PRESIDEN BUKA KONGRES IV IKATAN ALUMNI ITB [1]
Jakarta, Suara Karya
Membangun masyarakat industri tidak cukup hanya dengan membangun pabrik-pabrik, tetapi juga membangun masyarakat yang tanggap terhadap pembaharuan dan modernisasi, berdisiplin, memiliki kreativitas dan produktivitas serta etos kerja yang tinggi. Gambaran ini diuraikan Presiden Soeharto ketika meresmikan pembukaan Kongres IV Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) di Istana Negara Jakarta, Kamis.
Menurut Presiden salah satu tantangan besar masa depan yang dihadapi di Indonesia adalah di bidang kependudukan.
“Penduduk kita besar, tingkat pertumbuhannya tinggi dan penyebarannya tidak merata,” katanya.
Kepala Negara menjelaskan meskipun gerakan keluarga berencana yang dilancarkan selama ini berhasil baik, namun penduduk Indonesia masih tetap akan terus bertambah. Penduduk itu memerlukan sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan , taraf kesehatan yang baik dan berbagai keperluan lain agar mutu kehidupannya bertambah baik.
“Karenanya masalah kependudukan ini, perlu ditangani sebaik baiknya. Untuk itu harus terus diturunkan laju pertambahan penduduk dan menyebarkannya secara merata, serta meningkatkan pembangunan sektor pertanian. “Kita juga harus mengembangkan industri dan jasa serta mengembangkan semua sumberdaya yang kita miliki” katanya.
Pada kesempatan itu Presiden yang menekankan bahwa, pembangunan pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi memang sangat penting.
“Sebabnya ialah, karena selain meningkatkan hasil pertanian, khususnya pangan, juga menyerap banyak tenaga kerja.”
Namun, tenaga kerja yang bisa diserap oleh sektor pertanian ada batasnya. Karena itu, perlu di kembangkan industri dan jasa. Agar industri dapat berkembang makin maju, maka pabrik-pabrik baru yang dibangun hendaknya menggunakan mesin-mesin yang telah dihasilkan sendiri serta memanfaatkan hasil rancang bangun dan perekayasaan sendiri.
“Dengan demikian maka kita akan berhasil mengembangkan kekuatan teknologi yang kita miliki,” katanya.
Kesempatan
Menurut Presiden, pengembangan kegiatan di bidang jasa-jasa juga akan membuka kesempatan kerja yang sangat luas dan juga memerlukan tenaga-tenaga yang berpendidikan tinggi serta tenaga-tenaga yang terdidik.
Dalam pengembangan industri dimasa datang itu jelas diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin maju. Disinilah terbuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi segenap insinyur Indonesia untuk mengembangkan segala kemampuan dan mencurahkan pengabdiannya kepada bangsanya yang sedang membangun.
Kepala Negara mengemukakan, pembangunan Indonesia di masa yang akan datang memerlukan kekuatan-kekuatan penggerak yang mampu mendorong masyarakat untuk lebih memacu lajunya pembangunan. Disinilah terletak peranan penting para sarjana alumni ITB.
Sejarah bangsa-bangsa mencatat bahwa cendekiawan merupakan unsur dinamika masyarakat. Demikian pula sejarah bangsa Indonesia. Kebangkitan Nasional pertama pada permulaan abad ke-20 ini digerakkan para cendekiawan. Kebangkitan Nasional kedua pada akhir abad ini, hendaknya juga dipelopori kaum cendekiawan.
“Kekuatan dinamis dan kreatif cendekiawan yang terus menggelora perlu diberi saluran yang tepat. Bila potensi ini tidak dikembangkan dan disalurkan dengan tepat, ia dapat menimbulkan kelesuan dan frustrasi. Sebaliknya kekuatan ini jika terlatih dengan baik dan tersalur dengan tepat pasti merupakan kekuatan pembangunan yang dahsyat,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Alumni ITB, Sanyoto Sastrowardoyo dalam laporannya mengemukakan, Kongres Ikatan Alumni ITB IV ini akan diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, 13November. Dijelaskan, lulusan ITB sejak berdirinya pada tahun 1920 sampai saat ini diperkirakan sebanyak 21.000 orang, yang kurang lebih 1.500 orang diantaranya mendarmabaktikan dirinya sebagai pendidik di berbagai perguruan tinggi.
Di samping itu, katanya, banyak juga yang memegang kedudukan penting dalam kabinet, lembaga tertinggi/tinggi negara, wiraswasta dan lainnya.(A-6)
Sumber: SUARA KARYA(l3/ll/1992)
___________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 665-666.