MENKEU BELUM BISA PERKIRAKAN PENGARUH PENUNDAAN BANTUAN LN

MENKEU BELUM BISA PERKIRAKAN PENGARUH PENUNDAAN BANTUAN LN

 

 

Jakarta, Media Indonesia

Menteri Keuangan JB Sumarlin menyatakan bahwa ia belum dapat memperkirakan besamya pengaruh penundaan bantuan luar negeri terhadap RAPBN 1992/1993, karena saat ini pemerintah sedang menyusunnya. “Pemerintah sedang menyusun RAPBN 1992/1993, sehingga belum dapat memperkirakan besarnya pengaruh,” katanya menjawab pertanyaan pers di DPR-RI kemarin.

Kepadanya ditanyakan rnengenai ancarnan penundaan bantuan luar negeri oleh beberapa negara donor, berkaitan dengan kerusuhan 12 November di pemakaman Santa Cruz Dili, Timor Tirnur. Belanda dan Kanada, misalnya, telah menegaskan akan penundaan bantuannya kepada Indonesia.

Sumarlin rnenyebutkan bahwa ia berada di DPR menemui Ketua FKP Soeharto dan Sekretaris  FKP Ben Messakh untuk mengadakan konsultasi rnengenai pernbahasan paket RUU keuangan. “Tidak ada pembicaraan lain. Biasa saja,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Menkeu mengisyaratkan bahwa penundaan bantuan luar negeri tersebut tidak terlalu mempengaruhi RAPBN 1992/ 1993. Ia tidak bersedia merinci lebih lanjut karena RAPBN 1992/1993, sedang disusun.

Akan tetapi, ia melihat perlunya pemerintah meningkatkan pendapatan dari dalam negeri, seperti melakukan intensifikasi pajak, jika memang benar beberapa negara akan menunda pernberian bantuan luar negerinya.

Selain itu, tambahnya pemerintah juga perlu bekerja keras rneningkatkan ekspor, terutama nonmigas, untuk menekan neraca pernbayaran yang kini mengalarni defisit sebesar US$ 4,7 milyar.

 

Sangat Kecil

Sekretaris FKP BP Messakh, pada kesempatan terpisah kemarin, menegaskan bahwa ancaman penundaan bantuan luar negeri itu tidak akan terlalu banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kalaupun ada pengaruhnya, itu sangat kecil. Sampai sekarangkan Jepang dan Bank Dunia tidak bicara apa-apa rnengenai bantuan mereka,” katanya.

Ia menyebutkan bahwa dari APBN 1991/1992 sebesar Rp 50.6 trilyun hanya Rp 10.6 trilyun di antaranya berupa bantuan luar negeri. Sedangkan sisanya sebesar Rp 40.2 trilyun berasal dari penerimaan dalam negeri, tambahnya. “Jadi, posisi bantuan luar negeri hanya sebesar 25% dari penerimaan dalam negeri atau hanya 20% dari total APBN 1991/1992,” tegasnya.

Messakh mengemukakan jika pemerintah tidak mendapat bantuan dari luar negeri, maka dapat saja mendorong pihak swasta untuk memperoleh pinjaman dari luar. “Jadi, tidak ada persoalan dengan ancaman itu.”

Wakil Ketua Komisi APBN DPR-RIA berson Marie Sihaloho sementara itu mengatakan jika benar beberapa negara menunda bantuannya maka indonesia harus memperjelas berbagai penerimaan negara yang selama ini belum terpantau APBN.

Selama ini, penerimaan negara palingjelas dan masukAPBN adalah sektor migas. “Sementara dari perkayuan sama sekali tidak ada yang masuk dalam penerimaan negara. Memang ada dana reboisasi, tapi itu dikelola sendiri. Hal-hal seperti ini harus diatur lebih jelas untuk memperkuat penerimaan negara di masa datang,” tegasnya.

Jika bantuan luar negeri ditunda, menurut Aberson, pemerintah jangan memaksakan pertumbuhan. “Pemerintah jangan terlalu berambisi mengejar pertumbuhan. Jika kita hanya mampu dengan Rp 40 trilyun, ya jangan dipaksakan harus lebih dari itu.”

Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak perlu berbangga diri dengan adanya surplus penerimaan negara, jika diperoleh dari pinjaman. Ia menganjurkan agar pemerintah semakin realistis melaksanakan pembangunan dengan kemampuan diri sendiri. “Kalau realistis penundaan bantuan luar negeri tidak membuat kita kelabakan”. (SA)

 

Sumber: MEDIA INDONESIA (14/12/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 513-515.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.