“TANGGAP WARSO” KE-66 USIA PAK HARTO KADO ULANG TAHUN UNTUK BAPAK BANGSA

“TANGGAP WARSO” KE-66 USIA PAK HARTO KADO ULANG TAHUN UNTUK BAPAK BANGSA

Jakarta, Pelita

Soeharto, anak Pak Tani dari Desa Kemusuk-Argomulyo, Kecamatan Sedayu Bantul, dekat Yogyakarta dan sekarang Presiden Republik Indonesia menurut Kepala Humas MPR Drs. Muchtar Said adalah satu-satunya orang yang diusulkan untuk dicalonkan kembali jadi Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 1988-1993.

Sebanyak 398 pernyataan mengusulkan pencalonan Pak Harto itu, 321 antaranya disampaikan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui surat dan 77 buah oleh para delegasi yang secara langsung datang menemui pimpinan MPR.

Dari 77 delegasi itu, 26 adalah utusan dari 26 DPRD Tingkat I, lainnya dari berbagai organisasi dan perkumpulan.

Hari ini tanggal 8 Juni 1921, persis 66 tahun yang silam, Pak Harto di lahirkan desa Kemusuk, dari keluarga Pak Tani yang sehari-harinya bertugas mengurus air untuk persawahan rakyat banyak.

Mengayati Kehidupan Petani

Pak Kertodiredjo, ayah Pak Harto, bukanlah seorang kaya, karena memang tidak mempunyai sebidang  tanah pun. Bahkan juga tidak mempunyai seekor ternak apa pun. Jadi yang dikerjakannya adalah tanah orang lain, begitu juga ternak seperti kambing dah sapi yang digembalakannya, adalah milik orang lain.

Soeharto kecil dengan sendirinya mengalami dan menghayati sepenuhnya kehidupan susah sebagai anak Pak Tani. Ia bergelimang luluk dan lumpur di sawah.

Dia menggembalakan kerbau, kambing dan ternak lainnya, untuk membantu orang tuanya supaya kehidupan ala-kadarnya dapat dinikmati dengan sewajarnya.

Dari latar belakang yang demikian, tidaklah mengherankan jika Soeharto yang kelak kemudian hari jadi Presiden Republik Indonesia, memusatkan lebih perhatiannya terus menerus ke lapangan hidup pertanian, dengan tujuan mengangkat martabat para petani.

Hasil dari kegigihan dan kesungguhan Presiden Soeharto itu dibuktikan dengan terciptanya surplus di bidang pangan, yang telah menarik perhatian seluruh dunia dan telah dimanifestasikan secara faktual dalam persidangan di Roma langsung oleh Presiden Soeharto sendiri.

Kepemimpinan Pak Harto berpegang teguh dengan pelaksanaan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen, sehingga segala usaha dari pihak manapun untuk menyelewengkan dan menyalahtafsirkan UUD I945, selalu gagal dan dapat digagalkan secara tepat.

Begitu juga mengenai landasan sikap mental, yang merupakan kemurnian pengabdian kepada kepentingan rakyat banyak, selalu jadi penghayatan tugas kepemimpinan Pak Harto yang dikerjakan bersungguh-sungguh dengan penuh kebijaksanaan.

Seluruh dunia mengakui, bahwa pembangunan secara teratur dan berencana baru bisa dilaksanakan di Indonesia hanya di zaman Soeharto mulai memegang tampuk pimpinan negara.

Hal yang demikian adalah wajar dan logis, karena situasi dan kondisi sudah mengizinkan. Segala kegiatan gontok-gontokan sudah dapat dihentikan. Adu balap agitasi dan bombastis sudah dapat ditiadakan.

Banyak partai yang mempertele-telekan persoalan juga sudah bisa diakhiri, dan permainan intrik yang menjadikan masyarakat luas jadi sasaran, juga sudah sangat berkurang. Sehingga usaha pembangunan dapat lebih terarah dan berhasil.

