PRESIDEN SOEHARTO MENGENAI NORMALISASI HUBUNGAN RI-RRC
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto menyatakan, dalam proses menuju normalisasi hubungan diplomatik antara RI dan RRC kini telah dicapai suatu titik kejelasan.
Dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR untuk menyambut HUT ke-44 Kemerdekaan RI hari Rabu, Kepala Negara menjelaskan, sekarang telah diperoleh kesepakatan dan penegasan bahwa hubungan antara kedua negara akan tetap sepenuhnya didasarkan pada Dasa Sila Bandung dan lima prinsip hidup berdampingan secara damai.
“Dengan demikian, apa yang menjadi harapan wajar Indonesia, yaitu agar tidak ada campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing, baik pada tingkat Pemerintah maupun pada tingkat antar rakyat atau partai, sekarang telah terpenuhi,” kata Presiden.
Ia mengemukakan bahwa persiapan dan perembukan lebih lanjut antara kedua pihak, sedang berlangsung sampai pada saat yang baik untuk mewujudkan normalisasi tersebut.
Hubungan diplomatik Indonesia-RR Cina dibekukan sejak tahun 1967, karena keterlibatan negara itu dalam peristiwa Gestapu/PKI September 1965.
Dalam kaitan dengan normalisasi itu, Presiden Soeharto di Tokyo bulan Februari 1989 menerima Menlu Cina, Qian Qichen.
Pasifik Selatan
Presiden menyatakan, sebagai kawasan yang berbatasan dengan Indonesia dan ASEAN, Indonesia berkepentingan akan adanya ketenteraman dan kestabilan di Pasiflk Selatan.
“Karena itu, kita berhasrat terus mengembangan hubungan persahabatan dan kerjasama dengan negara-negara di kawasan ini, antara lain melalui kerjasama ekonomi dan teknik yang selama ini telah terjalin,” ujarnya.
Presiden mengemukakan, Indonesia bersikap terbuka terhadap usul-usul serta gagasan-gagasan untuk meningkatkan kerjasama di antara negara-negara Pasifik, asalkan peningkatan itu tetap bertujuan mempertahankan sistem ekonomi dunia yang terbuka dan tidak diarahkan untuk membentuk suatu blok perdagangan tertutup.
Dalam kaitan ini ditegaskan bahwa peningkatan kerjasama ekonomi Pasiflk harus dapat memenuhi aspirasi serta kepentingan dasar negara-negara berkembang seperti Indonesia dan jangan sampai mengurangi arti penting ASEAN, malah sebaliknya harus mendukung kerjasama ASEAN serta memanfaatkan mekanisme yang sudah ada dalam kerangka ASEAN.
Menyinggung masalah penyelesaian kemelut di Kamboja, Presiden mengemukakan harapan Indonesia agar pihak-pihak Kamboja serta negara-negara yang berkepentingan lainnya, dapat menunjukkan keluwesan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan antara mereka sehingga Konperensi Paris dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang menyeluruh, adil dan langgeng, yang pada gilirannya akan merupakan sumbangan penting bagi tercapainya perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.
Sumber : ANTARA(16/08/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 289-290.