PRESIDEN: STABILITAS NASIONAL BUKAN PENGHALANG DEMOKRASI 

PRESIDEN: STABILITAS NASIONAL BUKAN PENGHALANG DEMOKRASI [1]

 

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto mengatakan, akhir-akhir ini terdapat gejala-gejala yang menyatakan bahwa seolah-olah stabilitas nasional selalu ditonjolkan sehingga menjadi penghalang pengembangan demokrasi, keterbukaan dan kebebasan. Padahal menurut Kepala Negara, stabilitas nasional yang dijabarkan Presiden selaku mandataris MPR, bukan untuk menakut-nakuti atau mengurangi perkembangan demokrasi, keterbukaan maupun kebebasan.

Kepala Negara mengemukakan hal itu dalam penerbangan kembali ke Tanah Air, Kamis selepas kunjungan ketjanya ke New Delhi, India. Kunjungan Kepala Negara ini dalam rangka konsultasi dengan pemerintah India sehubungan dengan ditundanya KIT Kelompok-15 dan menghadiri KIT Kelompok-9 mengenai Pendidikan Untuk Semua.

Pembangunan, kata Kepala Negara selalu dititikberatkan pacta stabilitas nasional yang merupakan salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan, di samping pertumbuhan dan pemerataan. Di negara mana pun, untuk meningkatkan sesuatu yang bersifat kenegaraan atau wilayah, stabilitas nasional amat dibutuhkan, apalagi dalam pembangunan.

Selama 25 tahun ini, bangsa Indonesia telah menikmati stabilitas nasional, sekaligus pertumbuhan dan pemerataan .Jadi stabilitas nasional yang sudah ditentukan oleh MPR dan telah dijabarkan oleh Presiden Mandataris MPR, bukan untuk menakut-nakuti atau mengurangi perkembangan demokrasi atau keterbukaan dan kebebasan. Justru stabilitas nasional dipersyaratkan dalam pembangunan termasuk pembangunan politik, pembangunan demokrasi  dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) serta kebebasan.

Namun sudah 25 tahun dilaksanakannya Trilogi pembangunan sebagai amanat MPR, menurut Kepala Negara, masih ada yang alergi dan menilai seolah-olah justru stabilitas nasional yang ditonjolkan sehingga menjadi penghalang perkembangan demokrasi dan keterbukaan atau menjadi alasan memperkuat tindakan yang sewenang-wenang terhadap HAM dsb.

Menurut Kepala Negara, hal itu sama sekali tidak benar. Apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini selalu memanfaatkan atau memelihara stabilitas nasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam, untuk menjamin agar pembangunan bisa dilakukan. Jadi pembangunan dalam arti luas, tidak hanya ekonomi.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, bangsa Indonesia pantas bersyukur atas terpeliharanya stabilitas nasional. Justru stabilitas ini untuk melaksanakan pembangunan demokrasi. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau demokrasi dari ideologi lain. Kebebasan yang ingin dikembangkan adalah kebebasan yang disertai tanggungjawab. Tidak hanya kebebasan individu tetapi juga tanggungjawab sebagai warga negara. Demikian pula tidak hanya ditekankan sebagai individu saja tetapi juga kewajiban sebagai makhluk sosial.

Presiden berpendapat, dewasa ini ada yang malah mengembangkan demokrasi liberal dan demokrasi lain. Tentu saja ini bertentangan dengan apa yang dikehendaki rakyat. “Ini harus diwaspadai,”kata Kepala Negara tegas.

Menjawab pertanyaan masih adanya tuntutan dari masyarakat yang lebih meski pemerintah telah cukup memberikan keterbukaan, Kepala Negara mengingatkan, masyarakat hendaknya kembali pada prinsip Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan. Karena telah bertekad melaksanakan UUD 45 dan Pancasila, maka Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideologi, serta pandangan hidup dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa kata Presiden hendaknya selalu dipegang teguh. Bukan malah kemudian menafsirkan lain.

Haus

Sekarang ini, sudah ada yang terlalu haus akan keterbukaan dan kebebasan. Seolah-olah pemerintah berada di luar ketatanegaraan. Padahal Pemerintah adalah pemerintah RI, berdiri atas dasar konstitusi, melaksanakan amanat MPR. “Bukan melaksanakan pikiran dan otak saya sendiri. ltu sama sekali tidak. Saya menerima tetapi harus memeras otak saya agar terlaksana dengan sebaik-baiknya,” kata Kepala Negara menekankan.

Sehubungan itu, Presiden minta agar para cendekiawan kembali kepada kesetiaan, pada landasan kehidupan yaitu Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup. Berarti dengan demikian demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi lainnya. Pers dalam hal ini kata Kepala Negara, harus pandai-pandai melakukan fungsinya. Sebab kalau membiarkan hal itu terus maka akan menjadi lawan dari Pancasila sendiri. Sama halnya itu dengan PKI dulu. PKI, kata Presiden, menilai bahwa Pancasila hanya sebagai pemersatu. Pemikiran PKI adalah kalau sudah bersatu tidak memerlukan lagi Pancasila. Dalam situasi itu PKI-lah yang akan menyatukan. Pancasila lalu akan diganti dan diambil oper komunisme.

Namun bangsa Indonesia bisa mengatasi. Oleh karena itu, ujar Kepala Negara, hendaknya tidak hanya menuntut kebebasan hanya demi kebebasan, hanya menuruti kemauan dan kehendaknya sendiri atau kepentingan pribadi. Pancasila menyebutkan bahwa warga negara tidak hanya merupakan makhluk individu tetapi juga makhluk sosial, bahkan kepentingan individu dan golongan harus dikorbankan untuk kepentingan yang lebih besar. Akan tetapi kenyataannya Presiden mengamati ada kepentingan yang lebih besar ditinggalkan, hanya untuk kepentingan individu.

PKI

Hal itu kata Presiden sudah merupakan warning kepada kita bahwa akan sama dengan PKI. Namanya memang lain tetapi gerak dan langkahnya sudah sama dengan PKI. “Karena itu kita harus waspada. Jangan mbumboni terus. Pura-pura tidak tahu,” ucap Presiden.

Umurnnya mereka tidak mau mempelajari Pancasila dan UUD 45 tetapi malah mempelajari ideologi lain sehingga tidak bisa bertemu. Dan ini akan menjadi gejala­ gejala yang kurang menguntungkan bahkan mengganggu stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan. “Jangan asal WTS saja. Apa WTS. Waton suloyo (asal menentang-red), bukan Wanita Tuna Susila,”kata Presiden tertawa.

Ditunda

Pada kesempatan itu, Presiden menjelaskan ditundanya KTT Kelompok-15. Penundaan ini bukan dikarenakan tidak adanya perhatian di kalangan negara-negara anggota melainkan lebih dikarenakan hal yang menyangkut keadaan dalam negeri anggota G-15, seperti Nigeria, Aljazair, Mesir dan Selandia Baru. Dengan demikian banyak kepala pemerintahan/negara yang tidak dapat hadir. Masalah dalam negeri itu berkaitan dengan stabilitas nasional masing-masing negara.

Keadaan politik dan keamanan yang tidak menguntungkan maupun merugikan sudah menjadi penghalang, kemungkinan atau alasan untuk tidak menghadiri KTT. Walau mungkin stabilitas nasional tidak begitu gawat tetapi kata Kepala Negara setidak-tidaknya, stabilitas nasional mampu memberikan jaminan akan terlaksananya sesuatu baik di dalam maupun di luar negeri. (N-1)

Sumber : SUARA KARYA(18/12/1993)

________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 342-344.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.