PAK HARTO TAK INGIN JADI PRESIDEN SEUMUR HIDUP
Banda Aceh, Suara Karya
Menko Polkam Sudomo menjamin bahwajika Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden, Indonesia tetap aman dan tidak akan timbul gejolak politik yang mengarah kepada kekacauan dalam negeri. Pak Harto sendiri, kata Sudomo, tidak bermaksud menjadikan dirinya Presiden seumur hidup.
Pak Harto, tambahnya, adalah demokrat sejati yang secara kebetulan terpilih beberapa kali menjadi Presiden bukan karena sebagai calon tunggal, tetapi karena 5 Fraksi di MPR mengajukannya sebagai calon.
Jaminan keamanan itu dikemukakan Menko Polkam di hadapan ratusan Pemuda Aceh pada Penutupan Musyawarah Daerah (Musda)-VI KNPI Propinsi Daerah IstimewaAceh di Anjong Mon Mata Banda Aceh. Jumat malam (5/7) Musda-VI KNPI Aceh yang dibuka Menpora Akbar Tandjung.
Rabu malam (3/7) dan ditutup Menko Polkam Sudomo, berlangsung dalam suasana aman dan berhasil memilih Drs. Sulaiman Abda (33) sebagai Ketua DPD-I KNPI Aceh Periode 1991-1993 menggantikan Ketua lama Ir. Ahmad Humam Hamid, MA dengan Sekretaris Drs. T. Rusin B dan Bendahara T. Amir Syah BA.
Menurut Menko Polkam Sudomo, jaminan keamanan yang diberikan jika terjadi pergantian Kepala Negara pada Pemilu yang akan datang selain merupakan perwujudan dari pada konsensus nasional yang tertuang dalam UUD-1945, juga merupakan jawaban konkret dari Pemerintah kepada rakyat Indonesia yang selama ini mendengar berbagai isu yang berkembang dalam masyarakat yang sengaja direkayasa oleh pihak -pihak tertentu terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto.
“Pak Harto, tidak mau menjadi Presiden seumur hidup. Siapapun boleh menggantikan kedudukan Presiden Soeharto asalkan yang dicalonkan itu wajar sesuai dengan sistem demokrasi Pancasila dan tidak lari dari konsensus nasional. Silakan OPP (Organisasi Peserta Pemilu) mengelus-ngelus calonnya sebagai Presiden, asalkan caranya tidak membingungkan,” ujar Sudomo.
Ali Sadikin Dkk
Menyinggung tentang tindakan Cekal (Cegah Tangkal) terhadap kelompok Ali Sadikin dkk yang tergabung dalam Petisi 50 yang diributkan kembali setelah mereka berdialog dengan Komisi II dan III DPR, Kamis lalu di Jakarta.
Menko Polkam Sudomo kepada wartawan sebelum menutup Musda-VI KNPI Aceh di Banda Aceh. Jumat sore mengatakan. Cekal terhadap kelompok Ali Sadikin tetap diberlakukan sepanjang kelompok itu tidak meminta maaf atas pernyataannya itu.
Pemerintah menilai 6 butir pemyataan kelompok tersebut adalah menuduh dan menghina Pemerintah,” kata Sudomo dengan tegas kepada pers di Bandara Blang Bintang Ban da Aceh saat Menko Polkam turun dari pesawat yang baru tiba dari Jakarta untuk kunjungan ketja satu hari keAceh.
Masalah kelompok Ali Sadikin, kata Sudomo, jelas merupakan upaya pengembangan move politik tertentu. “Bagaimana pun tuduhan dan fitnah itu tidak sama dengan kritik. Kritik dengan fitnah itu, kan lain,” ujar Sudomo yang kemudian menyebutkan jika Kelompok Ali Sadikin dkk itu mau menyelesaikan kasusnya, setidaknya harus menempuh dua jalur yaitu yang pertama dengan jalan musyawarah dan mufakat dan yang kedua adalah lewat saluran hukum di pengadilan.
Selama kasus tersebut belum diselesaikan oleh yang bersangkutan, maka tindakan Cekal terhadap mereka tetap berlangsung, karena Cekal itu punya alasan kuat dan ada dasar hukumnya. Tentang masuknya masalah Cekal ini ke lembaga peradilan, menurut Sudomo tidak ada pengaruh apapun bagi Pemerintah. “Itu terserah mereka. Mereka dapat memilih, penyelesaian dengan musyawarah mufakat atau mengajukan keberatannya lewat pengadilan,”katanya.
Selain itu, Sudomo juga memberikan alternatif,jika kelompok Ali Sadikin Cs ini tidak setuju kepemimpinan Pak Harto berlanjut, silakan ke MPR. ltu kan MPR ada, silakan saja aspirasinya disalurkan. Tetapi yang penting, penyelesaian kasus ini sangat tergantung pada sikap kelompok Aziz Saleh dan Sadikin sendiri. Pemerintah tetap pada pendiriannya, bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat mereka itu adalah mengandung fitnah. (SA)
Sumber: SUARAKARYA(09 /07/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 100-101.