PAK HARTO UNGKAPKAN TENTANG “YOGYA KEMBALI”

PAK HARTO UNGKAPKAN TENTANG “YOGYA KEMBALI”

 

 

Presiden Soeharto selaku bekas Komandan Wehrkreise III Yogyakarta yang melakukan serangan umum 1 Maret 1949, Selasa siang mengukuhkan kepengurusan Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta dan pembentukan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dalam acara ramah-tamah kekeluargaan di Jalan Cendana itu hadir sebagian besar tokoh penting yang memegang peranan pada serangan umum 1 Maret 1949. Tampak, antara lain, Prof Dr. J.B. Sumarlin, Vence Sumual, Amir Moertono, Sutopo Yuwono, Martono, Radius Prawiro, Nani Sudarsono dan GPB Djatikusumo.

Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta (WK III) diketuai oleh Sutopo Yuwono dan Yayasan Serangan Umum 1Maret 1949 diketuai oleh Nichlany Soedardjo.

“Sebagai orang-orang yang memasuki usia senja hendaknya kita tidak mengejar kebahagiaan material. Sisa hidup ini harus diisi dengan kebutuhan batin sebagai bekal ke akhirat nanti,” kata Pak Harto.

Selaku sesepuh Paguyuban, ia berkata: “Hendaknya paguyuban ini digunakan untuk saling mengingatkan anggota agar memanfaatkan sisa-sisa hidup secara efektif dalam mencapai cita-cita hidup.”

“Sebelum kita meninggalkan dunia yang mana ini, kita harus mewariskan kebaikan-kebaikan kepada generasi muda. Warisan itu adalah menanamkan pentingnya beriman, berilmu dan beramal,” kata Pak Harto.

“Kita akan merasa lega jika telah mewariskan kebaikan-kebaikan itu, karena mereka akan meneruskan perjuangan kita yang belum selesai.”

Yogya Kembali

“Apakah Pak Harto sebagai yang bertanggung jawab atas pertahanan Ngayogyakarta merasa pernah menanda tangani penyerahan Ngayogyakarta,” tanya Letjen (Purn) Djatikusumo yang pada peristiwa itu berpangkat Kolonel.

“Tidak pernah,” kata Pak Harto yang waktu itu berpangkat Letkol. “Saya selaku Komandan WK III tidak mau melakukan timbang terima dengan Belanda yang mundur dari Yogya, karena saya berpendirian, jika serah terima itu dilakukan, berarti memberi pengakuan terhadap Belanda,” kata Pak Harto.

“Saya menganggap Yogyakarta tidak pernah dikuasai Belanda sepenuhnya. Belanda hanya menguasai titik-titik tertentu saja. Buktinya pada waktu itu saya masih bebas masuk dan berjalan-jalan di dalam kota Yogyakarta,” kata Pak Harto.

“Kalau Belanda mau mundur ya silakan mundur saja, tidak usah pakai serah terima segala,” kata Pak Harto. “Pada, waktu itu Polisi yang berada di bawah komando saya juga saya larang melakukan serah terima dengan Belanda,” tambahnya.

Ketika Belanda hendak mundur, menurut Pak Harto, Sri Sultan pernah menanyakan kepadanya, tentang keamanan Yogyakarta setelah Belanda menarik diri.

“Saya ketika ditanya soal itu, memberi jaminan bahwa Yogyakarta akan tetap aman, karena sebelum Belanda pergi, pos-pos pasukan saya sudah tersebar di berbagai tempat di dalam kota,” kata Pak Harto.

“Setelah Belanda mundur, saya sengaja demonstrasi untuk menunjukkan bahwa keamanan sepenuhnya bisa dijamin. Polisi saya suruh berbaris memasuki kota dari arah barat dengan genderang,” kata Pak Harto.

Diungkapkan, penolakan serah terima oleh Letkol Soeharto itu semangat menimbulkan salah paham dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sri Sultan kemudian mengirim surat pada April 1949 yang isinya “Letkol Soeharto, kalau tidak mau membantu saya, maka mandat ini akan saya kembalikan.”

“Wah mati saya. Ini salah paham,” ujar Pak Harto. Untuk menjelaskan strategi pasukannya, April 1949 Pak Harto datang sendiri menemui Sri Sultan di Yogyakarta. “Akhirnya Sri Sultan mengerti keinginan saya,” ujar Pak Harto.

Istilah “Yogya Kembali” sebagaimana akan diabadikan pada nama monumen yang dibangun di Yogyakarta, oleh Pak Harto dikatakan, artinya berbeda dengan “Yogya dikembalikan”.

Yogya kembali berarti fungsi Yogyakarta sebagai Ibukota RI (pada waktu itu) dikembalikan. “Jadi jangan keliru antara istilah kembali dan dikembalikan,” ujar Pak Harto.

Dalam kesempatan acara ramah-tamah itu Ibu Tien menyerahkan sumbangan 2 buah kendaraan mini bus Toyota Kijang kepada Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949. Sultan Hamengkubuwono IX berhalangan hadir, ia diwakili oleh Paku Alam VIII. (RA)

 

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (29/10/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 440-442.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.