KETUA DARI SELATAN[1]
Jakarta, Tempo
INILAH suara dari 108 negara berkembang: hidupkan kembali dialog Utara dan Selatan yang konstruktif Keinginan itu disampaikan oleh Presiden Soeharto, Ketua Gerakan Non Blok, di forum Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pekan lalu. Tampil sebagai pembicara ke-10 yang membawakan suara suara negara Selatan, pidato Pak Barto, yang disampaikan selama 55 menit, merupakan masukan berharga bagi wakil-wakil masyarakat dunia yang tengah bergumul menyusun tatanan dunia setelah era perang dingin usai.
Soalnya, suara Gerakan Non Blok selama ini selalu garang dan penuh makian terhadap negara-negara maju. Sedangkan Pak Harto, yang tampil pada saat Non Blok, berhasil merangkul lebih banyak anggota (istilah Kepala Negara: “Suatu koalisi politik yang mencakup lebih banyak negara berdaulat dari kelompok mana pun dalam sejarah”) justru menawarkan dialog yang konstruktif.
“Tanpa adanya stabilitas dan pembangunan di Selatan, pihak Utara tak mungkin dapat mempertahankan terus laju kesejahteraan ekonominya,” kata Pak Harto.
Kepala Negara menambahkan bahwa tanpa adanya suatu lingkungan global yang mendukung, suatu hal yang banyak tergantung dari kebijakan-kebijakan pihak Utara, negara-negara Selatan tidak akan dapat mencapai pembangunannya.
Dua hari setelah menyampaikan pidato di forum dunia itu, telepon di kamar penginapan Presiden Soeharto di lantai 41 Hotel Waldorf Astoria berdering. Peneleponnya: George Bush, yang meluangkan waktu selama 12 menit di sela-sela kesibukannya berkampanye di seantero Amerika untuk memenangkan masa jabatan empat tahun kedua sebagai Presiden. Bush, kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, antara lain mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok.
“Bush juga menyiratkan keyakinannya bahwa kepemimpinan Indonesia akan membawa Gerakan Non Blok ke arah yang lebih positif,” tambah Moerdiono.
Kendati pembicaraan telepon antara Pak Harto dan Bush berlangsung singkat, Wakil Tetap Indonesia di PBB Nugroho Wisnumurti menilainya sebagai sesuatu yang penting.
“Dalam sejarah Gerakan Non Blok belum pemah Amerika memberikan komentar positif, bahkan dari tingkat di bawah menteri sekalipun,” katanya.
Siapa tahu ini merupakan indikasi keseriusan negara-negara maju (Utara) menilai tawaran dialog yang tercantum dalam “Pesan Jakarta” itu. Setelah lima hari diNew York, rombongan Presiden Soeharto bertolak menuju Tokyo untuk menyampaikan “Pesan Jakarta” yang dirumuskan dalam KTT Non Blok
Lalu. Di Tokyo, Kepala Negara berjumpa dengan Kaisar Akihito dan berdialog dengan Perdana Menteri Miyazawa, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara industri (G-7) Juli mendatang. Pak Harto ingin mengajak Jepang, satu-satunya wakil Asia dalam G-7, menjadi mitra dalam merealisasi tatanan dunia baru yang digagaskan dalam “Pesan Jakarta”.
Selain mencoba merangkul Jepang, Presiden Soeharto juga berusaha meyakinkan “NagaAsia” lain: Korea Selatan. Ketika di New York, PakHarto berbincang-bincang dengan Presiden Roh Tae Woo selama 25 menit untuk menjelaskan hasil KTT Non Blok dan mengimbau Korea Selatan untuk semakin aktif membantu negara-negara miskin. Presiden Roh Tae Woo, rnenurut Menteri Moerdiono, “menyambut dengan antusias” isi pembicaraan yang disampaikan Pak Harto.
Pada kesempatan itu Presiden Roh Tae Woo, lanjut Menteri Moerdiono, juga rnenjelaskan kepada Pak Harto mengenai perkembangan terakhir di Semenanjung Korea yang masih merupakan salah satu potensi konflik besar di era pasca perang dingin sekarang. Tamu lain Pak Harto selama di New York adalah Presiden Alija Izetbegovic dari Bosnia Herzegovina, Presiden Milan Kucan dari Slovenia, dan Wakil Presiden Suriname.
Semua itu dilakukan Presiden Soeharto untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak mungkin guna mengegolkan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif di forum dunia. Soalnya, setiap negara anggota hanya punya satu suara di forum sidang umum PBB, terlepas dari ukuran negara maupunjumlah penduduknya. Langkah Pak Harto itu, menurut seorang pejabat tinggi Indonesia, termasuk untuk mengamankan upaya Portugal menggalang perdebatan soal Timor Timur di sidang-sidang PBB.
Aspek yang paling mengganjal bagi dunia dalam persoalan Timor Timur adalah segi hak asasi manusia. Maklum, dengan berakhirnya perang dingin, semakin kuat tekanan dari negara maju untuk mengaitkan bantuan luar negerinya dengan soal hak asasi manusia. Gayung itu seolah bersambut dengan pidato Pak Harto.
