Tajuk Rencana:
STABILITAS BUKAN UNTUK MENAKUT-NAKUTI[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
KETERANGAN pers yang diberikan oleh Presiden Soeharto kepada para wartawan yang mengikuti rombongan Kepala Negara dalam penerbangan ke Jakarta Jumat (17/12) sore setelah menghadiri KIT Education For All-EFAdi New Delhi, India, secara khusus menekankan masalah stabilitas nasional. Diingatkan, kalau memang ada yang mengembangkan demokrasi liberal, demokrasi lain, itu bertentangan dengan apa yang dikehendaki rakyat. “lni mesti kita harus waspadai, sebab akhir-akhir ini sudah ada gejala-gejala yang seolah-olah menilai bahwasanya stabilitas nasional terlalu selalu ditonjolkan sehingga menjadi penghalang daripada pengembangan demokrasi, keterbukaan dan sebagainya”.
Secara khusus Presiden Soeharto mengingatkan masalah stabilitas nasional ini dikaitkan dengan tertundanya KTI G-15 karena sejumlah Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dari negara-negara anggota tidak dapat hadir dengan alasan keadaan dalam negeri masing-masing. Sebab, dengan tidak dapat hadirnya sejurnlah kepala negara/kepala pemerintahan negara-negara anggota KTI G-15 tersebut untuk kesekian kalinya membuktikan betapa mutlak pentingnya arti stabilitas bagi suatu negara. DAIAM hubungan ini tepat sekali penegasan Presiden Soeharto bahwa stabilitas yang kita anut bukan sekedar stabilitas. Sebab, sejak semula sudah ditetapkan, stabilitas tersebut harus menjamin pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Inilah yang kita sebut dengan Trilogi Pembangunan. Dengan prinsip pembangunan seperti itu maka tepat sekali penegasan Kepala Negara bahwa stabilitas nasional tersebut tidak untuk menakut-nakuti atau mengurangi perkembangan demokrasi, keterbukaan maupun kebebasan. Justru stabilitas nasional tersebut menjadi syarat terlaksananya pembangunan, termasuk pembangunan politik yang berarti juga pembangunan demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan dan sebagainya.
Penegasan Presiden akan pentingnya masalah stabilitas nasional inidi satu pihak dan mengingatkan jajaran pers nasional supaya hati-hati terhadap pengembangan ideologi lain di luar Pancasila di pihak lain, bukan tidak mungkin merupakan jawaban terhadap makin maraknya unjuk rasa akhir-akhir ini yang dianggap tidak lagi proporsional. Bahkan sudah mengarah ke aksi-aksi yang hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompok dengan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan umum.
TIDAK hanya itu, adii sementara aksi unjuk rasa hanya dijadikan sebagai alat penekan (pressure group) dengan yel-yel dan teriakan serta spanduk yang tidak memberi jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan. Dan cara-cara inilah yang sangat berbahaya karena terlalu menonjolkan kebebasan sebagai kebebasan dan sama sekali tidak memperhatikan masalah tanggungjawab. Apalagi dalam berbagai yel-yel serta teriakan dan spanduk tersebut terdapat ungkapan dan kata-kata yang bersifat merendahkan serta menyerang pribadi Presiden/Kepala Negara.
Dalam hubungan inikita ingin mengingatkan ketentuan hukum pidana yang masih berlaku sekarang. Maksudnya, supaya masyarakat luas mengetahui “aturan main”dan batas-batas unjuk rasa sedemikian rupa sehingga tidak terjerumus kepada tindakan anarkis yang dapat mengganggu stabilitas di satu pihak dan tersandung pasal-pasal pidana di pihak lain.
KETENTUAN pidana ini perlu diingatkan, apalagi jangan dilupakan bahwa KUH Pidana yang masih berlaku sekarang adalah peninggalan kolonial Belanda dan beberapa delik yang ada di dalamnya memang secara khusus diadakan untuk meredam segala bentuk gerakan ke arah kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan harus diakui, bahwa delik-delik khusus yang sengaja diadakan oleh pemerintah Belanda itu memang sangat ampuh dalam menumpas setiap aksi dari tokoh-tokoh pergerakan bangsa kita baik sebelum maupun sesudah Kebangkitan Nasional tahun 1908.
Delik-delik khusus dimaksud ialah menyangkut Kejahatan Terhadap Martabat Presiden/Kepala Negara berdasarkan Pasal 131, 134, 136 bls, 137 dan 139 KUH Pidana. Kemudian menyangkut Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum berdasarkan Pasal 154-156 KUH Pidana dan Kejahatan Terhadap Kekuasaan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 207 dan 208 KUH Pidana.
BEBERAPA delik khusus di atas sengaja disebut di sini untuk menunjukkan bahwa pasal-pasal dimaksud sekaligus merupakan “aturan main” dan batas-batas dari kebebasan dalam kaitannya dengan unjuk rasa. Dengan kata lain, unjuk rasa bisa saja dilakukan sebagai salah satu wujud dari demokrasi yang kita anut, namun harus tetap dijaga jangan sampai terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan delik-delik khusus tersebut.
Sebaliknya, sekalipun pendekatan stabilitas nasional memang diperlukan, namun segala sesuatunya harus didasarkan atau mengacu kepada “aturan main” dan batas batas kebebasan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum pidana yang masih berlaku sekarang. Lepas dari persoalan bahwa sebenamya delik-delik khusus tersebut pada hakikatnya kurang demokratis, tidak limitatif, terlalu elastis dan tidak sesuai dengan hak-hak asasi bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat. Atas dasar itu penerapannya oleh aparat penegak hukum harus hati-hati dan hanya karena terpaksa.
Sumber: SUARA PEMBARUAN (20/12/1993)
_________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 368-369.