PEMBANGUNAN (BAGIAN IV) (Dikutip dari Buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”)

PEMBANGUNAN (BAGIAN IV) (Dikutip dari Buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”)

 

 

Jakarta, Pelita

DIBANDINGKAN dengan Ketetapan MPRS No. II Tahun 1960 tentang Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang lampirannya berjilid-jilid maka ketetapan yang kemudian digunakan sebagai landasan operasional Pembangunan Nasional Tahap 1969-1974 ini hanya terdiri dari 10 bab. Meskipun demikian, isinya mencakup tahapan-tahapan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang dengan tekanan pada pembangunan ekonomi cukup mengandung harapan-harapan. Dapat dirasakan getaran-getaran semangat pragmatisme di dalamnya berimbang dengan idealisme yang tinggi.

Menggunakan bahasa yang sederhana untuk menggambarkan skala prioritas nasional dalam program jangka pendek, ketetapan ini hanya menghendaki pengendalian inflasi, pencukupan kebutuhan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekspor dan pencukupan kebutuhan sandang, sedangkan untuk program jangka panjang skala prioritas diletakkan pada bidang pertanian, bidang prasarana dan bidang industri.

Sidang Umum MPRS tahun 1968 dalam sejarah Orde Baru sangat menentukan arah perjuangan yang diletakkan pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dua buah ketetapan yang penting ditetapkan oleh Sidang Umum ini yaitu tentang tugas pokok Kabinet Pembangunan dan Pengangkatan Presiden Republik Indonesia.

Wakil-wakil rakyat Indonesia di lembaga tertinggi ini, secara aklamasi mengangkat pengemban Ketetapan MPRS No. IX tahun 1966 (Pak Harto) sebagai Presiden Republik Indonesia dan dilantik pada tanggal 27 Maret 1968.

Pak Harto kemudian membentuk Kabinet Pembangunan yang I pada tanggal 6 Juni dimana salah satu tugas pokoknya adalah menyusun dan melaksanakan rencana pembangunan lima tahun. Kabinet yang hanya terdiri dari 18 Departemen itu-pun dilantik empat hari kemudian yakni pada tanggal 10 Juni 1968.

Sesuai dengan tugas yang diberikan oleh MPRS, Kabinet segera mengambil ancang-ancang menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada tanggal 16 Agustus 1968 Presiden Soeharto tampil di hadapan sidang paripuma DPR-GR dan menyampaikan pidato kenegaraan yang penting. Pak Harto meyakinkan para anggota Dewan bahkan kepada seluruh rakyat tentang jawaban apa yang harus diberikan bagi perbaikan keadaan negara yang memang menuntut tindakan cepat.

 

Pak Harto Menegaskan

“Satu-satunya jawaban yang tepat untuk memperbaiki keadaan kita sekarang adalah pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun dengan sungguh-sungguh dan dengan mengerahkan seluruh daya dan kekuatan Bangsa yang tersedia. Saya juga minta pengertian, bahwa Pembangunan Lima Tahun yang akan datang baru merupakan tahap pertama dari serangkaian pembangunan nasional yang masih harus, kita lakukan.”

Dengan dilaksanakannya permulaan pembangunan dalam tahun depan, maka hal itu tidak berarti bahwa keadaan dengan “mendadak” menjadi berubah. Tahun depan merupakan masa peralihan, dari berakhirnya program stabilisasi dan rehabilitasi yang kita selesaikan tahun ini dengan masa permulaan dari-pada pembangunan dalam arti yang sebenarnya.

“Pembangunan Nasional, Pak Harto melanjutkan, harus kita laksanakan tahun depan, tidak ada lagi waktu dan alasan untuk menunda-nunda lebih lama lagi. Penundaan berarti akan membawa akibat-akibat yang lebih parah bagi kita semuanya. Disamping itu, sukses atau gagalnya pelaksanaan pembangunan yang akan datang akan merupakan taruhan bagi martabat kita sebagai suatu Bangsa yang merdeka.”

“Melaksanakan pembangunan, memerlukan persiapan yang matang dan cermat. Yang penting adalah apakah kondisi dan suasana negara dan bangsa telah siap dan memungkinkan untuk melaksanakan Pembangunan Lima Tahun. Dasar untuk itu sebenarnya telah kuat, karena sidang-sidang umum MPR (ke-IV tahun 1966, ke V tahun 1968) dan sidang istimewa tahun 1967 telah membuat keputusan-keputusan strategis di bidang ekonomi dan politik yang menurut Pak Harto merupakan perubahan total dari kebijaksanaan yang ditempuh oleh Pemerintah sebelumnya.”

Langkah-langkah penataan segi-segi kehidupan bangsa yang merupakan satu tindakan rekonstruksi Nasional dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru selama hampir dua tahun sejak kelahirannya, meliputi hampir segala bidang telah ikut menciptakan kondisi yang baik.

