TAJUK RENCANA: TANTANGAN KITA BERSAMA, MEMPERJUANGKAN USULAN KONKRET PRESIDEN[1]
Jakarta, Kompas
Banyak, substansial, fundamental, dan disampaikan dengan jelas dan konseptual serta sistematik. Barangkali ungkapan itu dapat meringkaskan apa yang disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam penerbangan kembali ke Tanah Air dari lawatan kerja ke New York dan Tokyo Selasa malam lalu.
Banyak, karena berbagai topik mulai dari tujuan lawatan bagi kepentingan nasional dan bagi kepentingan GNB, mulai dari pemikiran mengenai restrukturisasi DK PBB hingga program aksi Selatan, dapat disampaikan Kepala Negara hanya dalam tempo sekitar 25 menit.
Substansial, karena topik-topik tersebut merupakan pokok-pokok permasalahan yang konkret dan sudah beberapa waktu menjadi bahan pemikiran banyak bangsa di dunia. Penjelasan Kepala Negara juga mengandung unsur fundamental, karena dalam upaya untuk menata kembali tata dunia dalam era pasca-Perang Dingin serta penanganan berbagai permasalahan negara-negara Selatan, maka di antara kemungkinan solusinya adalah penataan kembali PBB sebagai organisasi dunia yang banyak berperan dalam menata pola hubungan antar bangsa , khususnya antara negara industri maju yang kaya dan militer kuat dan negara-negara berkembang.
Di antara berbagai pemik iran yang dikemukakan Kepala Negara , kita ingin menyoroti kembali riga soal yang kiranya menjadi sari pati penjelasan Kepala Negara kepada para wartawan.
Soal pertama adalah yang berkaitan dengan GNB. Setelah menegaskan kembali bahwa GNB dalam era pasca-Perang Dingin masih terus relevan, maka selaku Ketua Gerakan ini Presiden Soeharto telah memperlihatkan niat dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan kembali arab GNB dan mengembangkannya melalui usaha nyata kerja sama Selatan-Selatan dan selain itu juga menghidupkan kembali dialog Utara-Selatan.
Dalam kaitannya dengan hal yang kita sebut terakhir, Presiden menegaskan, bahwa agar Selatan tidak dianggap “hanya bisa menuntut”, maka pendekatan lama yang cenderung konfrontatif akan diganti dengan pendekatan kemitraan.
Kesungguhan Kepala Negara untuk terus menjaga momentum diperlihatkan pula dengan penegasan, bahwa hasil-hasil KTT X GNB tidak akan ditangani secara umum, tetapi akan ditangani secara khusus. Pengangkatan Nana Sutresna sebagai Kepala Staf GNB, juga Prof. Widjojo Nitisastro sebagai koordinator tim-tim ahli, serta empat Letjen (Pum)-Sayidiman Suryohadiprojo, Achmad Thahir, Alamsjah Ratu Perwiranegara dan Hasnan Habib-sebagai duta besar wilayah, adalah bukti yang jelas adanya kesungguhan Indonesia dalam memimpin dan menyukseskan GNB.
Tidak kalah menarik adalah usulan konkret Indonesia bagi restrukturisasi PBB, khususnya yang menyangkut keanggotaan tetap Dewan Keamanan (DK). Sebagaimana juga telah diangkat dalam beberapa ulasan di forum ini, isu penataan kembali struktur keanggotaan tetap DK memang telah menjadi isu yang dikemukakan secara luas oleh banyak negara. Dengan demikian, apa yang juga menjadi bahan kerisauan banyak anggota GNB pada saat berlangsungnya KTT Jakarta, dan kini dikemukakan oleh Ketua GNB, tetap menjadi isu yang tepat waktu.
Kita menggaris bawahi pernyataan Presiden, bahwa pada dasarnya status keanggotaan tetap DK yang ada sekarang ini sudah tidak mencerminkan rasa keadilan dan tidak cocok lagi dengan berbagai pembahan yang kini terjadi di dunia.
Bahwa keanggotaan tetap tersebut harus diperluas tampaknya telah menjadi aspirasi banyak negara. Hanya saja, seperti dikemukakan Kepala Negara di depan Sidang Majelis Umum PBB pekan silam, peninjauan kembali soal keanggotaan dan komposisi DK harus dilakukan hati-hati, karena menyangkut aspek mendasar dari tujuan dan fungsi organisasi.
