BUSH DIHARAPKAN BERIKAN PENGERTIAN KESULITAN PINJAMAN RI

BUSH DIHARAPKAN BERIKAN PENGERTIAN KESULITAN PINJAMAN RI

 

 

Jakarta, Suara Karya

Pemerintah Indonesia mengharapkan agar Presiden AS (Amerika Serikat) George Bush memberikan pengertian kepada warga negaranya yang duduk sebagai pejabat dalam berbagai “board of directors” lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Intemasional (IMF) mengenai kesulitan yang dialami Indonesia sehubungan dengan meningkatnya jumlah pinjaman akibat apresiasi berbagai mata uang. Harapan itu disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pertemuan dengan Presiden George Bush, Jumat lalu di Gedung Putih.

Dalam keterangannya kepada wartawan dalam perjalanan kembali ke Tanah Air, Senin pagi, Presiden Soeharto menyatakan, warga AS yang duduk dalam board of directors di lembaga-lembaga keuangan internasional kurang mengerti kesulitan yang dihadapi bagi kelanjutan pembangunan.

Nilai pinjaman Indonesia saat ini membengkak dalam tingkat Rp 3,2 trilyun atau 1,9 milyar dolar akibat apresiasi mata uang asing.

Tentang pinjaman itu, Presiden mengatakan bahwa Indonesia masih mempunyai kemampuan untuk sepenuhnya membayar pinjaman-pinjaman yang telah jatuh tempo. “Indonesia tidak sedikit pun berniat ngemplang hutang-hutangnya, “ kata Presiden. Dan ia yakin bahwa kesanggupan itu Indonesia tidak kehilangan kepercayaan dari negara­ negara penyedia dana. Lain halnya dengan sejumlah negara Amerika Latin yang mengambil kebijakan sepihak dengan tidak mau memenuhi kewajibannya sehingga menanggung risiko pinjaman berhenti dan modal dalam negeri lari ke luar. Bagi Indonesia, pinjaman yang diperoleh dimanfaatkan untuk mengamankan pembangunan.

 

Pinjaman Lunak

Presiden mengatakan bahwa semua pinjaman yang diterima pemerintah seluruhnya pinjaman lunak dengan jangka waktu yang panjang, bunga-rendah, dan mempunyai masa tenggang waktu. Pemerintah tidak menerima pinjaman komersial yang memberikan konsekuensi pembayaran yang berat.

Kepala Negara menggambarkan beratnya beban hutang yang dialami oleh sejumlah negara Amerika Latin karena pinjaman komersial yang berjangka pendek, berbunga tinggi dan tidak memberikan tenggang waktu. Banyak negara Amerika Latin yang tidak mampu membayar kembali pinjamannya kepada bank-bank komersial, akibat hutang-hutang itu tidak tertagih kepada bank lain dengan potongan harga atau discount yang sangat besar, mulai dari 40 persen sampai 95 persen.

Menteri Keuangan AS, Nicholas Brdy mengemukakan gagasan untuk membantu negara-negara Amerika Latin dalam mengurangi beban mereka. Gagasan itu berupa bantuan keuangan dari IMF untuk membeli surat tagihan yang diperjual belikan. Namun, menurut Presiden, kebijakan demikian tidak berpengaruh bagi Indonesia, karena Indonesia tidak menggunakan pinjaman komersial.

 

Hak Asasi

Tentang stabilitas nasional, Presiden menegaskan bahwa pembangunan yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi serta pelaksanaan pemerataan memerlukan stabilitas nasional yang mantap. Stabilitas yang diperlukan bukan mengurangi kebebasan hak asasi orang maupun golongan.

“Tidak mengurangi tetapi semuanya memang dikehendaki agar supaya memperhatikan stabilitas nasional untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan”, kata Presiden .Dengan pembangunan itu dapat diupayakan pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan untuk memperbaiki taraf hidup rakyat. Stabilitas merupakan kondisi yang mutlak diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan nasional diberbagai bidang.

Dikatakan lebih lanjut, pembangunan nasional merupakan amanat rakyat yang harus diamankan agar bisa terlaksana dengan baik. “Jadi, dalam keadaan bagaimana pun, pembangunan harus bias jalan,” katanya. Dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar, pemerintah selalu pengambil kebijaksanaan dengan titik tolak “yang penting pembangunan”.

 

Pertumbuhan No. 1

Presiden juga menegaskan, program kependudukan termasuk KB yang dilancarkan oleh pemerintah tidak semata-mata untuk membatasi jumlah penduduk, tetapi untuk mengendalikan kehidupan masyarakat yang lebih baik. “Kesejahteraan dan kemakmuranl ah yang sebenarn ya menjadi tuju an dari semua pembangunan , termasuk program kependudukan,” katan ya.

Sehubungan dengan masalah kependudukan itu, strategi jangka panjang yang akan dicapai tidak hanya penurunan kelahiran dan pertumbuhan penduduk dari 2,3% hingga menjadi l,9% per tahun bahkan lebih kecil lagi.

“Cita-cita kita tentu saja pertumbuhan penduduk itu menjadi nol. Dengan demikian batas kependudukan kita menjadi tanpa ada pertumbuhan penduduk, jadi akan konstan, stasioner. Dengan demikian kita lantas akan lebih dapat dengan mudah meningkatkan kesejahteraan hidup dan kemakmuran rakyat kita,” kata Presiden.

Ia menggambarkan betapa sulitnya meningkatkan kesejahteraan jumlah penduduk sebesar 250 juta pada tahun 2050 nanti. Namun diharapkannya mulai tahun 2050 itu pertumbuhan penduduk berada dalam tingkat nol persen.

Tentang penghargaan, Presiden mengatakan bahwa sebelum menerima penghargaan dari PBB, ia juga menerima penghargaan bidang kependudukan dari lembaga swasta yang berpusat di Washington.

Penghargaan itu pernah dipertanyakan langsung kepada lembaga swasta yang bersangkutan mengenai penilaian yang menetapkan Indonesia terpilih sebagai pelaksana program KB terbaik. Menurut Presiden mereka menyatakan telah memeriksa langsung ke lapangan, dan data yang mereka kumpulkan sesuai dengan yang dimiliki pemerintah.“Jadi laporan kita tidak ABS. Lah syukur alhamdulillah kalau demikian,” kata Presiden.

Tentang hadiah berupa cek sebesar 12.500 dolar AS kepada pribadi Presiden dari PBB, Kepala Negara mengatakan, hadiah itu disumbangkan kembali untuk dana kependudukan dunia melalui perwakilan tetap RI di PBB. Sumbangan itu diharapkan dapat membantu pembiayaan program-program kependudukan PBB.

Tentang persinggahannya di Jenewa. Presiden mengatakan, perjalanan dari Jakarta ke New York memerlukan istirahat baginya, sebab apabila tanpa berhenti memerlukan waktu 23 jam. Belum lagi perbedaan waktu 12 jam. “ltu sangat memberatkan bagi saya. Saudara-saudara telah tahu umur saya 68 tahun,” katanya. Usia 68 tahun menurut Presiden perlu diperhitungkan. Balung tuwo (tulang tua-red) harus diperhitungkan, agar dalam melaksanakan acara pokok jangan sampai terganggu. Jadi kita singgah di Jenewa itu sebetulnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan waktu atau perbedaan jam, demikian Presiden.

 

 

Sumber : SUARA KARYA (13/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 233-235.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.