KORUPTOR RP 23 MILYAR TETAP DIHUKUM 10 TAHUN

KORUPTOR RP 23 MILYAR TETAP DIHUKUM 10 TAHUN

Presiden Tolak Grasi Endang Wijaya

Presiden Soeharto menolak permohonan pengampunan hukuman (grasi) terpidana Presiden Direktur PT Jiwa Building Indah & Co Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias Atjai (54 tahun) atas hukuman penjara 10 tahun karena melakukan korupsi Rp 23 milyar, demikian pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jumat pagi menyatakan kepada "SH".

Keputusan Presiden nomor 41/G tahun 1984 itu berarti memperkuat keputusan yang telah diambil Mahkamah Agung RI untuk tetap menetapkan hukuman penjara 10 tahun.

Saat ini Endang Wijaya berada di dalam tahanan Inrehab/Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya, Jakarta Timur. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 6 Juli 1981 menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun atas diri Endang Wijaya karena terbukti menyalahgunakan kredit Bank Bumi Daya (BBD) yang mengakibatkan negara rugi Rp 23 milyar.

Semula Endang Wijaya ditahan di Kejaksaan Agung kemudian dipindahkan ke RTM Budi Utomo. Jakarta Pusat Majelis Hakim yang dipimpin Sumadijono SH pada 28 Nopember 1979 mengijinkan Endang Wijaya ditahan di luar dan menempati rumah kontrakan di Jalan Tosari 79 Menteng, Jakarta Pusat.

Tetapi beberapa hari kemudian atas perintah Panglima Laksusda Jaya Mayjen TNI Norman Sasono (saat itu – Red) Endang Wijaya diciduk dari jalan Tosari dan dikembalikan ke RTM Budi Utomo. Karena gedung RTM Budi Utomo dibongkar ia dipindahkan ke RTM Nirbaya.

Lembaga Pemasyarakatan

Peradilan dari Atjai ini cukup unik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim yang dipimpin Sumadijono SH dan hakim anggota Tengku Ismu Azhar SH dan John Z Loudu SH diganti dengan majelis yang baru dipimpin Slamet Riyanto SH dan anggota Ali Budiarto SH dan Achmad Intan SH.

Ketiga majelis hakim terdahulu kemudian ditindak team Operasi Tertib (Opstib) Kopkamtib dan Menteri Kehakiman Ali Said SH (saat itu – Red). Sedangkan peradilan atas diri Atjai kembali diulangi dengan hakim majelis baru pimpinan Slamet Riyanto SH.

Atjai ditahan sejak 13 September 1977 dan pada sidang yang ke 132 kalinya ia dijatuhi vonis 10 tahun penjara. Endang Wijaya naik banding ke Pengadilan tinggi tetapi di instansi ini putusan sebelumnya diperkuat.

Kemudian ia kasasi ke Mahkamah Agung namun tanggal 19 September 1983 majelis tingkat kasasi tetap menghukumnya penjara 10 tahun.

Setelah upaya hukum habis Endang Wijaya mengajukan permohonan pengampunan hukuman kepada Presiden Soeharto. Tetapi Presiden setelah mempertimbangkan pendapat dari Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung menetapkan menolak grasi Endang Wijaya.

Setelah adanya penolakan Presiden ini maka eksekusi terhadap koruptor Endang Wijaya akan dilakukan pihak kejaksaan sesuai dengan KUHAP.

Menurut KUHAP Endang Wijaya diharuskan menjalani masa pidananya (hukumannya) di Lembaga Pemasyarakatan dan bukan di rumah tahanan lagi

Kasus Pluit

Peradilan Endang Wijaya ini terkenal dengan nama "Kasus Pluit" yang menerima kredit puluhan milyar dari Bank Bumi Daya untuk membangun rumah mewah di kawasan Pluit, Jakarta Utara.

Dalam putusan pengadilan dikatakan Endang Wijaya setelah memperoleh kepercayaan penuh dari pemerintah DKI Jakarta untuk membangun perumahan mewah di Pluit Dalam usahanya sebagai Direktur Utama PT. Jawa Building Indah dalam proyek perumahan tsb ia telah memberi honor kepada beberapa pejabat Pemda DKI antara Rp 50.000 sampai Rp 100.00 setiap bulannya sebagai maksud untuk memperlancar segala tugas2nya dalam pembangunan tsb.

Hadiah2 antara lain diberikan kepada Ketua Badan pelaksana Otorita Pluit BPO/Wali kota Jakarta Utara Dwinanto kemudian kepada Ketua Harian Badan Pelaksana Otorita Pluit Ir.S. Manti, Kepala Bidang Umum Badan Pelaksana Otorita Pluit Heru Suko SH dan lain2.

