KEHADIRAN PRESIDEN DALAM KTT BUMI

KEHADIRAN PRESIDEN DALAM KTT BUMI[1]

Jakarta, Suara Pembaruan

PRESIDEN SOEHARTO dan rombongan tiba di Rio de Janeiro hari Kamis (11/6) untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diselenggarakan oleh Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). KTT Bumi yang dimulai hari Jumat (12/6) adalah kelanjutan serangkaian pertemuan UNCED yang dimulai tanggal 3 Juni lalu di lbukota Brazil.

Menurut Siaran TVRI dari Rio De Janeiro, salah satu hal yang menarik adalah terpilihnya Presiden Soeharto sebagai wakil presiden dari KTT Bumi, sedangkan Presiden Brasil, Fernando Collar de Mello sebagai Presiden KTT tersebut.

Kehadiran Kepala Negara RI pada KTT Bumi, menurut Menteri KLH Emil Salim, disamping menghadiri sidang-sidang dan menyampaikan amanatnya, juga akan ada pembicaraan bilateral dengan beberapa kepala pemerintahan, antara lain India, Pakistan, Senegal, Nigeria dan lain-lain, tentang persiapan KTT Non Blok yang akan diselenggarakan bulan September di Jakarta.

Kehadiran Presiden Soeharto, menurut Mensesneg Moerdiono, juga akan memberikan pengertian kepada negara-negara maju yang hadir pada KTT Bumi bahwa pemeliharaan lingkungan tidak dapat dilakukan tanpa disertai upaya pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Jika negara-negara maju menuntut negara berkembang menjaga kelestarian alarnnya, maka negara maju dituntut untuk membantu pembiayaan usaha pelestarian alam itu. Demikian sikap Indonesia yang akan dibawakan dalam sidang-sidang KTT Bumi yang dijadwalkan akan berakhir pada tanggal l4 Juni mendatang dengan suatu konferensi meja bundar dari kepala-kepala negara dan pemerintahan yang hadir.

MENARIK bahwa dalam forum KIT Bumi itu, Indonesia akan memperjuangkan kebebasan perdagangan dunia. Sebab, dengan cara-cara proteksi yang selama ini diterapkan negara-negara maju, secara tidak langsung membendung kemampuan negara berkembang untuk meningkatkan pendapatannya.

Menurut Mensesneg Moerdiono pandangan Indonesia bahwa negara-negara berkembang lebih memilih tidak terlalu ketat menjaga lingkungan daripada untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dikatakan, kekhawatirannya bahwa jika banyak negara-negara berkembang tidak perduli menjaga lingkungannya, maka dampak polusi yang ditimbulkan juga akan dirasakan oleh negara-negara maju. Dari beberapa penjelasan pendahuluan tentang sikap Indonesia dalam KIT Bumi yang terungkap lebih rinci nanti dalam pidato kepala negara, maka jelas sudah betapa tegasnya pendirian pemerintah Indonesia.

Demikian sikap negara-negara berkembang lainnya tidak lain dari memperlihatkan strategi yang keras terhadap sikap negara-negara maju dalam menghadapi perampungan Deklarasi Rio, perumusan Konvensi Rutan Tropis, Agenda 21 dan lain­ lain masalah lingkungan dan pembangunan.

Sikap yang lunak dari negara-negara berkembang tidak akan berhasil, walaupun tentu diharapkan KIT Bumi itu tidak akan menjelma menjadi perang dingin baru yang melibatkan negara-negara Utara Selatan.

ISU yang masih dalam pembahasan yang alot dalam pertemuan UNCED itu, adalah rancangan tentang Konvensi Hutan Tropis, dimana Indonesia yang memiliki hutan tropis yang luas sangat berkepentingan. AS menghendaki agar rumusan konvensi itu mengikat, terutama karena hutan tropis merupakan paru-paru dunia. yang sangat berperan dalam mengurangi efek rumah kaca dengan kemampuannya yang luar biasa untuk menyaring gas karbon dioksida. Padahal lebih 50 persen senyawa berbahaya seperti karbon dioksida (C02), Chloroflu or Carbon (CFC) dan metan (CH-4) yang membentuk rumah kaca dan penyebab lubang ozon pada atmosfer bumi, berasal dari negara-negara maju.

Sikap negara maju ini sering berdampak negatif bagi Indonesia selaku penghasil produk hutan tropis seperti kayu lapis dengan adanya kecenderungan pembatasan larangan impor produk itu ke negara-negara tersebut.

Sebaliknya, negara-negara pemilik hutan tropis terbesar selain Indonesia seperti Brasil dan Malaysia, meminta agar salah satu klausul konvensi itu, menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis disebabkan oleh kemiskinan.

Kita tentu mengharapkan, isu kontroversial dalam perumusan isi konvensi hutan tropis dapat dinetralisasi agar demikian dapat diperoleh kompromi.

Sunber : Suara Pembaruan  (12/06/1992)

_________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 767-769.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.