PERNYATAAN PRESIDEN PERTEGAS SIKAP POLITIK LN INDONESIA

PERNYATAAN PRESIDEN PERTEGAS SIKAP POLITIK LN INDONESIA

 

 

Jakarta, Pelita

Pernyataan Presiden  Soeharto bahwa Indonesia tidak bisa menerima bantuan bersyarat politik dinilai mempertegas sikap politik luar negeri kita selama ini. Apalagi, sejauh ini RAPBN tahun anggaran 1992/1993 tidak akan terpengaruh oleh sikap beberapa negara yang akan menghentikan bantuannya, menyusul insiden 12 November di Dilli, Timor Timur, karena mereka masih terikat dengan komitmen-komitmen yang telah disepakati sebelumnya.

“Hanya masalahnya, komitmen bantuan tersebut belum dapat dicairkan karena menyangkut persyaratan yang belum bisa dipenuhi, yang besarnya diperkirakan 20- 30 miliar dolar AS ,” kata wakil ketua Komisi APBN DPR RI H. Hamzah Haz, menjawab pertanyaan pers, Kamis (12/12), di DPR Jakarta.

Pendapat senada secara terpisah diungkapkan pula oleh Wakil Ketua DPR/MPR bidang Ekonomi dan Keuangan Drs Soetjadi dan wakil ketua Korbid Ekku FKP H Abdullah Zainie, SH.

“Saya seratus persen sependapat dan mendukung penuh pernyataan Presiden Soeharto bahwa Indonesia tidak bisa didikte negara lain. Betapapun kita membutuhkan dana, kalau itu harus mengorbankan kedaulatan bangsa, lebih tidak usah diterima sama sekali,”kata Soerjadi.

Dikatakan, sikap tegas itu perlu diketahui negara pemberi bantuan, agar jangan sekali-sekali mempunyai keinginan mengaitkan pemberian bantuan dengan kebijaksanaan politik atau kedaulatan negara kita.

Sementara Abdullah Zainiemenegaskan, Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri jika bantuan itu digunakan sebagai alat mendikte kebijaksanaan politik dan kebijaksanaan ekonomi di dalam negeri. “Kita tetap tegar dan yakin kepentingan bangsa dan negara di atas segala-segalanya. Kecuali itu kebijaksanaan politik luar negeri serta ekonomi global Indonesia hanya diabdikan untuk kepentingan nasional,” katanya.

Menurut Abdullah Zainie, sejak semula kita telah menetapkan konsensus nasional, dalam GBHN bahwa dalam hal ingin mendapatkan bantuan luar negeri maka harus dipenuhi prinsip-prinsip, antara lain bantuan tersebut tidak memiliki ikatan politik.

Sebab kehadiran bantuan itu diharapkan hanya sebagai pelengkap, berjangka panjang dengan suku bunga rendah, berada dalam batas kemampuan untuk membayar kembali dan tidak memberatkan beban anak cucu, serta mempunyai prioritas tinggi dalam proses pembangunan.

Presiden Soeharto, dalam perjalanan pulang dari kunjungan kenegaraan, mengatakan bantuan luar negeri harus tetap dilakukan dengan prinsip tanpa syarat. Bila ada persyaratan hanya menyangkut periode dan bunga, sedangkan jika ada syarat politik Indonesia tidak akan menerimanya.

Menurut Presiden, kita harus sanggup membayar pembangunan dengan kemampuan sendiri. Bantuan dari luar negeri pada dasarnya bersifat pelengkap, apalagi dalam memasuki era tinggal landas. Dengan demikian bila memang ada ancaman tidak mau membantu, maka terserah kepada negara yang mengancam. Tapi bukan berarti kita harus menyerah (Pelita,12/12).

Abdullah Zainie menambahkan, negara pemberi bantuan hanya dapat memberi saran atau usul atas kebijaksanaan ekonomi dan moneter namun keputusan terakhir tetap berada dalam tangan bangsa dan rakyat Indonesia. Meski begitu menghadapi situasi bantuan asing saat ini, kita harus bersikap rasional, artinya bilamana target volume bantuan tidak berhasil dicapai, maka harus siap menggali sumber-sumber penerimaan dari dalam negeri serta menyesuaikan volume pembangunan dengan kemampuan yang tersedia.

 

Harus Realistis

Hamzah Haz mengatakan, kita juga harus realistis bahwa bantuan luar negeri itu sangat dibutuhkan, karena itu perlu dengan segera mengantisipasinya. Kita perlu mencari alternatif antara lain mencari ke negara-negara Timur Tengah, serta berupaya mencari pinjaman sektor swasta baik melalui investasi swasta maupun dana kas.

Ia menyarankan pemerintah tetap konsisten melakukan diplomasi melalui langkah­ langkah politik guna menjelaskan kepada pihak asing mengenai insiden Dilli. Tujuannya, agar jangan sampai sikap beberapa negara yang menyatakan menunda memberikan bantuan menjadi berantai dan diikuti negara-negara lain. Kalau hal ini terjadi maka posisi kita semakin berat, apalagi jika sikap itu melembaga di IGGI.

Apakah pernyataan Presiden Soeharto tersebut muncul karena Indonesia telah mendapat jaminan bantuan dari negara donor yang baru? Hamzah Haz mengatakan ia tidak tahu itu. Namun, katanya, tidak tertutup kemungkinan bantuan yang sekarang sedang dirunding atau permohonannya sedang dalam pengajuan juga terkena pengaruhnya.

“Ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian, karena selama 20 tahun terakhir neraca pembayaran (balance of payment) selalu defisit. Untuk menutupinya dan mengamankannya, kita selalu bergantung pada bantuan luar negeri.

Apalagi selama 20 tahun terakhir, posisi neraca pembayaran kita yang tidak defisit hanya pada tahun 1979/1980 dan 1980/1981, sedangkan lainnya selalu defisit,” tandas Hamzah.

Apakah tidak ada upaya lain mengatasi defisit neraca pembayaran tersebut? Menurut Hamzah Haz tidak ada upaya lain untuk menekan defisit neraca pembayaran, kecuali memacu peningkatan ekspor dan menekan arus impor. Dengan demikian jangan sampai modal yang masuk ke Indonesia hanya tingginya tingkat suku bunga pinjaman di sini. (SA)

 

Sumber : PELITA (13/12/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 412-414.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.