MENDAGRI: MASALAH TANAH BELUM SELESAI SAMPAI GANTI RUGI
Jakarta, Antara
Menteri Dalam Negeri Rudini mengakui banyak aparat Pemda selama ini kurang merasa bertanggung jawab atas nasib rakyat di wilayahnya yang harus pindah tempat karena tanah mereka terpakai untuk kepentingan pembangunan.
“Sebenarnya rakyat taat pada program-program pembangunan. Cuma sayangnya, saya akui, meskipun tidak semua, aparat yang menyelesaikan masalah tanah kurang rasa tanggungjawabnya atas nasib rakyat yang harus pindah,” katanya atas pertanyaan wartawan selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Sabtu. Para aparat tersebut, sambung Rudini, seakan-akan menganggap masalah tanah sudah selesai setelah adanya pembayaran ganti rugi padahal sebenarnya belum selesai.
Ditegaskannya bahwa setelah pembayaran ganti rugi, aparat masih harus mencek dan mengikuti terus nasib rakyat penerima ganti rugi, jangan sampai mereka menjadi kehilangan mata pencaharian. “Itu tanggungjawab seorang pamong seorang bapak. Rakyat yang pindah tempat itu harus terus diikuti agar di tempat baru bisa hidup lanjut dengan baik.” Mendagri mengingatkan bahwa rakyat bisa kecewa jika belakangan hari mengetahui tanah mereka hanya dibayar dengan ganti rugi yang mereka nilai lebih rendah dibanding harga sebenarnya.
Oleh karena itu pula, Rudini mengharapkan agar dalam penyelesaian pembayaran ganti rugi tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan oleh swasta, aparat Pemda yang menjadi mediator hendaknya benar-benar bersikap adil dan jangan sampai merugikan salah satu pihak.
“Keliru kalau dalam masalah itu pamong justeru bertindak menjadi juru bicara swasta,” katanya setelah sebelumnya juga mengingatkan bahwa masalah tanah tidak cukup hanya diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Mendagri mengatakan, aparat Pemda juga harus bisa memberikan pengertian, jika rakyat yang tanahnya ingin dipakai oleh swasta untuk proyek pembangunan tidak mau pindah, kecuali jika tanah mereka dibayar ganti rugi sangat mahal.
Rakyat harus diberi pengertian bahwa untuk suatu kepentingan yang lebih besar, mereka terpaksa harus bergeser. Tentunya, sambung Rudini, dalam penggeseran itu harus dijamin bahwa rakyat akan mendapat tanah yang tidak lebih jelek dari tanahnya semula.
“Jadi, di satu pihak kita harus menghargai hak rakyat, tetapi di lain pihak harus mendukung program-program Pemerintah,” katanya.
Rudini berpendapat, untuk bisa menjalankan tugas tersebut, aparat perlu melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih baik. “Jangan mengatakan kepada rakyat bahwa ini ada perintah dan harus dilaksanakan,” katanya. Mendagri menghadap Presiden untuk melaporkan hasil kunjungannya ke Port Moresby memimpin delegasi Indonesia pada Sidang VIII Komisi Perbatasan RI-PNG 28-30 November 1989. Delegasi PNG pada sidang itu dipimpin Menlunya, Michael Somare.
Menurut Rudini, sidang tersebut mencatat banyak kemajuan dalam kerjasama berbagai bidang yang terkait dengan perbatasan kedua negara.
Beberapa kesepakatan penting juga disetujui pada sidang itu, antara lain menyangkut peninjauan kembali Persetujuan Dasar 1984 yang dicapai RI-PNG serta pengembalian pelintas batas dari Irja sebanyak 106 orang, Dalam sidang tersebut juga dibahas pelaksanaan Konsulat Jenderal RI di Vanimo dalam waktu secepatnya, demikian Mendagri.
Sumber : ANTARA (02/12/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 551-552.