Rekonstruksi Nasional seperti itu ternyata punya akibat yang positif. Terjadi perubahan-perubahan dalam tata nilai masyarakat, pola berpikir, dan yang penting perubahan sikap mental. Ini penting sekali dalam rangka persiapan pembangunan. Dewan Perancang Nasional dalam menyusun Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana juga menyinggung masalah mental ini. Dikatakan bahwa untuk lancarnya pelaksanaan pembangunan semesta maka seluruh masyarakat Indonesia harus mengadakan perobahan mental secara radikal lebih dulu.

Sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu, maka perobahan sikap mental yang diinginkan adalah cara berpikir masyarakat yang dipengaruhi oleh cara berpikir liberal kolonial diganti dengan cara berpikir gotong royong dan demokrasi terpimpin.

Dalam sejarah pembangunan semesta, ternyata demokrasi terpimpin yang tidak berakar pada Pancasila, sifatnya yang otokratis dan indoktrinatif dan selalu berorientasi pada politik ternyata mempengaruhi sikap mental masyarakat. Karena Nasakom mengkotak-kotakkan masyarakat dalam ideologi yang satu sama lain bertentangan, maka kegotong-royongan cermin kepribadian dan nilai pergaulan tidak tercipta, sebaliknya terjadi gontok-gontokan antara sesama kelompok yang dalam konteks pembangunan justru diperlukan persatuan dan kesatuan sebagai satu potensi tenaga rakyat.

Orde Baru sejak awal, meniupkan angin segar bagi perobahan sikap mental itu, dari definisi Orde Baru suatu tatanan kehidupan Negara dan Bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen dalam dirinya mengandung tekad merobah sikap dan pola berpikir masyarakat yang dalam periode Orde Lama telah dicekoki dengan macamĀ­macam indoktrinasi. Ungkapan yang menggambarkan tekad itu terdapat dalam kalimat “Re-orientasi dari orientasi politikke orientasi program”

Hanya dalam waktu kurang lebih dua tahun, akibat penataan yang terarah, maka cara berpikir masyarakat mulai mengalami perubahan yang nyata. Keadaan ini, disampaikan oleh Pak Harto sendiri dalam sidang paripurna DPR-GR, 16 Agustus 1968.

“Kita dahulu, ungkap Pak Harto, berpikir secara abstrak, sekarang kita berani melihat semua masalah secara riil. Kita dahulu sangat emosional sekarang kita telah lebih rasional. Kita dahulu ditekan dari atas secara otokratis, sekarang kebebasan tumbuh dari bawah secara demokratis.

Dahulu segala-galanya ditentukan dari atau oleh Pemerintah, sekarang kita merasakan kebebasan dan memberikan kesempatan pada inisiatip masyarakat. Dahulu, kita mendewakan politik, sekarang kita mencurahkan perhatian pada perbaikan ekonomi”.

Hal-hal di atas yang dikemukakan oleh Pak Harto adalah gambaran umum perobahan pola berpikir dan sikap mental yang merupakan satu kemajuan yang sangat penting. Kemajuan dalam cara berpikir seperti ini pada gilirannya akan mendorong kemajuan dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya.

Cara berpikir yang rasional juga akan membuat seseorang lebih kritis melihat semua persoalan, membikin orang bertambah sadar akan kekurangan dan kelemahan, mendahulukan apa yang perlu didahulukan. Sikap mental Orde Baru yang beginilah- pragmatis dan idealistis dapat menciptakan kondisi siap membangun.

Maka setelah segala persyaratan pelaksanaan pembangunan yang basis dipenuhi dan kondisi masyarakat telah siap-fisik dan mental, Pak Harto pun siap dan pada tanggal 31 Maret 1969 pemimpin Orde Baru ini seakan meniupkan sangkakala memaklumkan kepada bangsanya. Rencana Pembangunan Lima Tahun yang pertarna dimulai Pak Harto membubuhkan tanda tangannya pada undang-undang APBN 1969-1970 di Istana Merdeka, dalam satu upacara yang sederhana namun khidmat.

Dari Istana yang punya latar belakang sejarah yang panjang itu, Pak Harto menghubungkan dirinya dengan rakyatnya melalui satu ungkapan:

“Pada saat-saat yang menentukan masa depan Bangsa ini, saya akan berbicara langsung dengan seluruh rakyat Indonesia”.

Maka, dalam suasana yang hening hari itu suara Pak Harto terdengar di seluruh pelosok Tanah Air:

Besok, 1 April 1969, kita mulai melaksanakan pekerjaan Nasional yang besar, yaitu tahun pertama REPELITA. Hal ini berarti bahwa perjalanan Bangsa kita telah memasuki tonggak sejarah yang baru kelanjutan yang meningkat dari tahap perjuangan Orde Baru, yaitu pelaksanaan Pembangunan. (Besambung)

 

 

Sumber : PELITA (04/04/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 112-115.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.