PRESIDEN SOEHARTO DI KTT BUMI
Jakarta, Bisnis Indonesia
Presiden Soeharto, sebagai salah seorang pemimpin negara berkembang dan kelompok Non-Blok, bersuara lantang (13 Juni) di Rio de Janerio, Brazil, Kepala Negara di depan Sidang KTT Bumi, menegaskan tentang hak fundamental semua bangsa untuk membangun perekonomian. Sumber daya di negara berkembang bukankah milik dunia, dalam pengertian bahwa kekayaan alam itu dikonsumsi dalam jumlah besar oleh negara-negara maju sementara dampak lingkungannya lalu ditimpakan sebagai tanggungjawab negara berkembang.
Masalah distribusi kemakmuran dunia, penguasa teknologi dan kemampuan sumber-daya manusia dalam mengelola sumber daya alam memang terus-menerus menjadi perbincangan Utara Selatan. Dan diantara banyak negara berkembang, pada umumnya bekas jajahan dengan warisan kolonial yang menyebabkan ketimpangan khususnya dalam menikmati sumber daya alam serta kemakmuran yang ditimbulkan oleh perdagangan antar negara yang tidak adil, telah menimbulkan keterbatasan.
Ketika alam menderita oleh sebab ekses-ekses dari keserakahan negara maju dalam menikmati sumber daya telah menimbulkan polusi serta buruknya lingkungan, maka sementara negara maju cenderung menuding negara berkembang (yang mencoba memanfaatkan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan) sebagai penanggung jawab dari dampak negatif Lebih buruk lagi ialah term of trade dari produk negara berkembang dinilai rendah sehingga manfaat yang diperoleh dengan adanya pengelolaan sumber daya itu justru mengalir lebih banyak ke negara maju.
Presiden Soeharto, sebagai seorang Kepala Negara dari sebuah negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok-77, rupanya memberi kesan yang jelas bahwa semua bangsa berhak membangun perekonomian masing-masing, dengan perlindungan lingkungan yang memadai, disamping adanya upaya meningkatkan kualitas hidup manusia. Oleh sebab itu, Indonesia memandang untuk mengatasi masalah lingkungan diperlukan adanya upaya global, karena tanpa kecuali semua negara di dunia terancam oleh memburuknya kondisi lingkungan.
Kepemilikan sumber daya, serta pemanfaatannya dalam bentuk konsumsi yang tidak memberi peluang kepada negara berkembang untuk memperoleh bagian yang memadai, memang adakalanya memacu negara berkembang mengeksploitasi resources berlebihan. Brazil dan India, misalnya, tetap miskin walau hutan mereka habis akibat term of trade tidak memadai.
Kepala Negara agaknya merasa prihatin terhadang timbulnya jurang diantara negara yang kaya dan yang miskin. Jurang itu semakin lebar akibat borosnya dan rendahnya harga-harga yang diterima rendahnya harga-harga yang diterima oleh negara-negara berkembang.
Agaknya berbagai forum dialog, mulai dari PBB, UNTAC serta KTT Bumi tidak lepas dari isu yang selama ini tidak terpecahkan, yaitu ketimpangan kemakmuran dunia dan tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Dalam waktu beberapa bulan mendatang isu itu diperkirakan juga akan muncul dalam KTT Non-Blok di Indonesia. Sementara tindakan yang terkoordinasikan dan berdasarkan kesepakatan dunia belwn memadai untuk tidak dikatakan sebagai sulit dirumuskan.
Sejauh itu Indonesia, dengan sumber dana yang terbatas, berusaha melanjutkan pembinaan lingkungan-misalnya dalam hal perlindungan terhadap hutan–ditengah ketidakpastian internasional dalam mengambil tindakan bersama-yang diharapkan bisa memberikan manfaat secara adil dan mendasar. Baik bagi negara industri maupun negara berkembang.
Kita belum bisa mengukur seberapa jauh hasil KTT Bumi di Brazil dalam merumuskan langkah konkret mengatasi masalah lingkungan dan kemakmuran bangsabangsa secara merata. Tapi isu itu akan menggelinding sampai dunia merasakan betapa pahitnya ketimpangan itu terus bertumbuh. Karena itu Presiden Soeharto merasa prihatin bila jurang pemisah itu tidak diatasi dikhawatirkannya akan menjadi sumber konflik antar bangsa.
Sumber : BlSNIS INDONESIA (15/06/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 135-137.