Presiden Soeharto : TINDAK LANJUTI HASIL KUNJUNGAN KE JERMAN

Presiden Soeharto : TINDAK LANJUTI HASIL KUNJUNGAN KE JERMAN

 

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menginstruksikan sejumlah menteri untuk menindaklanjuti hasil­ hasil kunjungan kenegaraannya ke Jerman 3-7 Juli lalu, khususnya yang menyangkut peningkatan dan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kepada Menko Ekuin Radius Prawir diinstruksikan untuk mengkoordinasikan beberapa masalah, termasuk problem pengadaan kapal laut.

Menteri Penerangan Harmoko mengatakan itu seusai bersama delapan menteri lainnya dan Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno dipanggil ke Bina Graha, hari Rabu (10/7). Menteri lainnya adalah Menko Ekuin Radius Prawiro, Menko Polkam Sudomo, Menko Kesra Soepardjo Rustam, Mensesneg Moerdiono, Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, Menteri Perindustrian Hartarto, Menteri PerhubunganAzwar Anas dan Menmud/Seskab Saadilah Mursyid.

Menpen Harmoko menjelaskan, setiap hari Rabu pada minggu pertama setiap bulannya Presiden Soeharto memimpin Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin. Namun bulan ini sidang itu tidak dapat dilaksanakan karena kunjungan kenegaraan ke Jerman. Karena itu Kepala Negara memanggil 10 menteri dan Pangab untuk menindaklanjuti hasil kunjungan kenegaraan tersebut.

Harmoko meilambahkan, tingkat inflasi di bulan Juni 0.44 persen . sehingga laju inflasi enam bulan tahun takwirn iniadalah 3,6 persen. Menurut Radius dengan tingkat inflasi sebesar itu harus bekerja lebih keras lagi untuk menekan laju inflasi di bulan­ bulan berikutnya.

 

Pembelian Kapal

Radius Prawiro menjelaskan, salah satu hasil kunjungan Presiden Soeharto ke Jerman ini adalah pembelian kapal penumpang yang menggunakan bantuan dari Pemerintah Jerman. Lima kapal akan dibeli dengan dana bantuan sejumlah 516,6 juta DM. Kapal ini dua di antaranya berbobot 14.000 ton dan tiga lainnya masing-masing 6.000 ton.

Menurut Radius, bantuan pembelian kapal ini merupakan suatu peristiwa yang agak khusus. Pada pihak pertama ada suatu perusahaan perkapalan yang sudah mengalami kesulitan dalam pengembangan perusahaan tersebut. Sebaliknya Indonesia memerlukan kapal penumpang bagi angkutan Nusantara, sehingga dengan demikian pemerintah Jerman merestui diberikannya bantuan dengan kredit campuran.

Dana pinjaman pernbelian kapal sebesar 516,6 juta DM itu terdiri dari 155juta DM kredit lunak dengan bunga sangat rendah yaitu 0,75 persen dan masa waktunya 27 tahun dengan tenggang waktu 13 tahun. Sebagian besar sisanya berupa kredit ekspor.

Namun Radius tidak bersedia merinci berapa persen bunga yang dikenakan dalam kredit ekspor itu. “Biasanya bunga kredit ekspor adalah yang biasa berlaku dipasaran,” ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga sangat berkepentingan untuk rnelakukan pengerukan pelabuhan agar kapal-kapal yang berbobot tinggi bisa merapat. Dalam hal ini Jerman bagian timur rnernpunyai kapasitas untuk membuat kapal keruk tersebut. Tetapi teknologi di Jerman bagian tirnur itu ketinggalan dengan Jerman bagian barat.

Sehingga apabila di Jerman bagian tirnur akan diciptakan lapangan kerja, adalah baik sekali bila dilakukan suatu kerja sama antara Indonesia dengan Jerman bagian timur dan beberapa perusahaan Jerman bagian barat yang rnempunyai teknologi tinggi.

Mengenai hal ini Kanselir Helmut Kohl menyambut baik apa yang disarankan oleh Presiden Soeharto tersebut. Menurut Radius, pemesanan kapal ini merupakan keputusan politis. “sebetulnya kita bisa memesan diseluruh dunia. tetapi apabila kita lihat Jerman ini dalam pembuatan perkapalan mempunyai daya saing yang cukup kuat, dan dalam pembiayaannya juga mempunyai dana yang lunak, maka sudah barang tentu hal ini sangat menguntungkan bagi Indonesia,” katanya .

 

Memperbaiki  Perdagangan

Radius menarnbahkan, selain pembelian kapal itu ada pula usaha untuk menggairahkan masyarakat Jerman dalam melakukan investasi di Indonesia, sehingga di Indonesia bisa diproduksi barang-barang yang sangat diperlukan bagi Jerman. Hal ini misalnya berupa komponen-komponen yang dapat diproduksi dengan daya saing yang lebih kuat. “Sehingga jika komponen-komponen itu dapat diekspor ke Jerman, akan dapat memperbaiki neraca perdagangan kedua negara,”tambahnya.

Radius menunjuk, tahun 1990 neraca perdagangan kedua negara tidak seimbang dan defisit di pihak Indonesia. Impor Indonesia mencapai 1,5 milyar dollar AS, sementara ekspomya hanya 750 juta dolar.

Menurut Radius, jika investasi Jerman di Indonesia dapat ditingkatkan, dan dibuatnya berbagai komponen hasil industri yang kemudian diekspor ke Jerman, maka usaha itu niscaya akan menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara. “Usaha seperti itu sudah dilakukan dengan Perancis, dengan pembuatan barang elektronik di Pulau Batam,” katanya.

Bidang lain yang juga menjadi perhatian dalam pembicaraan selama di Jerman adalah mengenai listrik. Suatu pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di Ombilin (Sumbar) sedang diproses untuk dibangun. Pembangunan ini memerlukan penyempurnaan di dalam konsepnya, sehingga diharapkan bantuan Pemerintah Jerman agar daerah Sumbar dapat ditingkatkan kapasitas listriknya. Selain itu Indonesia juga menawarkan kepada pihak Jerman untuk membangun pembangkit tenaga listrik lainnya di Indonesia. (SA)

 

 

Sumber : KOMPAS ( 11/07/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 107-109.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.