PENEGASAN PAK HARTO: HARKAT-MARTABAT RAKYAT Oleh Sri-Edi Swasono 

PENEGASAN PAK HARTO: HARKAT-MARTABAT RAKYAT

Oleh Sri-Edi Swasono [1]

 

Jakarta, Pelita

BELUM LAMA INI Pak Harto menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak bisa cliukur hanya dengan GDP (pendapatan nasional) atau laju pertumbuhannya, tetapi harus diukur dari peningkatan harkat dan martabat bangsa (rakyat) kita.

Kalau kita kembali kepada titik-tolak Proklamasi Kemerdekaan dan semangat UUD 1945, tidak ada yang lebih tepat dari penegasan Pak Harto itu. Penegasan Kepala Negara ini adalah penegasan misi kemerdekaan nasional kita atau lebih tepat lagi adalah misi kultural bangsa. Bagi yang berpandangan tidak satu laras dengan itu, bagi yang melenceng dan lengah terhadap misi itu, katakanlah hal itu sebagai suatu kelengahan kultural, bahkan dapat saja dijuluki lebih buruk dari itu.

Tentang GDP tidak terlalu sulit mengukurnya. Ada tekniknya, ada metodenya dan tidak sulit diajarkan. Datapun makin mudah tersedia, meskipun selalu mengandung arti estimat. Mengukur kenaikan GDP lebih mudah lagi suatu aritmatik sederhana saja. Itulah sebabnya orientasi GDP, mudah memasyarakat, sekaligus memberikan suatu lagak keren. Di balik itu, karena makna makronya dapat pula menjadi simbol kelatahan intelektualisme ataupun sebaliknya sebagai kecanggihan awam, tanpa disadari bahwa sebenarnya hal ini sarat dengan berbagai pitali (perangkap) akademis. Kecanggihan yang sesungguhnya justru terletak pada kemanipulasi kita untuk memahami pitalinya itu. Namun bagaimanapun juga masyarakat dengan seringnya masalah GDP disebut­ sebut terdidiklah kesadaran mereka dalam hitung-menghitungnnya, sekaligus mengenal suatu tolok ukur ekonomi. Ini suatu kemajuan beberapa tapak dalam masyarakat awam kita. Tidak ada niat pada tulisan ini untuk menyatakan sikap anti pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diperlukan sebagai modal membiayai upaya­ upaya pemerataan. Namun juga jangan sampai kita berpendapat bahwa hanya dengan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pemerataan ekonomi, karena sebaliknya pun acapkali lebih efektif (dan lebih sesuai). Pertumbuhan dapat dicapai melalui peningkatan program-program pemerataan, di sinilah kita lebih menempatkan arti GDP dan pertumbuhannya  dalam yang lebih wajar.

Di luar itu memang ada pula yang menempatkan soal GDP dan pertumbuhannya di luar proporsi yang wajar itu, yaitu manakala GDP dan pertumbuhannya kelewat mempola menjadi tolok-ukur dan orientasi utama dalam melaksanakan pembangunan nasional. Kila lihat saja, mumpung masih bulan Januari, menjamurlah adu argumentasi,

adu pendapat dan adu kecermatan perkiraan, yang terkadang nampak seperti adu isapan jempol dan pokrol-pokrolan, mengenai perkiraan pertumbuhan ekonomi. Ada yang bilang pertumbuhan itu 5%, ada pula yang bilang 5,5 atau 5,8% dan ada pula yang bilang 6% sebagai pembulatan dan 5,9876 dst. dst. Whatgood does it do buat yang pendapatannya menurun termakan inflasi atau terkena penurunan term of trade secara absolut bagi hasil keringatnya? Angka-angka itu tergantung dari optimisme dan pesimisme yang bersemayam di masing-masing penyusun perkiraan itu. Bahkan kalau kita lagi ngobrol-ngobrol dengan para pemikir masa depan tahunan itu, malah angka itu nampaknya keluar dari harapan (expectation) mereka sendiri. Tidak jarang pula sarat dengan maksud- maksud tertentu, semacam pembentukan opini misalnya. Tentu tidak semua tukang ramal makro demikian itu.

Di luar orientasi GDP dan pertumbuhannya yang kelewat dominan itu, sambil menyambut penegasan penuh misi dari Pak Harto itu, kita menunggu hadirnya ekonomi yang dapat terlepas dari keterbelengguan orientasi. Katakanlah yang tidak kelewat termakan tradisi konservasisme makro ekonom. Pada bulan lampau semacam ini dalam menghadapi tahun yang baru, baru kita tunggu suatu kegairahan baru dalam bermain ramalan angka yang tidak begitu-begitu melulu, misalnya tentang kemiskinan, PHK, pengangguran, lapangan kerja dan ketunawismaan (yang bergelandangan di luar martabat man usia yang menjauhi tantangan nasional). Betapapun mengandung arti estimate, akan lebih adem bagi kita semua dapat mendengar berapa banyak penduduk yang dibawah garis kemiskinan akan dapat terangkat atau amblas, berapa banyak lapangan kerja akan terbuka atau menyempit, berapa persen ketunawismaan akan berkurang atau bertambah. Lebih sulit tentunya mengukur pengurangan ketergantungan petani plasma kepada majikan inti yang ibarat mengangkat harkat buruh menjadi mitra kerja. Pertumbuhan GDP tidak bicara soal ini semua adalah tolok ukur yang berkaitan lebih langsung dengan masalah harkat dan martabat rakyat yang harus kita perjuangkan dengan misi kultural itu. Dengan lebih familiar akan tolok ukur itu pasti masing-masing akan terdorong pula untuk lebih mendukung kebijaksanaan ekonomi ke arah itu. Masalahnya semacam pemasyarakatan macam-macam tolok ukur kemartabatan dalam dunia pemikiran kita.

Bukankah pesan eksplisit yang ada diUndang-undang Dasar kita adalah mengenai lapangan kerja. Inilah yang hendaknya menjadi tolok ukur utama disamping yang lain bagi kemajuan kehidupan ekonomi. Pasal 27 ayat 21 UUD 1945 bilang: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini pesan konstitusional yang eksplisit dan konsitusi kita, disamping lainnya yang implisit, inilah dimensi harkat dan martabat. Disitulah Pak Harto tepat sekali dalam penegasannya. Pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat kita sangat Islami artinya.

Sarna sekali kita tidak ada maksud untuk meremehkan peran luar biasa pentingnya dari pakar-pakar kita, bahkan sebaliknya dari itu. Ini hanya sekedar mengajak kita agar kita mengabdi kepada rakyat di dalam mengabdi ilmu. Jika kita melatih mencintai rakyat. Memang tidak selayaknya kita mereduksi pembangunan nasiomil menjadi pembangunan ekonomi. Dan selayaknya pula kita mereduksi pembangunan ekonomi hanyamenjadi pembangunan GDP.

Sumber:  PELITA (l3/0l/1993)

__________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 50-52.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.