PRESIDEN SOEHARTO: STABILITAS NASIONAL SAMA SEKALI BUKAN PENGHALANG DEMOKRASI DAN KETERBUKAAN[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto menolak tuduhan-tuduhan seolah-olah stabilitas nasional yang dikembangkan selama 25 tahun terakhir adalah untuk membatasi demokrasi, kebebasan hak asasi manusia, dan sebagainya. Justru dengan terciptanya stabilitas nasional, berbagai kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan. Bukan saja pembangunan di bidang ekonomi, tetapi juga pembangunan di bidang politik dan demokrasi.
Demokrasi yang dibangun dan dikembangkan itu sendiri menurut Kepala Negara, adalah Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau demokrasi ideologi lain.
“Ini mesti diwaspadai. Sebab akhir-akhir ini sudah ada gejala-gejala yang seolah olah menilai bahwa stabilitas nasional terlalu selalu ditonjolkan, sehingga menjadi penghalang pengembangan demokrasi dan keterbukaan,” kata Presiden.
Penegasan itu diberikan Kepala Negara dalam penerbangan kernbali ke Jakarta dari New Delhi, Jumat sore. Itu dikatakan sehubungan dengan ketidakhadiran sejumlah kepala negara/kepala pemerintahan ke KTT G-15 karena alasan keadaan dalam negeri masing-masing, sehingga pertemuan puncak itu harus ditunda sampai akhir Maret atau permulaan April tahun depan.
Dengan menarik arti dari alasan keadaan dalam negeri masing-masing itulah, maka Kepala Negara menilai, memang betapa pentingnya arti stabilitas bagi suatu negara. Dikemukakan, keadaan-keadaan politik maupun keamanan yang tidak menguntungkan atau mungkin mengganggu saja, sudah menjadi penghalang atau alasan untuk tidak memungkinkan menghadiri suatu KIT yang telah ditentukan. Jadi, menurut Presiden, “Stabilitas nasional memang memberi jaminan terlaksananya segala sesuatu, baik dalam hegeri maupun luar negeri.”
Bersyukur
Menurut Kepala Negara, bangsa Indonesia bersyukur bahwa sejak semula selama 25 tahun pembangunan-segala sesuatu selalu dititikberatkan pada stabilitas nasional, sebagai salah satu dari Trilogi pembangunan.
Trilogi Pembangunan itu sendiri menurut Kepala Negara tidak ditentukan oleh Presiden/Mandataris tetapi oleh MPR melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni bahwa pembangunan nasional bertumpu pada stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. “Dan,kita memang bisa menikmati selama 25 tahun, stabilitas nasional bisa terjamin sehingga kita melaksanakan pembangunan, pertumbuhan dan pemerataan.”
Jadi, stabilitas nasional yang ditentukan MPR dan kemudian oleh Presiden/Mandataris dijabarkan, kata Kepala Negara, bukan berarti untuk menakut-nakuti atau mengurangi perkembangan demokrasi, keterbukaan maupun kebebasan. “Justru stabilitas nasional menjadi syaratpembangunan, termasuk pembangunan politik, yang berarti pembangunan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan dan sebagainya,” ujar Kepala Negara.
Kalau kini, setelah 25 tahun melaksanakan Trilogi pembangunan sebagai amanat GBHN, tapi masih ada yang alergi, yang seolah-olah menilai stabilitas nasional selalu ditonjolkan justru menjadi penghalang perkembangan demokrasi, keterbukaan atau menjadi alasan untuk memperkuat tindakan sewenang-wenang, hak asasi manusia. Ini sama sekali tidak.
Apa yang dilakukan dengan mempertahankan atau selalu memelihara stabilitas nasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, semata-mata menjamin agar pembangunan bisa dilaksanakan. Pembangunan dalam arti luas, tidak hanya pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan politik, budaya, serta pertahanan keamanan.
“Jadi saya kira, dengan perbandingan di negara-negara lain, kita bersyukur bahwa stabilitas nasional selalu kita pegang teguh,”ujar Presiden.
Penghalang
Demokrasi yang ditumbuh-kembangkan, lanjut Kepala Negara, adalah Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau demokrasi dari ideologi lain. “Itu sama sekali tidak,” tegas Presiden . Ditambahkan, kalau memang ada yang mengembangkan demokrasi liberal, demokrasi lain, itu bertentangan dengan apa yang dikehendaki rakyat.
