BANTUAN PERLU, TAPI JANGAN DIKAITKAN DENGAN POLITIK
Jakarta, Suara Pembaruan
Untuk mempercepat laju pembangunan, Indonesia masih memerlukan bantuan luar negeri. Akan tetapi jika bantuan itu dikaitkan dengan politik atau insiden Dili yang sebenarnya merupakan masalah dalam negeri Indonesia maka bantuan seperti itu tidak dapat diterima.
Hal ini merupakan kesimpulan Pembaruan dari serangkaian wawancara dengan pengamat ekonomi Dr Anwar Nasution, Dr Djisman Simanjuntak, Wakil Ketua Komisi APBN DPR Hamzah Haz, dan Menteri Pertambangan Dan Energi Ginandjar Kartasasmita dalam kesempatan terpisah hari Kamis di Jakarta, menanggapi pernyataan Presiden Soeharto yang tidak setuju jika bantuan ekonomi dikaitkan dengan politik.
Menurut Anwar Nasution, jika negara-negara kreditor termasuk Belanda Dan Kanada benar-benar menunda bantuannya maka hal itu akan mempengaruhi pembangunan. Karena itu, lanjut Anwar, masalah Timtim perlu diselesaikan dengan baik.
Tentu bukan dengan ukuran-ukuran hak asasinya PBB, tapi berdasarkan Pancasila. Jika itu dapat diselesaikan dengan baik, dampaknya tidak akan mengganggu jalur perdagangan internasional, teknologi dan arus modal dari luar negeri yang sangat diperlukan bagi pembangunan nasional.
Mengganggu
Kalau bantuan tadi benar-benar dihentikan, ujar Anwar jelas akan mengganggu neraca pembayaran luar negeri dan mengganggu anggaran pembangunan nasional. “Berarti, juga mengurangi kemampuan kita dalam melaksanakan pembangunan,” katanya dan menambahkan bahwa usaha untuk mengatasinya secara jangka pendek sangat berat.
“Mudah-mudahan apa yang dilakukan oleh Kanada dan Belanda tidak diikuti oleh negara-negara lain, terutama Amerika. Sebab Amerika bisa mempengaruhi Jepang dan lembaga-lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan PBB untuk melakukan tindakan yang sama,”katanya.
Menurut Anwar, sesuai dengan kondisi saat ini, pembangunan di Indonesia masih memerlukan hubungan baik dengan dunia internasional. “Kita perlu dana, karena keperluan investasi kita tidak bisa dicukupi dengan tabungan nasional. Kita juga memerlukan pasarnya,”tegas Anwar.
Mengenai insiden Timor Timur, ia mengatakan hal itu bukan masalah yang disengaja. “Karena itulah perlu kita selesaikan dengan baik. Saya kira semua orang tahu bahwa ABRI itu tidak akan menembaki rakyat,”katanya.
Terbuka
Sementara itu, pakar ekonomi lainnya Dr Djisman Simandjuntak berpendapat, dalam menghadapi sanksi yang bakal dijatuhkan beberapa negara donor atas insiden Dili, Indonesia harus lebih terbuka. Alasannya, masalah hak asasi bukan hanya persoalan dalam negeri tetapi global, karena itu harus lebih terbuka.
Namun, ahli ekonomi dari CSIS itu mengatakan tindakan beberapa negara yang mengenakan sanksi ekonomi hanya karena insiden Dili tidaklah tepat. Mengenakan sanksi ekonomi terhadap suatu negara, katanya, memerlukan konsekuensi tinggi dan belum tentu tujuannya berhasil. Apalagi nantinya sanksi seperti itu diikuti dengan tindakan saling boikot.
“Negara-negara kreditor agar membaca keadaan Indonesia pada Konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1963 yang diikuti boikot ekonomi oleh AS terhadap Indonesia. Sanksi seperti itu ternyata tidak ada hasilnya,” katanya.
Karena itu dia mengharapkan negara-negara kreditor untuk Indonesia menahan diri. Dalam menyelesaikan masalah Dili, seharusnya jalur diplomasi dan politik yang dikerjakan. “Insiden Dili, boleh saja diprotes melalui jalur politik, bukan dengan sanksi ekonomi.”
Wakil Ketua Komisi APBN, Hamzah Haz mengatakan, kemungkinan penundaan bantuan luar negeri yang akan dilakukan oleh Belanda dan Kanada sehubungan dengan insiden Dili, tidak akan mengganggu RAPBN 1991/92. Sebab masih terdapat sisa dana sekitar 5 miliar dolar AS bantuan IGGI tahun iniyang belurn direalisasikan, angka itu diperkirakan bisa memenuhi kebutuhan dolar untuk anggaran mendatang.
Yang dikhawatirkan anggota DPR dari F-PP tersebut, jika aksi yang dilakukan kedua negara donor tersebut mempunyai efek domino, di mana semua negara donor tiba-tiba menghentikan bantuannya kepada Indonesia.
