PEMERATAAN JADI GERAKAN NASIONAL SANGAT TEPAT [1]
Bandung, Suara Pembaruan
Pengamat ekonomi Dr. Pande Radja Silalahi dan Setiawan Djody, pengusaha dan pengamat budaya mengatakan, menjadikan pemerataan sebagai gerakan nasional merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam kondisi ekonomi sekarang ini. Untuk itu perlu dilibatkan masyarakat strata menengah ke bawah dalam kehidupan ekonomi sehari-hari, dan pada saat bersamaan membina keterkaitan industri dengan pertanian.
Kedua pengamat tersebut dihubungi Pembaruan secara terpisah, Senin malam, menanggapi imbauan Presiden Soeharto supaya semangat pemerataan dijadikan sebagai “gerakan nasional” (Pembaruan, Senin 2/3).
Data statistik menunjukkan dengan jelas bahwa mayoritas anggota masyarakat menengah ke bawah adalah mereka yang bergerak di sektor pertanian.
“Maka untuk itu perlu menjaga situasi yang tetap menguntungkan petani,” kata Pande Radja.
“Untuk pemerataan, tidak harus dengan membangun industri-industri baru, yang lebih penting adalah kebijakan industrial (industrial policy) yang memperhatikan kepentingan masyarakat mayoritas,” kata Rektor Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung itu.
Menurutnya, jangankan hubungan antara industri dengan pertanian, hubungan antar industri saja belum teRjamin, masih berjalan sendiri-sendiri.
Dan jika memang pemerataan sudah menjadi gerakan, harus ada kriteria yang jelas, bagaimana kalangan industri menyokong dunia sekeliling, apakah pertanian atau industri kecil. Harus ada insentif bagi mereka yang membantu pemerataan, sebaliknya, disinsentif bagi mereka yang tidak mewujudkan pemerataan. Caranya bisa banyak, yang penting pemerintah konsisten atas kebijakannya sendiri.
Sebagai contoh, supermarket bisa saja langsung berhubungan dengan petani , tak perlu melalui grosir (pengumpul). Supaya kualitas sayur yang dijualnya tetap tetjaga, tak ada ruginya menggaji sarjana pertanian untuk membimbing petani dalam bercocok tanam. Kualitas dagangan terjaga, petani diuntungkan dengan harga jual yang lebih tinggi, ujarnya.
Kemudian pengalaman Taiwan yang membangun diri melalui industri-industri kecil, lalu bersatu menjadi industri besar.
“Sekarang ini misalnya, di Bandung, ada industri kecil yang membuat wiper kaca mobil. Kita ingin lihat, apakah industri otomotif Indonesia mau membimbing industri kecil seperti itu sehingga mampu membuat wiper yang memenuhi standar kualitas?”
Cengkeh
Menurut Pande Radja, masalah cengkeh sekarang ini merupakan contoh tipikal, betapa hubungan industri dengan pertanian belum saling mengait. Penawaran (hasil petani) jauh lebih besar ketimbang permintaan (industri rokok). Karenanya dengan mudah bisa diduga, harga cengkeh pasti merosot.
“Yang menjadi pertanyaan, mengapa kita-kita tidak memikirkan hal ini sejak 10 atau 15tahun yang lalu?”
“Saya masih ingat persis, 15 tahun yang lalu sudah banyak pakar ekonomi kita yang mengingatkan masalah penawaran dan permintaan cengkeh ini. Bahkan saya sendiri, 10 tahun lalu, sudah menulis masalah ini. Tapi sayang tidak ada tanggapan, akhirnya kita ditimpa masalah harga cengkeh yang anjlok seperti sekarang ini.”
Untuk itulah perlu perencanaan yang matang. “Juga untuk pengelolaan cengkeh sekarang ini, saya tidak melihatnya sebagai rencana yang matang,” kata doktor ekonomi (keuangan negara) lulusan Kobe University of Commerce (Jepang, 1980) itu. Ide menolong petani memang baik, tapi tak cukup hanya niat baik, perlu kemampuan dan profesionalisme.
Sambut Baik
Setiawan Djody, pengusaha nasional pemilik PT. Sedeo yang bergerak dalam jasa perminyakan dan pertambangan menyambut baik saran Presiden Soeharto agar upaya pemerataan dapat menjadi gerakan nasional untuk mengatasi kesenjangan antara kekuatan-kekuatan yang sudah dapat dan yang belum dapat memanfaatkan peluang.
Namun sering kita dibuat bingung atau salah pengertian tentang mana yang lebih penting antara pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Apabila yang ditekankan hanya faktor pertumbuhan tanpa mempertimbangkan faktor pemerataan akibatnya memang akan melahirkan kesenjangan .
“Tetapi kalau hanya mementingkan faktor pemerataan tanpa didukung faktor pertumbuhan ekonomi, lantas apa yang mau dibagikan atau diratakan kepada masyarakat?”tanya Setiawan Djody.
Jadi yang penting, katanya, adalah serap menyerap yang berimbang antara pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Diingatkan Indonesia mempunyai suatu fenomena dan paradigma yang sebenarnya mempunyai ritme-ritme nafas kekuatan manusiawi yang mengutamak:an kebersamaan.
“Jadi kita sebetulnya tidak perlu phobi terhadap sosialisme maupun kapitalisme, karena pasal33 UUD 1945 merupakan altematif yang lebih baik dari sosialisme maupun kapitalisme. Itu dalam teorinya, tapi yang jauh lebih penting adalah pelaksanaan dalam praktek sehari-hari”, kata Djody yang juga pengamat sosial budaya .
Kalau kita sekarang dikatak:an cenderung merintis atau membuka jalan kapitalisme dengan dianutnya orientasi pada pasar (market oriented) dalam perekonomian nasional, sudah selayaknya kita harus segera mencari upaya dalam penjabaran yang lebih jelas apa yang disebut “Ekonomi Pancasila”. Secara teoritis konsep ini lebih baik dari konsep kapitalisme maupun sosialisme.
Dikatakan, pemerataan tentunya jauh lebih condong kepada realita pemberian kesempatan yang berupa keadilan dalam mengantisipasi daya kehidupan yang semak:in kompleks. Berbicara tentang konsep pemerataan seperti yang terkandung dalam slogan “sama rata sama rasa” Setiawan Djody menilai sebagai konsep yang sangat ideal yang pasti didukung oleh agama apa pun. Tapi dalam praktek sehari-hari sulit kita temukan, mungkin hanya di ak:hirat saja tambahnya .
Saham Koperasi
Tentang saran Kepala Negara agar penjualan saham perusahaan kepada koperasi terus ditingkatkan dan diperluas, H. Setiawan Djody menilai sebagai saran yang baik dan pantas didukung. Tetapi yang lebih penting harus segera didukung adalah proses operasionalisasinya. Tak kalah pentingnya alat-alat produksi harus benar-benar genuine (asli dan bermutu), karena dengan demikian secara tidak langsung akan mampu membuat apa yang disebut dalam teori ekonomi sebagai “rembesan-rembesan kemakmuran” yang dapat dirasak:an rakyat banyak (B-6/Hol).
Sumber: SUARA PEMBARUAN (03/03/ 1992)
___________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 501-503.