“Ini mesti kita harus waspadai, sebab akhir-akhir ini sudah ada gejala-gejala yang seolah-olah menilai bahwasannya stabilitas nasional terlalu selalu ditonjolkan sehingga menjadi penghalang dari pada pengembangan demokrasi, keterbukaan dan sebagainya.”
Demokrasi yang ingin dikembangkan adalah Demokrasi Pancasila. Kebebasan yang ingin kita kembangkan adalah kebebasan yang disertai tanggungjawab sebagai warga negara dan sebagai mahluk sosial.
Tafsiran Lain
Menurut Kepala Negara, “Kita harus kembali sekarang kepada prinsip peijuangan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan. Kita kan sudah bertekad untuk melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 45. Jadi hendaknya supaya Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, selalu dipegang teguh. Jangan kemudian membuat tafsiran lain.”
Sekarang ini sudah ada yang selalu haus akan keterbukaan dan kebebasan, seolah-olah Permerintah itu di luar ketatanegaraan. Padahal Pemerintah itu kan pemerintahan negara Republik Indonesia, berdiri atas dasar konstitusi nasional, melaksanakan GBHN yang diamanatkan. Bukan melaksanakan pikiran daripada otak saya sendiri, demikian Presiden.
“Itu sama sekali tidak. Saya menerima tapi harus memeras otak agar pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya,” tegas Kepala Negara. Karena itu kepada para pemuda dan para cendekiawan, Presiden Soeharto menyerukan lagi untuk kembali pada kesetiaan, kepada landas tujuan bersama kernbali kepada Pancasila sebagai dasar negara ideologi dari pandangan hidup. “Berarti demokrasi yang di kembangkan adalah Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi lainnya.”
Sementara kepada jajaran pers nasional ,Kepala Negara juga mengingatkan agar harus pandai-pandai. “Sebab,kalau membiarkan mereka, itu akan menjadi lawan dari pada Pancasila sendiri. Sama halnya dengan PKI dulu, PKI menerima Pancasila sebagai pemersatu. Tetapi kalau sudah satu, tidak perlu Pancasila lagi, dan komunisme akan mengambil oper.” Tapi, lanjut Kepala Negara, alhamdulillah bangsa Indonesia bisa mengatasinya.
“Jadi bukan kebebasan yang lebih luas yang hanya mau menuruti hatinya sendiri, kehendaknya sendiri, atau kepentingan pribadinya sendiri. ”Dan kalau sudah demikian, lanjut Kepala Negara, itu sudah bertentangan dengan Pancasila.
Pancasila, menurut Presiden Soeharto, menempatkan seseorang memiliki sifat kodrati yang mendualistis, yakni sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Jangan kepentingan yang lebih besar ditinggalkan hanya untuk kepentingan individu.
“Ini bertentangan dengan Pancasila.” Dan, Ianjut Kepala Negara, mau tidak mau ini sudah merupakan peringatan, warning, kepada kita akan sama dengan PKI. Namanya saja lain, tapi gerakannya sama. Karena itu harus kita waspada, jangan kemudian dibumboni (dibumbui) terus saja. Seolah-olah pura-pura tidak tahu, tapi harus betul-betul dipelajari. Itu akan mengganggu stabilitas nasional,” kata Presiden.
Ditegaskan lagi, “Kita harus bertekad untuk melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 45. Itu berarti bahwa pikiran dan langkah-langkah kita harus kita sesuaikan selalu. Dikatakan, banyak yang tidak mau mempelajari Pancasila dan UUD 45, kemudian mempelajari ideologi lain, sehingga dengan sendiri tidak klop dengan perjuangan bangsa. Inilah yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan, yang akan mengganggu stabilitas nasional, dan berarti akan mengganggu pembangunan, pertumbuhan, pemerataan pula. “Jadi jangan asal WTS saja, waton suloyo (asal beda), jadi harus benar-benar kembali ke dasarnya,” tegas Kepala Negara yang tiba kembali di Halim Perdana kusuma, Jakarta, kemarin sekitar pukul 16.40 WIB. (sel)
Sumber: KOMPAS (18/12/1993)
_____________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 327-330.