PERLUASAN DK-PBB TIDAK MUDAH, TAPI HARUS KITA PERJUANGKAN
Jakarta, Kompas
DALAM pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB lalu Presiden Soeharto antara lain menyatakan bahwa Dewan Keamanan (DK) PBB harus diperluas dengan masuknya anggota-anggota baru, karena dunia sekarang ini telah banyak berubah secara mendasar. Penyataan Presiden juga mewakiIi suara GNB, yang pada KTT X di Jakarta awal bulan ini juga banyak mengangkat isu tersebut.
Menilai kembali struktur organisasi PBB yang oleh makin banyak negara dianggap tidak demokratis dan tidak mewakili perkembangan yang muncul di dunia dewasa ini tampaknya menjadi agenda tidak resmi banyak negara ketika PBB sendiri sedang melangsungkan Sidang Majelis Umum yang ke-47.
Selain diperluas, Kepala Negara juga menyampaikan pesan GNB, bahwa PBB juga harus mencerminkan asas demokrasi dalam bentuk keadilan, persamaan dan keterbukaan, baik dalam perwakilan negara anggotanya maupun dalam proses pengambilan keputusan.
Menarik pula untuk dicatat pernyataan Presiden selaku Ketua GNB yang menyebut GNB menyadari peninjauan kembali soal keanggotaan dan komposisi DK harus dilakukan hati-hati, karena menyangkut aspek mendasar dari tujuan dan fungsi orgarusast.
“Sekiranya kepada anggota-anggota baru tersebut tidak dapat diberikan hak veto, setidak-tidaknya kepada mereka perlu diberikan status anggota tetap,” tegas Presiden.
APA yang dengan tenang disampaikan oleh Presiden, diungkapkan secara lebih galak oleh Malaysia. Ketika berpidato di depan SMU Rabu lalu, Menlu Malaysia Datuk Abdullah Badawi langsung melancarkan kecaman terhadap DK yang dianggap terus bertindak, melebihi mandatnya karena tekanan dari “Lima Besar” anggota tetap DK.
Tentang komposisi keanggotaan, Datuk Badawi menegaskan, bahwa Eropa terlalu banyak terwakili dalam DK, hingga hak veto mereka juga harus ditinjau kembali.
Selebihnya, Malaysia juga menilai bahwa sejauh ini terlalu banyak penekanan yang diberikan pada peranan PBB dalam soal keamanan internasional, tetapi sedikit perhatian terhadap dimensi ekonomi dan sosial bagi perdamaian.
SEKALI lagi kita pun setuju, bahwa keanggotaan tetap DK terus saja mencerminkan keseimbangan kekuatan pada akhir Perang Dunia II. Dengan munculnya berbagai perubahan, maka masuk akal biIa komposisi dan hak veto yang
melekat pada Lima Besar ditinjau kembali, karena hal itu selama ini menjadi alat yang menjamin peranan dominan dan eksklusif Lima Besar anggota tetap DK. Bagaimana prospek peninjauan kembali komposisi DK dan hak veto Lima Besar? Diminta begitu saja tampaknya akan sulit dipenuhi oleh Lima Besar yang memang berkuasa. Harapan tetap ada, yaitu dengan makin banyaknya kekuatan besar yang juga memiliki aspirasi menjadi anggota tetap DK, teristimewa Jerman dan Jepang.
Jerman, seperti dikemukakan oleh Menlu Klaus Kinket di SMU Rabu lalu, untuk pertama kalinya menyatakan keinginannya menduduki kursi anggota tetap DK. Negara kuat Eropa ini juga betjanji akan mengubah konstitusinya hingga tentara Jerman bisa ambil bagian dalam operasi militer PBB. Rupanya, dua tahun setelah penyatuan, Jerman merasa siap untuk memainkan peranan dalam politik dunia sesuai dengan kekuatan ekonominya.
Sebenamya di masa lalu pun AS mendukung ide masuknya Jepang dan, setelah unifikasi tahun 1990, juga Jerman dalam keanggotaan tetap DK. Tetapi seperti dicatat Paul Lewis di IHT (25/9) kemarin, secara diam-diam AS juga tidak mendorong kedua negara tersebut untuk secara terbuka menekan Lima Besar agar mereka diterima sebagai anggota tetap. Alasannya, AS takut bahwa adanya upaya untuk mengubah Piagam PBB bisa memunculkan secara tak terkendali tekanan untuk pengubahan besar-besaran organisasi PBB.
Kini dengan Jerman dan Jepang semakin terbuka menyatakan niatnya untuk menjadi anggota tetap DK, tak bisa lain AS harus memutuskan dan menyatakan secara terbuka apakah ia setuju atau menentang keinginan kedua negara tersebut.
TEKANAN baik oleh negara maju maupun negara berkembang PBB dan DK nya untuk menyesuaikan diri, mungkin akan memaksa organisasi dunia tersebut harus mempertimbangkan hal itu dalam beberapa tahun mendatang.
Tetapi harus kita sadari, bahwa pada dasarnya soal perubahan dalam keanggotaan tetap DK memang bukan soal gampang. Kaum mapan di PBB dan DK segera melihat bahwa hal itu akan disertai dengan komplikasi dan pertikaian.
Keanggotaan tetap tanpa veto, seperti disinggung Presiden Soeharto, ternyata juga menjadi konsep Brasil. Dalam apa yang dikenal sebagai Rencana Brasil, Jerman dan Jepang mendapat kursi anggota tetap tetapi tanpa veto. Keanggotaan serupa juga ditambah dengan negara-negara seperti Brasil, Mesir, India dan Nigeria.
Tetapi bertambahnya jumlah anggota tetap melahirkan tekanan supaya jumlah anggota tidak tetap pun juga dinaikkan. Bisa jadi dengan dikabulkartnya usulan itu, jumlah anggota DK menjadi 25 atau lebih. Sejumlah diplomat segera melihat, dengan keanggotaan sebesar itu, keputusan akan sulit diambil.
Tetapi Jerman merasa inilah saatnya untuk menyatakan keinginan menjadi anggota tetap secara terbuka, karena yakin bahwa Inggris atau Perancis dipastikan tak akan pemah setuju dengan rencana altematif yang mendesak mereka menggabungkan keanggotaan masing-masing menjadi satu saja, mewakili Masyarakat Eropa.
Di luar adanya keinginan dan optimisme apa pun mengenai restrukturisasi DK PBB, kita harus pula memahami tantangannya. Kiranya apa yang telah diungkapkan oleh pengamat masalah internasional Priatna Alibasyah dalam artikelnya di harian ini Karnis lalu dapat kita renungkan bersama.
Mengutip ucapan Menlu Ali Alatas, Priatna menulisbahwa setiap saat mencoba mulai mengetjakan (restrukturisasi DK)-tanpa kelihaian -berarti membuka sebuah kotak pandora. Sernentara itu, rnenurut pasal 109 Piagam PBB, tak akan ada revisi tanpa persetujuan bersama anggota tetap DK.
Kita dapat menyimpulkan, bahwa menyangkut keanggotaan tetap DK PBBmeskipun kita yakin betul akan perlunya revisi-kita perlu memikirkan lebih dalam lagi konsekuensi potensialnya. Berikutnya, kita lihat pula tantangan dan hambatan yang segera menghadang manakala kita memulai prakarsa untuk itu, yaitu kemungkinan Lima Besar-sendiri-sendiri atau bersarna serta-merta menolak prakarsa tersebut.
Sumber : KOMPAS (26/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 305-307.