KEJAKSAAN AGUNG TIDAK PERNAH KENDUR BERANTAS TINDAK KORUPSI
Jakarta, Antara
Kejaksaan Agung tidak pernah kendur, bahkan akan lebih banyak melakukan operasi penegakan hukum, dalam upaya menyelamatkan uang negara, meskipun perkara korupsi terus menurun, kata Kahumas Kejaksaan Agung, H. Soeprijadi, SH. Selain itu, Kejaksaan Agung juga tidak hanya menunggu temuan Badan Pengawasan Keuangan maupun Pembangungan saja, dalam melakukan operasi penegakan hukum, tambahnya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu, sehubungan dengan selesainya paket operasi penegakan hukum yang dicanangkan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, SH sejak 1 Agustus 1988 sampai 31 Maret 1989.
Menurut data yang ada, pada tahun 1984 terdapat 523 perkara korupsi dan terus menurun jumlahnya menjadi 516 perkara pada 1985, 319 perkara tahun 1986 dan 236 perkara pada tahun 1987.
Sementara untuk tahun 1989, sesuai laporan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, SH kepada Presiden Soeharto, saat ini Kejaksaan Agung tengah menangani sedikitnya 58 kasus korupsi, baik masukan dari BPKP sebanyak 41 kasus maupun dari Kejaksaan sendiri sebanyak 17 kasus.
Jumlah kerugian keuangan negara dari 58 kasus korupsi itu menurut Sukarton diperkirakan mencapai Rp. 24 miliar.
Mengingat besarnya kerugian negara tersebut, kata Soeprijadi, Kejaksaan Agung akan terus berusaha memberantas korupsi. “Tidak akan pemah kendur,” tegasnya.
Soeprijadi ketika ditanya sejauh mana pelaksanaan paket operasi penegakan hukum, mengatakan bahwa berdasarkan data dan evaluasi yang telah dilakukan, paket operasi itu dinilai berhasil, sangat menggembirakan dan cukup membangkitkan optimisme.
Dikatakannya, paket operasi itu ialah Operasi Tegak untuk memberantas tindak pidana subversi, Operasi Jaring untuk memberantas penyelundupan, Operasi Tenteram untuk memberantas kejahatan, dan Operasi Tunas untuk memberantas penyalahgunaan obat terlarang dan narkotika.
“Untuk Operasi Tunas, dari 591 perkara berhasil diselesaikan sebanyak 585 perkara atau 99 persen, Operasi Tenteram dari 36.240 perkara dapat diselesaikan 36.158 perkara atau hampir 100 persen, Operasi Tegak dari 32 sisa perkara yang ada dapat diselesaikan semua atau 100 persen,” jelasnya.
Sementara untuk Operasi Jaring, dapat diselesaikan sekitar 75 persen dari seluruh perkara penyelundupan yang ada, demikian pula untuk perkara korupsi, baru dapat diselesaikan sekitar 75 persen dari jumlah perkara yang ada, tambahnya.
Khusus terhadap penyelesaian perkara korupsi yang hanya mencapai 75 persen, Soeprijadi mengakui ada sedikit hambatan, antara lain adanya perkara yang baru ditemukan, sementara alat-alat bukti sulit ditemukan.
Selain itu, jaksa sering juga kesulitan menghadirkan saksi perkara korupsi di sidang pengadilan karena adanya kewajiban mendapatkan izin atasan saksi tersebut. “Sebagai contoh, untuk memeriksa barang bukti korupsi berupa uang yang tersimpan di Bank, pihak kejaksaan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan, sebab rekening seseorang termasuk rahasia bank yang dilindungi undangundang,” sambungnya.
Sumber : ANTARA (28/06/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 540-541.