TAJUK RENCANA: YANG BENAR ADALAH BENAR, YANG SALAH ADALAH SALAH
Jakarta, Suara Karya
SALAH satu syarat pokok untuk bisa menjadi bangsa yang besar, maju, dan berkepribadian serta berintegritas tinggi adalah keberanian dan kemampuan untuk dengan lapang dada melihat kelemahan-kelemahan, dan belajar dari kelemahan kelemahan itu melakukan perbaikan-perbaikan.
Kearifan yang amat mendasar itulah yang ditegaskan Presiden Soeharto, dalam amanatnya pada Hari ABRI ke-43, 5 Oktober kemarin.
“Kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Dengan mengatakan yang benar adalah benar, kita akan dapat terus melanjutkannya dengan penuh keyakinan. Dengan mengatakan yang salah adalah salah, kita akan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan penuh kesadaran.
Dengan sikap itu, pelajaran yang kita petik dari sejarah masa lampau akan memberi makna yang positif bagi kita semua, bukan menjadi beban yang berkepanjangan,” kata Presiden menegaskan.
LEPAS dari bentuk dan cara penyampaian yang bisa langsung atau tidak, berselimut atau terbuka, melalui isyarat atau terang-terangan, serta halus atau kasar, keberanian dan kemampuan untuk mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, pada hakikatnya sudah merupakan bagian dari tradisi bangsa ini.
Sesuai dengan tradisi setempat, ada bagian dari masyarakat bangsa yang menyampaikan hal itu secara langsung dan terus terang. Dan, ada pula yang menyampaikannya secara tidak langsung, atau melalui isyarat-isyarat. Namun, tujuannya pada hakikatnya sama. Memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga seluruh bangsa bisa menjadikan yang benar sebagai pegangan dan yang salah sebagai pelajaran.
BAGI siapa saja dan pihak mana saja, yang memang ingin agar bangsa ini bisa dan mampu menjadi besar, berkepribadian dan berintegritas tinggi, maka pengungkapan apa yang benar dan apa yang salah itu, seyogyanya diterima dengan hati terbuka dan menjadikannya sebagai peringatan dan masukan untuk mawas diri guna menghindarkan terjadi kesalahan berikutnya.
Bila kasus pemberontakan PKI di Madiun diambil sebagai contoh, ketidakmampuan atau keteledoran bangsa ini untuk mengatakan bahwa tindakan PKI itu salah, dan kemudian tidak pula mengambil langkah-langkah preventif untuk menghindarkan berulangnya kejadian itulah yang melapangkan jalan bagi lahirnya G 30S/PKI.
Kemungkinan berulangnya malapetaka nasional yang sifatnya sama, baik yang bersumber pada sisa-sisa G30S/PKI maupun pada sumber-sumber yang lain, bukan terlalu mustahil bila bangsa ini tidak belajar dari sejarah. Dalam arti, tidak punya kemampuan dan keberanian untuk mengatakan apa yang dianggap salah ditinjau dari prinsip-prinsip dan norma-norma berdasarkan asas yang kita sepakati bersama: Pancasila dan UUD 1945.
OLEH sebab itu, demi menghindarkan bangsa ini terjerumus lagi ke jurang malapetaka, barangkali sudah waktunya lebih ditingkatkan pengembangan iklim yang mendorong berkembangnya pula keberanian dan kemampuan secara sehat untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, seperti ditegaskan Presiden. Tanpa itu, kita khawatir dalam masyarakat kita akan cenderung berkembang sikap hipokratik yang merupakan titik awal dari suatu proses menuju jurang malapetaka.
Sumber : SUARA KARYA (06/10/1988)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 427-428.