PRESIDEN SOEHARTO DI SIDANG MU PBB: TINJAU KOMPOSISI DK-PBB

PRESIDEN SOEHARTO DI SIDANG MU PBB: TINJAU KOMPOSISI DK-PBB

 

New York, Media Indonesia

Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non-Blok (GNB) menyerukan sudah waktunya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninjau kembali masalah keanggotaan dan komposisi Dewan Keamanan (DK), serta hak veto. Tampil sebagai pembicara pertama Sidang Majelis Umum PBB ke-47 di Markas Besar PBB, New York, Kamis, Presiden menyatakan GNB sadar bahwa masalah ini harus dilakukan secara hati-hati karena memang menyangkut satu aspek mendasar dari tujuan serta fungsi organisasi PBB.

Ketika Piagam PBB dirumuskan dan badan-badannya didirikan pada tahun 1945, ujarnya, perhatian utama negara pendirinya memang tepat yaitu tertuju pada usaha mencegah timbulnya lagi bencana perang yang memusnahkan umat manusia.

Namun, sebagaimana dilaporkan wartawan Media Retno Indarti Dhamloyo dari New York semalam. Presiden mengingatkan, sejak itu dunia telah berubah secara mendasar di mana, selama 47 tahun terakhir sejumlah besar bangsa telah mencapai kemerdekaannya dan menjadi anggota berdaulat PBB. “Masuknya negara-negara baru tersebut mencerminkan perjuangan semesta bangsa-bangsa di dunia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme.”

Para pejuang kemerdekaan itu, lanjut Presiden, berjuang untuk meraih kemerdekaan politik. Meskipun demikian, hal itu buka Jadi tujuan akhir. Para pejuang itu senantiasa mengidamkan agar bangsanya dapat mencapai kemajuan ekonomi dan sosial yang tidak akan bisa terwujud jika mereka tetap terbelenggu dalam penjajahan politik.

Dalam arti sebenarnya, jelas Ketua GNB, kemerdekaan sejati hanya akan dapat dicapai melalui pembangunan karena kemerdekaan politik akan hampa bila tidak diisi dengan pembangunan ekonomi dan sosial.

Oleh karena itu, tegasnya, bila di masa lalu PBB terarah pada upaya pencegahan timbulnya Perang Dunia lagi, maka saat ini perhatian usaha dunia sekaligus PBB, hendaknya mengacu pada perjuangan bangsa-bangsa bagi pembangunan nasionalnya. Untuk itu, perhatian tersebut harus dicerminkan dalam karya PBB maupun komposisi dan dinamika badan-badannya, terutama Dewan Keamanan.

Menurut Kepala Negara, kita sekarang ini hidup dalam era pembangunan di mana kekuatan ekonomi semakin menentukan. “Kita hidup dalam dunia di manajutaan penduduk di negara berkembang mulai menuntut haknya untuk mewujudkan potensi ekonomi dan sosialnya.”

Sebab itu, tegas Presiden, GNB menganggap DK-PBB harus diperluas dengan masuknya anggota-anggota baru. Sekiranya kepada para anggota baru itu tidak dapat diberikan hak veto, setidaknya kepada mereka perlu diberikan status sebagai anggota tetap. “Masuknya negara-negara tersebut menjadi anggota tetap OK perlu didasarkan atas kriteria yang relevan dan lebih cermat untuk mencerminkan keadaan dunia yang sebenamya saat ini.”

Hal ini, tegas Ketua GNB, berarti kriteria tersebut juga harus memperhatikan konsep yang lebih luas mengenai keamanan, yaitu perlunya memperhitungkan aspek ekonomi dan sosial, selain militer. “Sebab, GNB tak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa kebijakan ekonomi negara Jndustri dan beban ekonomi negara berkembang terutama yang menliliki penduduk paling banyak. Juga merniliki pengaruh yang sama besarnya terhadap perdamaian dan keamanan internasional.”

Untuk itu, tegasnya, GNB juga berpendapat bahwa mungkin sudah tepat waktunya untuk meninjau kembali secara konstruktif cara-cara hak veto yang kini dilaksanakan. Presiden juga mengungkap masalah perekonomian negara berkembang. Saat ini tegasnya, negara berkembang umumnya menghadapi hambatan berat akibat lingkungan ekonomi ekstemal yang tidak mendukung. Hal ini, antara lain ditandai dengan sulitnya memperoleh akses teknologi ,adanya proteksionisme, harga komoditi dan bahan mentah yang berada pada tingkat terendah dalam sejarah, semakin kurangnya arus dana dan semakin beratnya beban utang luar negeri. Ini mengakibatkan terjadinya arus balik dana ke negara maju dan lembaga keuangan multilateral.

Untuk menghindarinya, tegas Ketua GNB, pengaturan perlu lebih diperluas lagi agar mencakup semua jenis utang dan semua kategori negara yang berutang termasuk yang telah berusaha secara sungguh-sungguh memenuhi kewajiban pembayaran kembali utangnya.

Tentang demokratisasi, Presiden menyatakan demokrasi bukan merupakan konsep yang statis dan terbatas pada bentuk serta praktek baku tertentu. “Karena tidak ada satu bentuk demokrasi pun yang dianggap berlaku secara universal mengingat keanekaragaman nilai budaya dan pengalarnan sejarah bangsa-bangsa di dunia.”

Sungguh merupakan pengingkaran prinsip dasar demokrasi itu sendiri jika keberlakuannya hanya dituntut dalam setiap negara, sedangkan nilainya diabaikan dalarn hubungan antar-negara. Untuk itu,tegas Kepala Negara, GNB mendesak agar organisasi multilateral juga mencerminkan asas demokrasi dalam bentuk keadilan, persamaan, keterbukaan baik dalam perwakilan negara anggotanya maupun dalam proses pengambilan keputusan.

Sumber : MEDIA INDONESIA (25/09/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 266-268.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.