakan bahwa berbagai masalah akan muncul. lni wajar, karena seperti dinyatakan dalam Repelita IV ia adalah rencana indikatif dan dengan begitu ia cukup lugas dan elastis. Tentunya disini dengan batasan2 pokok yang jelas seperti tingkatan pertumbuhan yang diperkirakan, secara nasional maupun sektoral.
Juga jelas bahwa berbeda dengan Repelita III, Repelita IV mempunyai target2 yang eksplisit mengenai perbaikan kwalitas hidup manusia sebagai mana tercermin pada target peningkatan usia rata2 kehidupan dan penurunan tingkat kematian bayi.
Jadi apakah yang masih perlu diperbincangkan dan disempurnakan? Implementasi dari Keppres Repelita IV ini memerlukan rentetan kebijaksanaan yang tidak dengan sendirinya bisa ditemui dalam Keppres itu sendiri meski pengarahannya tentunya ada.
Misalnya rencana Investasi selama Pelita IV yang berkisar disekitar 25-26% dari Produksi Domestik Kotor, dan rencana bahwa bagian dari sektor masyarakat (Swasta, Koperasi, BUMN) berada disekitar 46-48% dari total Investasi, keduanya membutuhkan kebijaksanaan diberbagai sektor. Pengefisienan kerja bank-bank (Negara, Swasta, dan Asing) sebagai financial Intermediary mengandaikan pengelolaan yang lebih kompetitif dan masa2 yang lampau.
Tidak cukup dengan penghapusan pagu kredit, sebenarnya kompetisi mendapat giral pun harus semakin adil diantara ketiga komponen bank itu. Selanjutnya bagaimanakah strategi peningkatan tabungan agar bisa dicapai investasi yang begitu besar?
Apakah tingkat suku bunga Tabanas yang 15% per tahun ini perlu ditingkatkan secara berarti sehingga ia menyaingi suku bunga deposito bank-bank?
Selanjutnya pola hidup bagaimana yang diperlukan bagi kenaikan tingkat tabungan pada skala nasional ?.
Di sini politik impor kitapun memerlukan pembahasan yang lebih kritis. Meski benar bahwa komponen impor barang konsumsi semakin sedikit dibandingkan impor barang modal dan bahan baku, jumlahnya tetap tinggi.
Bahkan bila dibandingkan dengan masih banyaknya anggota masyarakat kita yang belum memenuhi kebutuhan pokoknya secara cukup, maka penciutan impor barang2 konsumsi dapat dipertanggung jawabkan.
Tentu saja bila kita sungguh2 ingin meningkatkan investasi seperti dinyatakan dalam Keppres Repelita IV, penciutan impor tidak sekedar melarang buah2 apel dan peer masuk (itu pun selektif) tapi jauh lebih mendasar dari itu.
Bahkan struktur industri perlu ditinjau secara lebih kritis. Ini karena banyak sekali industri substitusi impor yang hingga kini mengenyam proteksi namun tidak menunjukkan perbaikan yang berarti di segi efisiensi, pengembangan management, dan pengelolaan pembiayaan.
Akibat yang ditimbulkan adalah bahwa masyarakat sebagai konsumen harus membayar jauh lebih mahal dari harga ekonomis barang dan dengan begitu dana untuk tabungan dan investasi menjadi semakin berkurang.
Penggambaran di atas bukanlah dimaksud untuk mengabaikan Keppres Repelita IV, karena di dalamnya sebenarnya jelas sekali petunjuk pelaksanaan demi Repelita IV di berbagai sektor dan segi. Oleh Repelita IV misalnya dinyatakan kehendak yg kuat untuk menyederhanakan berbagai peraturan dan perizinan.
Liberalisasi Perbankan 1 Juni 1983 merupakan salah satu kebijaksanaan yang senafas dengan kehendak Pemerintah. Namun di segi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang terdiri dari Perum dan Perjan serta Persero, nampaknya tidak bisa lain diperlukan suatu penglihatan yang lebih kritis. Tidak berhenti di sini berbagai kemudahan2 dari BUMN (terutama bagi Persero yang punya saingan berupa Swasta) sudah diketahui menimbulkan kejanggalan2 dalam harga relatif.
Kejanggalan hargarelatif dari segi ekonomi diartikan bahwa pasar belum bekerja secara efisien. Ini terjadi karena adanya oligopoli tersembunyi dimana pasar dikuasai beberapa kalangan saja. Adanya kecenderungan oligopoli ini sebenarnya tidak terbatas pada barang2 yang dikuasai oleh negara saja tapi juga di fihak swasta.
Sudah masanya kini kalau berbagai bentuk oligopoli (yang sepintas lalu membuat akumulasi lebih cepat) dikurangi. Caranya memang tak semudah mengatakannya. Namun disitulah letak tantangannya bagi masyarakat dan pemerintah.
Di jangka panjang mengurangi berbagai bentuk oligopoli ini akan punya arti yang lebih strategis bagi proses pembangunan nasional dan proses integrasi masyarakat dan bangsa. Jakarta, 24 Maret 1984. (RA)
…
Bogor, Business News
Sumber : BUSINESS NEWS (26/03/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 547-549.