“Sekiranya kepada anggota-anggota barn tersebut tidak dapat diberikan hak veto, setidak-tidaknya kepada mereka perlu diberikan status anggota tetap,” tegas Presiden waktu itu.
Sebagian di antara mereka yang dimaksud Kepala Negara tampaknya sudah cukup dikenal, dalam hal ini adalah Jepang dan Jerman, yang karena kekuatan ekonomi keduanya yang kuat menjadi masuk akal bila keduanya juga bisa memikul tanggung jawab internasional yang lebih besar sebagai anggota tetap DK.
Tetapi dengan ketujuh negara itu saja memang masih belurn memenuhi tuntutan rasa keadilan seluruh masyarakat dunia, karena ketujuhnya berasal dari negara maju Utara. Atas dasar itulah Kepala Negara mengusulkan jumlah itu masih ditambah lagi dengan empat lainnya yang berasal dari negara-negara Selatan. Mungkin di sini soalnya menjadi lebih tidak gampang atau delicate.
Tentu kita akan merasa terhormat bila Indonesia sebagai negara Selatan yang besar pada saatnya dapat diterima sebagai salah satu anggota tetap DK. Tetapi dengan adanya India, Indonesia dan Cina dalam DK juga akan timbul kesan Asia terlalu banyak diwakili, mengingat “Eropa terlalu banyak terwakili” sekarang ini pun sudah santer dikemukakan.
Di luar segala kompleksitas yang ada dewasa ini bagi adanya satu perombakan pada DK PBB, kita meyakini kebenaran gagasan itu. Adapun kerumitan yang telah dikenali oleh para pendukung status quo adalah bahwa aspirasi banyak negara untuk menjadi anggota tetap akan diikuti pula oleh aspirasi menjadi anggota tidak tetap. Untuk anggota tetap, bisa terjadi jumlah 11 yang diusulkan Presiden Soeharto tetap dirasa kurang, karena Afrika misalnya, juga mengusulkan lebih dari satu calon sebut saja selain Mesir juga Nigeria.
Dengan dikabulkannya berbagai permintaan, bisajadi jumlah anggota DK menjadi 25 atau lebih. Sejumlah diplomat segera melihat, dengan keanggotaan sebesar itu, keputusan akan sulit diambil. Tantangan langsung yang segera kita lihat dari usulan penambahan jumlah anggota DK adalah kenyataan, bahwa pasal 109 Piagam PBB menyebutkan tidak akan ada revisi (Piagam) tanpa persetujuan bersama anggota tetap DK. Padahal kita melihat, meskipun AS pemah diberitakan mendukung keinginan Jerman dan Jepang, adidaya ini juga kurang mendorongnya mengingat konsekuensi potensial dari langkah seperti itu.
Akhirnya soal yang tidak kalah pentingnya dibanding kedua soal di atas adalah yang menyangkut upaya penyelesaian utang negara-negara Selatan, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin besar dan semakin melilit. Untuk soal ini, Kepala Negara mengingatkan kembali negara maju untuk memenuhi komitmennya menyisihkan 0,7 persen dari GNP mereka bagi kebutuhan negara berkembang. Dewasa ini, dari seharusnya 95 milyar dollar yang mestinya diberikan sesuai persentase di atas, yang diberikan hanya 45 milyar dollar saja.
Kita sebagai pemimpin GNB memang dihadapkan pada tantangan yang berat. Penyebabnya tidak saja terus berlanjutnya kesulitan ekonomi di negara-negara maju, tetapi juga dengan semakin umumnya pola menjadikan uang sebagai komoditi .
Keduanya menjadikan dana dunia semakin terbatas. Dalam situasi seperti ini, mengingat jumlah negara Selatan sendiri relatif banyak, berarti di antara mereka sendiri amat mungkin tetjadi persaingan sengit, karena bagaimanapun juga masing-masing akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Di atas situasi ini, jelas posisi negara maju tetap lebih menguntungkan dalam penetapan kriteria danjumlah, atau item lainnya.
Tentu menjadi tugas kita untuk memikirkan lebih lanjut konsep-konsep yang telah dimajukan oleh Kepala Negara tentang soal-soal di atas dengan penuh kearifan. Kita mengakui kemasuk-akalan gagasan dan konsep tersebut, tetapi kita juga mengakui pula peliknya tantangan yang ada di depan upaya mewujudkannya.
Sumber: KOMPAS (01/10/1992)
_________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 414-417.