PRESIDEN MINTA BAPPENAS RUMUSKAN INPRES KHUSUS DESA-DESA MISKIN

PRESIDEN MINTA BAPPENAS RUMUSKAN INPRES KHUSUS DESA-DESA MISKIN [1]

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menugaskan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merumuskan tentang bantuan Inpres (Instruksi Presiden) khusus untuk desa-desa miskin, yang akan diterapkan mulai tahun anggaran 1994/ 1995. Inpres ini di luar Inpres Bantuan Desa yang kini jumlahnya Rp 4,5 juta untuk tiap desa per tahun.

Hal ini diungkapkan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasrnita yang bersama Ketua Biro Pusat Statistik (BPS) Azwar Rasyid diterima Presiden Soeharto di Bina Graha Jakarta hari Kamis (13/5). Kedua pejabat itu sebelumnya diinstruksikan Presiden untuk secara bersama-sama merumuskan kriteria desa miskin.

“Jadi nanti akan ada Inpres khusus yang namanya sedang dicari untuk desa yang dikategorikan miskin menurut data BPS,”ujar Ginandjar. BPS sendiri menurut rencana baru akan selesai membuat data baru mengenai desa miskin pada akhir tahun ini.

Setelah pendapat Inpres ini, tiap desa miskin tersebut akan dievaluasi apakah masih harus dibantu atau tidak. “Ini sesuai dengan kehendak Presiden agar upaya mengentaskan kemskinan itu benar-benar langsung dan terarah kepada kawasan dan kelompok masyarakat yang miskin, di samping melanjutkan upaya yang telah dilakukan selama ini, “demikian Ginandjar.

Dengan demikian, tambahnya, program pengembangan kawasan terpadu (PKT) akan diintegrasikan ke kegiatan Inpres itu. “Dengan demikian, tidak akan ada lagi kerancuan mengenai kecamatan miskin, apakah jumlahnya 50 persen atau 70 persen, seperti yang dipersoalkan banyak orang, “kata Ginandjar.

Ginandjar juga mengemukakan, waktu bagi pemda untuk membuat peta baru desa miskin diundur sampai Juli. Kemudian seluruh data yang ada diolah pada bulan Agustus-September.

Bulan Oktober akan diadakan konsultasi nasional tingkat pusat dan daerah dalam bidang perencanaan pembangunan. Selain akan menuntaskan rumusan Pelita VI, pertemuan ini juga akan menuntaskan kesepakatan bersama mengenai kriteria serta wilayah miskin.

“Petunjuk Presiden, petanya harus desa, jangan berhenti di kecamatan, “ucap Ginandjar. Dengan demikian, kata Ginandjar, jumlah peta akan lebih banyak. Sekarang ini peta desa miskinnya per propinsi, maka nantinya harus per kabupaten. Jadi,data lama (1990) akan dimutakhirkan oleh BPS, yang telah memiliki kriteria desa miskin berdasarkan potensi desa. Kriteria ini juga akan diperkokoh dengan hal lain yang belum tercantum.

Tenaga pengumpul data itu dari BPS di daerah karena tidak ada tenaga ahli di tingkat kecamatan, selain mantri statistik. Dan data itu, menurut Ginandjar, tidak akan dimanipulir oleh pejabat daerah.

“Jangan meragukan hasil kerja BPS karena lembaga ini independen. Dan yang paling tahu tentang statistik adalah BPS. Kenyataannya, siapa pun yang mengambil survai di daerah, Bangdes, Bangda, atau BPS, yang kerja di lapangan mantri statistik juga, “katanya.

Kalau ada gubernur yang mau membuat sendiri peta kemiskinan, kata Ginandjar, ia akan dibantu kantor BPS setempat dan BPS nantinya akan mencek kembali data tersebut.

