PRESIDEN SOEHARTO: KEANGGOTAAN DK PBB HARUS DIPERLUAS
New York, Angkatan Bersenjata
Presiden Soeharto menegaskan sudah tiba waktunya untuk meninjau kembali soal keanggotaan serta komposisi Dewan Keamanan (DK) PBB. Juga berpendapat kini tepat waktunya untuk meninjau kembali secara konstruktif cara-cara hak veto yang sekarang ini dilaksanakan, dalam usaha menjadikan badan dunia tersebut lebih demokratis.
Presiden Soeharto melemparkan seruannya ini selaku Ketua GNB ketika berpidato di depan Sidang Majelis Umum ke-47 PBB, Kamis pagi di New York atau Kamis malam WIB. Demikian dilaporkan wartawan Angkatan Bersenjata, Suryo Pranoto, dari New York semalam.
Masyarakat kini hidup dalam era pembangunan di mana kekuatan ekonomi semakin menentukan. “Kita hidup dalam dunia di manajutaan penduduk di negaranegara berkembang mulai menuntut haknya untuk mewujudkan potensi ekonomi dan sosialnya. Karena itu, kami anggap bahwa Dewan Keamanan harus diperluas dengan masuknya anggota-anggota baru,” tegas Presiden dalam pidatonya yang disebarluaskan ke seluruh dunia dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, Cina, Arab dan Spanyol.
Kalau untuk anggota-anggota baru itu tidak bisa diberikan hak veto, setidaktidaknya kepada mereka perlu diberikan status sebagai anggota tetap. Masuknya negara-negara tersebut menjadi anggota tetap Dewan Keamanan perlu didasarkan atas kriteria yang relevan, yang lebih cermat mencerminkan keadaan dunia yang sebenamya dewasa ini. Itu berartijuga bahwa kriteria tersebut harus juga memperhatikan konsep yang lebih luas mengenai keamanan, yaitu yang kini perlu memperhitungkan aspek-aspek ekonomi dan sosial, di samping aspek-aspek militer.
Tidak Menjadi Persoalan
Presiden Soeharto yang tampil sebagai pembicara pertama pada sidang Majelis Umum PBB yang dipimpin Ketua Sidang, Stoyan Ganev dan dihadiri Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali, selain berbicara atas nama 180 juta rakyat Indonesia, juga menyampaikan pesan dari 108 negara anggota GNB sebagaimana yang dihasilkan dalam KTT ke-10 GNB di Jakarta, tanggal 1 hingga 6 September lalu.
Di hadapan delegasi dari 179 negara anggota PBB itu, Presiden Soeharto secara rinci menjelaskan keputusan-keputusan serta pendirian-pendirian dasar yang telah disepakati pada KTT ke-10 GNB sebagaimana tercatat dalam Dokumen Akhir Konperensi itu yang kemudian disimpulkan dalam “Pesan Jakarta”.
Ditegaskan oleh Kepala Negara bahwa Indonesia dan GNB tidak akan bersikap hanya sebagai penonton belaka atau pun membiarkan diri dikesampingkan dalam arus perubahan bersejarah yang sedang meIanda dunia sekarang ini
“Kamu berketetapan hati untuk ikut serta membangun suatu tatanan dunia baru yang bebas dari perang dan kemiskinan, intoleransi dan ketidakadilan. Suatu tatanan dunia yang berdasarkan atas prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai dan saling ketergantungan yang sejati. Suatu tatanan yang sepenuhnya menghargai keanekaragaman sistem sosial dan budaya di dunia kita ini,” tandasnya yang mendapat sambutan tepuk tangan dari para anggota PBB yang sebagjan di antaranya juga anggota GNB.
Untuk mencapai tatanan internasional baru itu, menurut Presiden, GNB telah bersepakat melalui PBB sebagai sarana utama yang tidak dapat digantikan oleh sarana lain apapun juga. Melalui dialog dan kerjasama, GNB akan berusaha menempatkan diri sebagai suatu unsur yang kokoh dan konstruktif dalam arus utama tata hubungan internasional. Agar dengan demikian, tatanan baru itu dapat terwujud atas dasar universalitas yang sejati, suatu tatanan yang menjamin keserasian, perdamaian, keadilan dan kemakmuran bagi semua.
PBB Diubah
Menurut Presiden, PBB serta badan-badan utamanya perlu melakukan proses peninjauan dan penggairahan kembali secara berkala, agar tetap dapat mengadakan penyesuaian dinamis terhadap realita yang berkembang dalam hubungan internasional.
Dengan demikian, organisasi dunia itu dapat terus memainkan peranannya yang efektif sebagai pusat penanganan berbagai masalah global yang kritis dewasa ini.
“Sehubungan dengan itu, kami, Gerakan Non Blok, berketetapan hati untuk memainkan peranan aktif dan konstruktif dalam usaha revitalisasi, restrukturisasi dan demokrati sasi sistem PBB . Untuk maksud tersebut, GNB telah memutuskan untuk membentuk suatu kelompok kerja pada tingkat tinggi, dengan tugas merumuskan usul usul konkret bagi restrukturisasi PBB.
