PERLUASAN KEANGGOTAAN DEWAN KEAMANAN PBB
New York, Angkatan Bersenjata
KAMIS lalu Presiden Soeharto, baik sebagai Ketua Gerakan Non Blok maupun sebagai Kepala Negara Indonesia berpidato 30 menit dalam Sidang Umum PBB di New York. Peluang itu dimanfaatkannya untuk menjelaskan keputusan serta pendirian dasar yang disepakati pada KTT 10 GNB di Jakarta 1-6 September seperti tertulis dalam Dokumen Akhir KTT itu yang elisimpulkan dalam “Pesan Jakarta”.
Kendatipun merupakan salah satu negara pendiri GNB dalam KTT di Beograd 1961 barulah 31 tahun kemudian Indonesia menjadi tuan rumah KTT 10 GNB dan menjadi Ketua GNB sampai KTT XI 1995. Dan itu tetjadi setelah dunia dilanda perubahan besar dibidang politik dan ekonomi sesudah usainya perang dingin, rontoknya rezim-rezim komunis di Eropa Timur yang digantikan pemerintahan demokratis dan bubarnya Uni Soviet hingga 15 mantan republiknya menjadi negaranegara merdeka yang menjadi anggota PBB yang kini meliputi 179 negara.
Periode menjelang 1992 belum memungkinkan Indonesia tampil sebagai pimpinan GNB sebab yang diprioritaskan adalah pembangunan dalam negeri untuk mengatasi kelangkaan pangan dan bahan-bahan pokok, jasa-jasa dan aneka krisis yang diwarisi dari pemerintah di era pra Orde Baru.
Syukurlah berkat ketekunan membangun selama 5 Pelita diperoleh kemajuan dan perbaikan, diantaranya ada yang diakui dan diberi tanda penghargaan oleh PBB seperti swasembada beras, program KB dan pembangunan kesehatan rakyat.
Barang-barang yang sebelum pembangunan diimpor, beras, tekstil, pupuk, semen, elektronika dan sebagainya telah diproduksi secara besar-besaran di dalam negeri dan diekspor. Di pusat-pusat kota gedung horisontal berubah jadi pencakar langit, terbentang jalan yang mulus, jalan tol dan jalan layang yang sering macet oleh padatnya kendaraan, pada hal di era pra pembangunan kendaraan bermotor merupakan barang langka. Penghasilan per kapita orang Indonesia meningkat dari 200 dolar menjadi 570 dolar sekarang. Kendati meningkat hampir 3 kali lipat, belum apa-apa dibandingkan pendapatan per kapita di Malaysia, apalagi Singapura. Ketinggalan itu hanya bisa dikejar dengan terus membangun.
Sungguhpun begitu pengalaman dan prestasi yang tercapai selama ini dalam pembangunan pertanian, kependudukan/KB, perumahan rakyat, Industri kecil/ kerajinan rakyat sudah dapat ditularkan Indonesia kepada negara-negara berkembang anggota GNB. Itu sebabnya Indonesia bersedia jadi tuan rumah KTT dan jadi Ketua GNB selama 3 tahun.
Berkat persiapan yang teliti danpiinpinan yang efektif KTT itu lancar dan sukses serta menghasilkan produk-produk yang diharapkan dapat mengubah tata dunia lama dengan struktur yang amat merugikan dan menghambat kemajuan negara-negara berkembang, menjadi tata dunia baru yang memberi peluan g untuk membangun, mengembangkan sumber daya manusianya dan memajukan perdagangan internasional.
Untuk pertama kalinya, Kamis lalu, Presiden Soeharto tampil di Sidang Umum PBB dan sesuai dengan martabatnya sebagai Ketua GNB mendapat pelayanan terhormat di “pusat pemerintahan dunia” itu. Kepala negara Indonesia itu dan pidatonya yang cespleng di SU PBB itu dipuji-puji oleh kepala negara, pemerintahan dan menteri negara-negara GNB peserta KTT GNB di Jakarta. Orang Indonesia yang mempunyai kesadaran nasional tentu merasa bangga oleh perlakuan istimewa yang diberikan PBB kepada kepala negara nya.
Dalam pidatonya ditekankan oleh Presiden Soeharto, sudah tiba waktunya untuk meninjau kembali soal keanggotaan serta komposisi Dewan Keamanan PBB. Kini tepat waktunya untuk meninjau kembali secara konstruktif cara-cara hak veto yang sekarang dilaksanakan dalam usaha menjadikan badan dunia itu lebih demokratis. Masyarakat kini hidup dalam era pembangunan dirnana kekuatan ekonomi semakin menentukan. Kita hidup dalam dunia dimana jutaan penduduk negara berkembang mulai menuntut haknya untuk mewujudkan potensi ekonomi dan sosialnya. Karena itu karni anggap Dewan Keamanan harus diperluas dengan masuknya anggota-anggota baru.
Kalau untuk anggota-anggota baru itu tidak bisa diberikan hak veto, setidaktidaknya kepada mereka perlu diberikan status sebagai anggota tetap. Masuknya negara-negara tersebut menjadi anggota tetap Dewan Keamanan perlu didasarkan atas kriteria yang relevan yang lebih cermat mencerminkan keadaan dunia yang sebenarnya dewasa ini. Itu berarti juga bahwa kriteria tersebut harus pula memperhatikan konsep yang lebih luas mengenai keamanan, yaitu yang kini perlu memperhitungkan aspek-aspek ekonomi dan sosial, di samping aspek-aspek militer.
Presiden juga bicara tentang perlunya diadak:an dialog konstruktif Utara-Selatan, kerjasama Selatan-Selatan, hak: azasi manusia, perlunya dituntaskan putaran Uruguay, beban utang luar negeri negara-negara berkembang dan masalah lingkungan hidup.
Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (26/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 314-316.