“Dengan demikian akan ada check and recheck di pusat ini tidak ada masalah. Yang dilakukan oleh seluruh propinsi akan seragam. Tidak mungkin masing-masing mempunyai kriteria sendiri. Ini kan repot. Perlu ada keseragaman di seluruh Indonesia untuk bisa dibandingkan, ” kata Ginandjar. Menyangkut Inpres khusus desa miskin ini, Ginandjar menjelaskan, tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat mengentaskan sendiri masalah kemiskinan tersebut langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan kriteria desa miskin, dan kriteria itu kini sedang disempurnakan oleh Bappenas bersama BPS, Bangdes dan instansi terkait lainnya.

“Sehingga nantinya akan ada satu data tentang peta kemiskinan,” ujarnya.

Gubernur Jangan Takut

Ditanya kemungkinan ada perasaan takut di antara para gubernur untuk membuat peta kemiskinan, Ginandjar mengemukakan, mungkin mereka melihat peta (1990) berbeda dengan kenyataan mengingat sekarang tahun 1993.

“Data yang ada waktu saya datang di Bappenas adalah data tahun 1990. Kita terus minta ini disempurnakan para kepala daerah. Jadi tidak ada maksud mempermalukan atau menempatkan seseorang pada kedudukan yang tidak enak,” katanya.

“Mengenai reaksi itu kita ambil hikmah bahwa secara terbuka kita membahas masalah kemiskinan. Semua orang menjadi paham. Semua orang ikut urun rembug. ltu kan sehat dalam era keterbukaan inikarena inimasalah nasional. Alangkah baik:nya kalau secara nasional pula kita memikirkan dan mengatasinya. Jadi tujuan menyampaikan data itu membuat masyarakat ikut serta dan terlibat dalam pemikiran masalah besar ini,” demikian Ginandjar.

Tentang pembaharuan data yang akan dilakukan BPS, Azwar Rasyid mengatakan, itu dimaksudkan untuk mengejar waktu. “Data iniakan dipergunakan untuk merapikan apa yang kita lakukan. Mungkin klasifikasinya berubah atau ada penambahan variabel yang turut menentukan miskin atau tidaknya sebuah desa,” ujar Azwar.

Kaji Hati-hati

Sementara itu kalangan DPR dan pengamat menyatakan, dana Inpres khusus desa miskin yang akan dikeluarkan pemerintah harus betul-betul dikaji secara hati-hati agar penyalurannya bisa tepat sasaran dan bisa memecahkan kendala struktural kemiskinan. Yang terpenting, jangan perangi kemiskinan lalu “mesin produksi” kemiskinan tetap juga ada.

Demikian pendapat dosen Pascasarjana Universitas Satya Wacana Salatiga Dr.Arief Budiman, dan anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) H. Imam Churmen yang dihubungi secara terpisah, Kamis malam (13/5).

Menurut Arief yang dihubungi di Salatiga, dana tersebut akan tepat sasaranjika didahului dengan upaya merumuskan untuk kegiatan apa uang itu, siapa pelaksananya dan apa programnya. “Kalau sifatnya memberikan apa yang kurang, saya pikir itu kurang memecahkan masalah,”katanya.

Memecahkan masalah kemiskinan, kata dia, bukan masalah apa yang kurang, tapi bagaimana mengembangkan potensi yang ada pada masyarakatnya. Baik potensi internal maupun potensi eksternal. Sebab masyarakat terkadang memiliki potensi internal seperti pendidikan, keahlian, tetapi menghadapi kendala eksternal sehingga tidak bisa berkembang. Kendala eksternal itu macam-macam, seperti prasarana terbatas, tanahnya digusur.

“Ini yang saya katakan “mesin produksi “kerniskinan . Seperti perampasan tanah untuk lapangan golf, menggusur pedagang kaki lima, itu juga harus dipersoalkan,” ujarnya.

Hal senada juga dikemukakan Imam Churmen. Agar dana khusus untuk desa miskin dapat mencapai sasaran secara optimal, harus didahului suatu penelitian atau studi mendalam. Apa penyebabnya sehingga desa itu masih tetap miskin. “Supaya kita jangan seperti sinterklas, membagi-bagi duit aja,” tambahnya.