Endang Wijaya telah pula memberikan hadiah rumah kepada beberapa pejabat tertentu misalnya sebuah rumah di Jl. Pluit Putera II kepada Camat Penjaringan waktu itu dan masih Banyak hadiah2 lain berupa mobil, tanah, dan tiket2 keluar negeri.

Untuk memperoleh fasilitas2 dan kelonggaran2 yang tidak wajar dari pihak Bank Bumi Daya telah memberikan hadiah berupa barang atau uang kepada pejabat bank tsb antara lain R.S. Natalegawa.

Direktur Kredit BBD, Martoyo Koento SH, Direktur Bidang Pengawasan dan RAB Massie sebagai Dirut BBD Oleh Atjai pejabat2 BBD dengan berbagai cara juga diberi hadiah rumah di Jl Pluit Samudra Raya.

Dalam menghindari pembayaran atau untuk mendapat keringanan pajak menggunakan neraca BPO Pluit.

Proyek Raksasa

Dalam kerja sama dengan BPO Pluit Atjai berkewajiban melaksanakan proyek dan menyediakan modal serta prasarananya, sedangkan BPO Pluit menyediakan tanahnya.

Dari hasil penjualan rumah2 yang akan dibangun itu nantinya 5 persen menjadi bagian BPO Pluit.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya Atjai banyak melakukan penyimpangan2 atas perjanjian kerja yang dilakukan dengan bekerja sama pejabat2 BPO Pluit sendiri maupun dengan pihak BBD yang menyediakan kredit untuk pembangunan proyek raksasa tsb.

Bekas Wali kota Jakarta Utara Dwinanto Prodjosupadmo yang menjadi Ketua BPO Pluit ikut diseret ke pengadilan di Mahkamah Militer Tinggi II Barat pada tahun 1983 yl.

Dwinanto yang dicopot dari jabatan Wali kota akibat keterlibatannya dalam kasus ini oleh Mahkamah Militer dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman 2 tahun 4 bulan penjara.

Pada persidangan ini terungkap tindakan2 Dwinanto yang selalu memberikan kesempatan pada Atjai untuk mencari keuntungan dengan mempergunakan nama Pemda DKI hingga akhirnya menimbulkan kerugian2 kepada negara.

Misalnya pemasukan mesin keruk dari Singapura yang dalam proses impornya se-akan2 dimasukkan oleh BPO Pluit untuk kepentingan Pemda DKI. Tetapi nyatanya mesin bernilai milyar rupiah itu adalah se-mata2 untuk kepentingan PT. Jawa Building Indah milik Atjai.

Dari bea masuknya saja negara dirugikan sebesar Rp 340 juta, karena dapat pembebasan dari Ditjen Bea Cukai sesuai permohonan Gubernur DKI, Ali Sadikin (saat itu-Red).

Meloloskan Kredit

Terungkapnya manipulasi dalam pemberian kredit untuk proyek Pluit menyingkap tabir Direktur Kredit BBD R Sanson Natalegawa (53) yang ternyata berperanan meloloskan kredit tanpa memenuhi ketentuan2 perbankan.

Natalegawa segera pula diadili dengan tuduhan korupsi. Kembali terungkap manipulasi kredit sampai puluhan milyar rupiah.

Bunga pinjaman pertama saja belum dipenuhi, pinjaman berikut tetap diberikan dengan jaminan yang tidak jelas. Sebagai imbalan kecuali rumah mewah di Pluit. Atjai telah mengirimkan peralatan2 beratnya memperbaiki rumah Natalegawa di luar kota dan bantuan2 lainnya bersifat barang maupun jumlah uang.

Bahkan terungkap pula sebagian dari kredit untuk Pluit itu ternyata dipergunakan Atjai untuk proyek2 lain dalam pengembangan usahanya di bidang perkayuan. Sekalipun Bank Indonesia telah melarang pemberian kredit untuk proyek2 perumahan berupa real estate. Natalegawa tetap menyalurkan kredit kepada Atjai.

Sidang juga mengungkapkan, Atjai bisa ikut rapat Direksi BBD dalam menentukan kreditnya, suatu hal yang jelas merupakan pelanggaran karena rapat tsb adalah intern direksi.

Namun Majelis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan dakwaan jaksa tidak terbukti dan membebaskan Natalegawa dari semua tuduhan. Atas putusan itu Jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang akhirnya menghukum Natalegawa selama 2,5 tahun karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Mahkamah Agung juga kemudiannya dengan mengadili sendiri menghukum Natalegawa selama 2,5 tahun, hingga akhirnya Natalegawa mengajukan permohonan grasi ke Presiden. Grasinya pada 18 Juni 1984 dikabulkan Presiden dan sebagian dari sisa hukumannya tidak perlu dijalani lagi. (RA)

Jakarta, Sinar Harapan

Sumber : SINAR HARAPAN (21/09/1984)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 813-817.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.