Penghayatan  Ajaran  Islam

Bahwa Pak Harto seorang Muslim sejati, ini tak diragukan dan bisa dilihat dari latar belakang asal usul keturunannya di desa Kemusuk itu. Masa kecil Anak Pak Tani dari desa Kemusuk ini adalah penyertaannya dengan Kepanduan Hizbul Walhan (HW), kerajinan dan ketekunannya mengaji. Al-Qur’an dan belajar soal-soal agama Islam.

Soeharto remaja sering berpuasa Senin dan Kamis, sering menyendiri untuk mengenal diri lebih jauh, yang oleh sebagian orang disebut bertapa, bersemadi atau lain sebagainya.

Pokoknya, pangkat tolaknya adalah ajaran Islam, dikerjakan dengan keyakinan dan diamalkan dengan penuh kepercayaan oleh Soeharto.

Setelah menjadi pemimpin bangsa dan negara dengan kedudukan sebagai Presiden Republik Indonesia Pak Harto menghendaki kerukunan hidup antar umat beragama dan itu sampai sekarang ini tercapai dengan baik.

Menurut Laksamana (P) Darwis Adnan, salah seorang bekas Ajudan Senior Presiden Soeharto, sejak tahun 1967 ketika Pak Harto masih Pejabat Presiden Pak Harto yang dilihatnya dengan mata sendiri adalah seorang insan yang taat beribadat kepada Allah.

Pak Harto dilihatnya menunaikan shalat fardhu lima waktu sehari semalam. Laksamana Darwis Adnan dalam tugasnya sebagai Ajudan mempersiapkan segala keperluan Pak Harto menunaikan  sholat fardhu itu serta diiringi dengan shalat sunnat.

Sebagai seorang Muslim, Pak Harto ketika menunaikan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi telah menggunakan kesempatan untuk melakukan ibadah Umroh, disertai oleh Ibu Tien dan anggota rombongan yang lain.

Dengan kehadiran Pak Harto dan lbu Tien di Ka’batullah, melakukan Thawaf dan Sai, mencium Hajar Aswad dan lain-lain syarat serta rukun dalam menunaikan Umroh, menunjukkan bahwa Pak Harto dan ibu Tien adalah seorang Muslim dari Muslimah yang telah memberi arti khusus atas penghayatannya terhadap ajaran Islam.

Kehadiran Pak Harto di berbagai shalat ldul fitri dan Idul Adha, begitu juga dalam Peringatan Isra’Mi’raj, Malam Nuzulul Qur’an dan lain-lain hari bersejarah dalam Islam, juga menambahkan bukti tentang kesungguhan Pak Harto sebagai seorang Muslim.

Dalam masa Pak Harto memimpin negara, telah banyak surau, madrasah dan sekolah agama yang dapat bantuan. Begitu juga lebih dari 200 masjid baru didirikan oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang diketuai Pak Harto sendiri, disamping ribuan pembangunan dan perbaikan masjid yang juga tidak terlepas dari bantuan pak Harto.

Begitu juga Presiden memberikan bantuan tetap kepada desa-desa di seluruh Indonesia. Semua itu merupakan refleksi penghayatan seorang pemimpin bangsa dan panggilan jiwa keagamaannya. Kehidupan keluarga dasar pokok.

Sesudah jadi Presiden, kenapa Pak Harto tidak tinggal di istana? Itu pertanyaan yang keluar dari mulut orang banyak, karena cintanya kepada Presiden Republik Indonesia itu.

Laksamana Darwis Adnan mengatakan, bahwa di tahun 1968, waktu bertugas sebagai ajudan dalam waktu senggang, dia telah menanyakan hal itu kepada Pak Harto. Apa jawab Pak Harto?

“Istana itu terlalu besar, ruangan-ruangannya terlalu luas, pekarangannya pun begitu dan tempat itu adalah tempat kediaman resmi. Jadi sukar bagi Bapak untuk lebih memusatkan diri kepada keluarga, walau di waktu lapang sekalipun.