Menurut Imam, survai harus diarahkan pada pengumpulan data yang akurat mengenai sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki desa itu. Dari situ, dapat ditarik kesimpulan konsep pengentasan yang tepat. “Kalau misalnya usaha peternakan yang cocok, ternak apa yang paling tepat dikembangkan. Jadi harus detail,”ujarnya.

Arief Budiman mengungkapkan, di awal Orde Baru pernah pula ada bantuan kemiskinan seperti itu. Setiap desa diberikan dana Rp 100.000. Penggunaannya macam-macam. Ada yang bikin jembatan, rumah ibadah dan sebagainya. Itu,menurut Arief Budiman, tidak produktif. Jadi mesti hati-hati benar, supaya penggunaannya efektif, kena sasaran dan pelaksanaannya cukup kreatif.

Dana Inpres khusus itu, menurut Arief, terlalu awal jika mau dinilai bagus tidaknya, sebab netral sekali sifatnya. Kalau digunakan untuk memberi makan bagi masyarakat yang kurang makan, itu bagus sebagai dana kemanusiaan, tetapi kurang berguna. Dana itu bisa memberikan manfaat lebih besar jika digunakan untuk mengembangkan sumber daya manusianya (SDM). Jadi “pancingnya” yang kita berikan.

“Saya kira dana itu harus memecahkan kendala strukturalnya. Dana itu harus benar-benar dikaji hati-hati agar tidak hilang begitu saja. Harus ada policy yang jelas. Pemerintah, jangan tertutup membicarakan dalam suatu seminar nasional misalnya supaya betul-betul secara serius menanggulangi kemiskinan. Kalau nggak, begitu­ begitu saja, tambal sulam. Orang miskin ditolong, sementara mesin produksi kerniskinan terus pula menciptakan orang miskin baru,”paparnya.

Lintas Sektoral

Namun “proyek” itu, kata dia lagi, harus digarap secara lintas sektoral. Jangan ada egoisme sektoral, bahwa sektor tertentulah yang paling berhak dan berkepentingan menangani masalah ini. Sebab egoisme sektoral itu awal dari kegagalan. Kebersamaan dalam penanganan proyek ini, perlu melibatkan lembaga-lembaga sosial seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keterlibatan LSM, menurut dia, bisa secara langsung berfungsi pengawasan. Sebab LSM bisa berfungsi sebagai jembatan antara pemberi dan penerima bantuan. “Namun di sini harus betul-betul diciptakan keterbukaan. Jangan timbul saling curiga, “ujarnya.

Imam Churmen berpendapat, perlu dipertimbangkan dana tersebut dipaketkan dengan bantuan Inpres Desa yang sudah ada selama ini. Kalau perlu dikaitkan dengan proyek-proyek Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membantu pengusaha golongan ekonomi lemah, kredit yang diberikan Departemen Pertanian sebesar Rp 8 milyar untuk petani daerah aliran sungai (DAS).”Sehingga ada sinkronisasi lintas sektoral yang membuat daya dorongnya menjadi lebih besar dibanding kalau diberikan secara sendiri-sendiri, “katanya.

Lebih penting lagi menurut Imam, bantuan harus utuh mencapai sasaran, sehingga proyek pengentasan kerniskinan dapat mencapai hasil optimal. Sangat disayangkan, katanya, jika dana kemiskinan itu justru terpotong-potong karena melalui mata rantai yang panjang.

Mengenai kemungkinan orang miskin di desa yang tidak miskin tidak tersentuh bantuan, menurut Imam, harus pula diteliti. Di mana mereka berada. Apakah di desa kumuh, apakah mereka nelayan, buruh tani atau memang di lahan kritis. Setelah itu diteliti secara seksama apa hambatan mereka sehingga tetap saja miskin. “Saya kira itu cukup penting, sehingga asas pemerataan dapat terwujud, “tandasnya. (vik/dis/rtm)

Sumber: KOMPAS (14/05/1993)

______________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 118-122.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.