“Kami menyambut baik kecenderungan yang semakin meningkat ke arah demokrasi dan sepakat untuk bekerja sama melindungi hak-hak asasi manusia,”katanya.
Pak Harto pada kesempatan itu juga menambahkan pendapat anggota-anggota Gerakan Non Blok bahwa kemajuan ekonomi dan sosial dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan tersebut.
Ini tampaknya jawaban yang dianggap paling mantap. Pasalnya, kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia selama kepemimpinan Pak Harto cukup diakui dunia. Bank Dunia, misalnya, melaporkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia di awal Orde Baru hanya separuh dari India ataupun Pakistan. Kini keadaannya justru terbalik.
“Program imunisasi, Posyandu, dan PKK saya anggap paling berhasil di dunia dan dapat dijadikan model yang dapat dikembangkan di negara berkembang lainnya,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, James P. Grant, seperti dituturkan kembali oleh Moerdiono.
Grant dan Direktur Badan Kependudukan PBB (UNFPA) Nafis Sadiq sempat diterima Presiden Soeharto ketika berada di New York.
Penilaian baik juga disampaikan oleh William R. Liddle, pengamat politik Indonesia.
“Saya menilai pembangunan ekonorni Orde Baru memang berhasil ,” kata ahli yang pernah tinggal di Indonesia pada awal 1960-an.
Liddle menambahkan bahwa negara berkembang lainnya, India misalnya, dapat belajar mengenai pembangunan ekonomi ini dari Indonesia.
“Sebaliknya Indonesia dapat belajar banyak dari India di bidang pembangunan politik,” kata pengajar ilmu politik di Universitas Ohio tersebut.
“Sebab India membuktikan bahwa sistem demokrasi dapat tumbuh di negara berkembang yang majemuk secara kesukuan maupun agama.”
Kerja sama Selatan-Selatan yang tercantum dalam “Pesan Jakarta”, memang lebih ditekankan pada kerja sama pelaksanaan pembangunan ekonomi.
“Presiden Soeharto tampaknya memang ingin mengubah esensi Gerakan Non Blok dari gerakan yang bersifat politis menjadi ekonomis,” kata Don Emmerson, guru besar ilmu politik: Universitas Wisconsin, yang juga dikenal sebagai pengamat politik Indonesia.
“TAK ada satu pun negara yang hancur gara-gara berdagang,” kata Benyamin Franklin, negarawan dan filsuf Amerika yang hidup di abad ke-18.
Dan Duta Besar Ramly, yang mengenal Amerika seperti ikan mengenal lubuknya, paham betul tentang pentingnya peran para saudagar di negara pendakwah perdagangan bebas ini. Itulah sebabnya Ramly lantas menganggap perlu mempertemukan para saudagar AS dengan Presiden Soeharto, pekan lalu.
“Selain untuk menarik investasi ke Indonesia, acara ini juga punya arti strategis,” kata seorang pejabat tinggi. “Presiden dan pemerintahan Amerika bisa saja berganti, tapi hubungan antar pedagang akanjalan terus” tambahnya.
Sebagian besar dari 450 pengusahaAmerika yang diundang menghadiri acara jamuan makan di Hotel Waldorf Astoria itu dikenal sebagai pimpinan perusahaan yang masuk dalam daftar 500 besar majalah bisnis Fortune. Dan para kakap dunia bisnis memenuhi undangan itu.
“Bukan karena saya yang mengundang tapi karena Indonesia memang ladang yang subur,” kata Ramly.
Ucapan mantan direktur utama Pertamina yang dikenal luas di kalangan bisnis energi AS itu memang ada benarnya. Kebutuhan Indonesia di sektor energi, misalnya, memang sangat besar. Itulah sebabnya bekas menteri luar negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, yang kini mewakili sebuah konglomerat di bidang energi, sempat mengajukan permohonan bertemu Presiden Soeharto di New York. Permohonan itu terpaksa tak dapat dipenuhi.
“Soalnya tak ada waktu tersisa dan Kissinger toh akan ke Jakarta bulan depan,” kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.
Itu baru sektor energi, belum sektor yang lain-lain. Soalnya, populasi Indonesia yang di akhir abad ini diperkirakan akan mencapai lebih dari 200 juta, dengan pendapatan per kapita dua kali lipat sekarang (kini sekitar US$ 550), banyak kebutuhan akan bernilai miliaran.
Dan bagai membalas penyataan perpisahan Duta Besar Monjo yang mengeluhkan soal korupsi di Indonesia, Presiden Soeharto menutup sambutannya dengan sebuah tantangan.
“Saya tahu bahwa sejarah Amerika dipenuhi dengan legenda orang-orang yang bersemangat pionir menaklukkan padang belantara dan membuka frontier-frontier baru,” kata Kepala Negara.
“Oleh karena itu saya yakin ajakan saya kepada saudara saudara untuk menjadi mitra kami dalam menghadapi tantangan-tantangan itu akan bersambut di hati saudara-saudara.”
Sumber: TEMPO (03/10/1992)
________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 425-428.