Oleh sebab itu, Bapak memilih tempat kediaman  di rumah Bapak di Jalan Cendana saja. Bisa kumpul dengan anak cucu kapan saja, tidak terlalu terikat dengan semua keresmian. Sebab kehidupan berkeluarga yang harmonis, tenang dan tenteram adalah dasar pokok untuk melakukan kepemimpinan yang lebih luas, seperti memimpin negara.”

Itulah sikap Pak Harto, setelah beliau memainkan peranan penting sejak mudanya sampai melalui saat krisis dan kritis tahun 1965/1967, sehingga jadi Presiden di tahun 1968. Sampai sekarang, sudah berjalan masa lebih 22 tahun ,Pak Harto tetap memilih tempat kediamannya di Rumah No. 8, Jalan Cendana dan hanya mempergunakan lstana untuk segala acara yang resmi saja.

Suka Memancing

Menurut Pak Harto, kegemaran dan kesukaannya memancing adalah biasa saja, tetapi dibarengi dengan sikap, bahwa waktu memancing itu diperlukan ketenangan, konsentrasi, santai dan yang serupa dengan itu.

Jika tidak ada konsentrasi, tidak tenang, tidak santai, ikan tidak akan menyentuh umpan. Sebaliknya jika ikan menyentuh umpan, kemudian mata pancing mengait sang ikan, biar besar atau kecil sekalipun, waduh nikmatnya bukan main.

Begitulah kisah Pak Harto yang gemar memancing ikan.

Seperti ditulis oleh Dr. O.G Roeder dalam buku “The Smiling General” yang terjemahannya sesudah direvisi berjudul “Anak Desa”. Pak Harto sering mengutip pribahasa Jawa, yaitu: “Kebijaksanaan dapat menaklukkan kedzaliman”.

Dengan latar belakang itu, kita dapat memahami cara Pak Harto menjalankan kebijaksanaannya, yang selalu lemah lembut, disertai dengan senyum, tidak bombastis dalam pidato dan percakapan, malahan menghadapi tetamunya dengan pembawaan kerendahan hati yang ditampilkan secara jujur dan ikhlas. Resultannya menimbulkan kekaguman dan menarik simpati teman bicaranya jauh lebih besar dari yang diduga.

Sejak perkawinan Pak Harto dengan lbu Tien tanggal 26 Desember 1947 di Solo, ketika Pak Harto berumur 26 tahun dan lbu Tien 24 tahun, kini telah mempunyai 6 orang anak dan beberapa cucu.

Mengenai kehidupan putera-puteri Pak Harto, terutama dalam bidang yang menyangkut keagamaan pada umumnya sudah diketahui masyarakat. Ada puterinya yang aktif dalam urusan menanggulangi bencana alam dan berbagai penderitaan yang menimpa rakyat banyak, di mana atas nama Yayasan Gotong Royong disalurkan bantuan kepada masyarakat yang kena musibah.

Setiap bulan Ramadhan,  seperti juga di hari-hari baik lainnya, putera-puteri Pak Harto mengadakan wirid dan pengajian secara tetap dan teratur, mengeluarkan zakat dan sedekah yang diwajibkan menurut hukum agama dan saling mengunjungi dengan jiran, tetangga, untuk saling berkenalan dan bermaafan.

Demikianlah kita menyertai Pak Harto dan seluruh keluarga beliau bergembira menyambut dan memperingati serta merayakan “tanggap warso” (ulang tahun) Pak Harto yang ke 66, bertepatan dengan hari Senin tanggal 8 Juni tahun 1987 ini.

Semoga panjang umur, selalu diberi Allah rahmat dan nikmat-Nya dan tetap dalam perlindungan-Nya.

Sumber: PELITA (08/06/1987 )

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 787-790

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.