Sementara itu, Menteri Pertambangan dan Energi Ir.Drs. Ginandjar Kartasasmita di tempat terpisah mengatakan, jika benar masih ada negara maju yang mengurangi bahkan meniadakan bantuan ekonomi, berarti mereka masih mempunyai mental kolonial.
Jika teori domino benar-benar menjadi kenyataan tentu akan membahayakan neraca pembayaran kita. Karena setiap tahun Indonesia memerlukan devisa yang cukup besar untuk membayaran bunga serta cicilan utang.
Dikatakan, defisit transaksi beljalan untuk tahun 1991/92 diperkirakan sebesar 4,2 miliar dolar AS, sementara biaya bunga dan cicilan utang diperkirakan mencapai 6-7 miliar dolar AS.
Dikatakan, bantuan luarnegeri mempunyai porsi 25% dari volume APBN, tetapi sebagai biaya pengeluaran rutin bantuan IGGI mempunyai porsi 40%. “Jika terpaksa bantuan harus ditunda karena alasan politis, maka volume APBN kita perlu dipotong, dengan cara mengerem pengeluaran pemerintah,” katanya.
Diakui bahwa unsur bantuan luar negeri sangat dominan dalam posisi neraca pembayaran. Buktinya, neraca pembayaran kita tahun lalu surplus sebesar 2 miliar dolar AS karena ditopang bantuan luar negeri yang akan menambah jumlah cadangan devisa.
Lebih lanjut dikatakan, untuk menutupi biaya bunga dan cicilan utang tersebut, maka Indonesia harus mati-matian mengumpulkan devisa. Caranya antara lain dengan merangsang pemasukan modal baik melalui investasi langsung atau melalui swasta dan memacu ekspor.
Bantuan Lunak
Meskipun demikian, katanya, masih diperlukan adanya pinjaman yang bersyarat lunak dan berbunga rendah untuk menutupi biaya bunga dan cicilan utang. “Sebaiknya masalah Dilli diselesaikan secara diplomatis dan fair, sehingga pihak luar negeri percaya. Semunya itu tergantung dari hasil KPN (Komisi Penyelidik Nasiotial),” katanya.
Terlepas dari itu, katanya, pemerintah Indonesia sudah saatnya mengadakan lobi dengan negara-negara lain sehingga tidak begitu tergantung pada pinjaman IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), seperti negara-negara di Timur Tengah misalnya.
Prinsip
Pada bagian lain Wakil Ketua Komisi APBN dari FPP Hamzah Haz mengatakan pihaknya setuju dengan pernyataan Presiden Soeharto bahwa masalah bantuan tidak bisa dikaitkan dengan politik. “Itu masalah prinsip,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah semestinya juga mendorong swasta untuk ikut memasukkan modal ke Indonesia guna mengkompensasi bantuan yang ditunda akibat insiden Dilli tersebut “Peranan swasta cukup besar dalam menyumbang devisa, katanya.
Dicontohkan pada tahun 90/91 neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus sebesar 3,3 miliar dolar AS karena adanya modal masuk yang berasal dari swasta sebesar 0,8 miliar dolar AS.
Dijelaskan sasaran tahun 1991/92, pemasukkan modal swasta diperkirakan sebesar 3 miliar dolar AS dan pemerintah sebesar 4,7 miliar dolar AS. “Diperkirakan modal masuk akan lebih besar dari itu yakni pemerintah 5,3 miliar dolar AS dan swasta 5 miliar dolar AS. Sementara itu kebutuhan devisa untuk tahun 1991/92 sekitar 7 miliar dolar AS untuk mengisi defisit transaksi berjalan dan pongeluaran lainnya,” katanya. Dengan demikian posisi neraca pembayaran Indonesia masih aman.
Pada bagian lain Ginandjar mengatakan tidak yakin bahwa negara industri maju, sebagai partner kita, akan menghentikan atau mengurangi bantuan itu, hal ini katanya, didasarkan kepada pengertian bahwa bantuan ekonomi tidak hanya menyangkut masalah politis saja, tetapi menyangkut masalah yang cakupannya lebih luas, seperti perbaikan ekonomi, kesejahteraan, pencerdasan bangsa dan sebagainya.
Menyusul insiden Dili 12 Nopember 1991 pemerintah Belanda mengumumkan penundaan bantuan pinjaman lunak yang sudah disetujui sebesar 185 juta gulden (kira2 Rp. 200 miliar) untuk tahun anggaran mendatang, kemudian Kanada juga mengumumkan penundaan usulan proyek untuk tahun anggaran 1992/1993 senilai 300 juta dolar kanada (sekitar Rp 52,5 miliar). (SA)
Sumber : SUARA PEMBARUAN (13/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 416-419.