Hal yang juga penting, menurut Presiden, terjadinnya suatu hubungan yang berimbang antara Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial dan Sekretaris Jenderal. “Kami menganggap sangat perlunya pertanggungjawaban yang lebih besar dari Dewan Keamanan kepada Majelis Umum mengenai keputusan keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat internasional.”
Peranan Majelis Urnum sebagai forum untuk pernbahasan, perundingan dan pengambilan keputusan harus ditingkatkan. Kemampuan PBB untuk meningkatkan pembangunan dan kerjasama internasional perlu diperkuat melalui penggairahan kembali fungsi Dewan Ekonomi dan Sosiai, Sekjen PBB harus didukung oleh pelbagai sarana yang sepadan dengan tugasnya yang telah berkembang secara luas sebagai akibat perkembangan dunia belakangan ini.
Berkaitan dengan itu, mandat Sekjen PBB perlu diperluas agar memungkinkan mengambil prakarsa yang diperlukan dalam melaksanakan suatu diplomasi preventif, dan dalam meningkatkan efisiensi kegiatan PBB di bidang penyelesaian sengketa dan pemeliharaan perdamaian.
Kesepakatan Baru
Menurut Presiden, negara-negara Non-Blok menyadari sepenuhnya bahwa masalah-masalah global kini saling terkait, terutama di bidang ekonomi. Dan karena hampir seluruh permasalahan dewasa ini bersifat global, maka penyelesaiannya pun tidak mungkin dicapai melalui langkah-langkah perbaikan sementara atau pun melalui penyelesaian tambal-sulam.
“Karena itu, sudah waktunya bagi negara-negara Utara maupun Selatan untukmenumbuhkan suatu kesepakatan baru mengenai pembangunan dan menggalang suatu kemitraan demokratis dalam merumuskan penyelesaian global terhadap masalahmasalah global itu,” tandasnya.
Hanya dengan cara itu kita dapat membebaskan ekonomi dunia dari kemelut serta menghapuskan berbagai lembaga dan modalitas yang tidak adil, yang telah menyebabkan semakin mendalamnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam hubungan ekonomi internasional serta sernakin melebamya jurang kemakmuran dari teknologi antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang.
“Hanya dengan cara demikianlah kita dapat mengadakan perombakan tatanan dan hubungan ekonomi intemasional, sehingga menjadikannya lebih adil dan oleh karenanya, lebih tangguh,” tandasnya.
Selain menyerukan dihidupkannya kembali dialog yang konstruktif antara UtaraSelatan untuk kepentingan, keuntungan serta tanggungjawab bersama, Presiden Soeharto juga mengemukakan tekad GNB untuk meningkatkan kerjasama Selatan Selatan berdasarkan asas kemandirian bersama.
Dalam mewujudkan kerjasama Selatan-Selatan itu telah diprakarsai berbagai proyek kerjasama yang nyata. Antara lain di bidang pengamanan pangan, kependudukan, perdagangan dan investasi, serta merumuskan cara-cara yang praktis bagi pelaksanaannya.
Berkaitan dengan itu Presiden mengajak negara-negara maju serta lembagalembaga keuangan multilateral untuk mendukung upaya ini. Karena dengan berhasilnya peningkatan kerjasama ekonomi di antara negara-negara berkembang, pada gilirannya akan lebih menggairahkan pertumbuhan dan perluasan ekonomi dunia secara keseluruhan yang akan membuahkan manfaat yang sepadan pula bagi negara-negara maju.
Presiden juga mengemukakan sikap GNB yang mendukung dan menyambut baik hasil Konperensi Rio di mana masalah lingkungan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan. Dalam kaitan ini, GNB menyambut baik pembentukan Komisi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan yang Berkelanjutan.
GNB juga mendukung penyelenggaraan KTT Sedunia mengenai Pembangunan Sosial dan akan sepenuhnya bekerjasama untuk menyukseskan Konperensi Sedunia mengenai Wanita pada tahun 1995.
Menyangkut masalah hak asasi, negara-negara Non Blok akan mengkoordinasikan posisi mereka dan berperan serta secara aktif dalam kegiatan persiapan Konferensi Dunia ke-2 mengenai Hak Asasi Manusia bulan Juni 1993. Agar dapat menjamin konferensi itu membahas semua aspek hak asasi manusia berdasarkan prinsip-prinsip universalitas, keterkaitan yang tak terpisahkan dan objektivitas tanpa mengutamakan jenis hak yang satu atas lainnya.
Sebelum menyampaikan pidatonya, Kamis pagi Presiden dan lbu Tien Soeharto juga telah mengadakan pertemuan dengan Sekjen PBB dan Ny. Boutros Boutros Ghali. Palam pertemuan yang berlangsung akrab dan penuh persaudaraan itu, juga hadir Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Moerdiono. Bahkan Presiden bersama lbu Tien Soeharto juga sempat berfoto bersama dengan Sekjen PBB dan Ny. Boutros Boutros Ghali.
Sementara Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya dalam sidang MU-PBB, Ibu Tien Soeharto dan Ny. Boutros Boutros Ghali ikut mendengarkan dari tempat duduk VIP. Demikian juga Mensesneg menempati tempat duduk VVIP bagian B sementara Menlu Ali Alatas duduk di tempat delegasi RI.
Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (25/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 271-275.