MASYARAKAT PERLU TETAP WASPADA, BAHAYA LATEN DARI KIRI DAN KANAN

MASYARAKAT PERLU TETAP WASPADA, BAHAYA LATEN DARI KIRI DAN KANAN[1]

 

Jakarta, Suara Karya

Pernyataan Presiden Soeharto bahwa ada gerakan-gerakan yang berupaya untuk mengembangkan demokrasi liberal dan demokrasi lainnya, hendaknya menjadi peringatan masyarakat agar tetap waspada. Terhadap yang masih terus melakukan

kegiatan-kegiatan dengan cara dan langkah-langkah PKI, pemerintah harus bertindak tegas dan kalau perlu mereka dipukul. Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sudomo mengatakan hal itu seusai memimpin rapat DPA yang membahas perkembangan politik dalam negeri di Jakarta, Sabtu. Situasi politik itu antara lain mengenai demonstrasi, PDI dan pemyataan Presiden Soeharto mengenai stabilitas nasional. Dalam pembahasan itu nanti akan diambil pertimbangan-pertimbangan untuk kemudian disampaikan kepada Presiden.

Kepala Negara dalam penerbangan kembali ke Tanah Air dari New Delhi, Jumat (17/12) mengatakan, akhir-akhir ini terdapat gejala-gejala yang menyatakan seolah­ olah stabilitas nasional selalu ditonjolkan sehingga menjadi penghalang untuk pengembangan demokrasi, keterbukaan dan kebebasan. Padahal, menurut Kepala Negara, stabilitas yang dijabarkan oleh Presiden selaku Mandataris MPR bukan untuk menakut-nakuti atau mengurangi pengembangan demokrasi, keterbukaan maupun kebebasan.

Mereka itu, menurut kepala Negara, selalu haus akan keterbukaan dan kebebasan namun tidak mau mempelajari Pancasila dan UUD 45. Justru mereka mempelajari ideologi lain dan mengembangkan demokrasi liberal serta demokrasi lainnya. Hal ini menjadi gejala yang kurang menguntungkan, bahkan mengganggu stabilitas nasional pertumbuhan dan pemerataan.

DPA mensinyalir, saat ini memang ada gerakan-gerakan yang tampaknya mengarah pada demokrasi liberal dengan cara-cara ekstrim. Cara-cara yang menggunakan kekerasan ini terlihat dalam aksi demonstrasi akhir-akhir ini. Dewasa ini memang masih ada bahaya Iaten yang memanfaatkan situasi. Kegiatan yang tidak melaksanakan demokrasi Pancasila, menurut Sudomo sudah merupakan bahaya yang bisa mengganggu stabilitas nasional.

Masalah stabilitas nasional, baik dalam kehidupan tata negara, pembangunan ekonomi dan lainnya pasti berdasarkan pada 3 hal yaitu konstitusi, demokrasi Pancasila dan hukum. Jika unsur-unsur ini tidak dilaksanakan, pasti akan mengarah pada hal-hal yang bisa mengganggu stabilitas nasional, bahkan dapat dimanfaatkan oleh bahaya Iaten yaitu ekstrim kanan dan ekstrim kiri.

Ucapan Presiden, menurut Sudomo, menjadi peringatan bagi masyarakat untuk waspada terhadap gerakan – gerakan itu. Bahaya Iaten, baik kiri maupun kanan itu tetap ada. Tidak melaksanakan Pancasila pun merupakan bahaya karena tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila.                                                                            ·

Pernyataan Kepala Negara itu, kata Sudomo, juga menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai niat baik untuk meningkatkan kualitas demokrasi, baik mengenai keterbukaan maupun kebebasan. Hal ini tampak dengan diserahkannya pembahasan GBHN kepada fraksi-fraksi di DPR. Dengan diserahkan kepada fraksi maka masing-masing fraksi mempunyai konsep di mana mereka dapat saja tidak setuju. Walau kemudian konsep FABRI yang diterima, ini sudah memperlihatkan peningkatan pengembangan demokrasi.

Demikian pula mengenai proses pemilihan gubernur yang tidak lagi disertai sponsor dan titipan dari pemerintah. Di samping itu, dihapuskannya pencekalan dan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun pengembangan demokrasi secara kualitatif disalahartikan dan disalahgunakan. Demonstrasi memang hak asasi setiap orang tetapi persoalannya di sini, kata Sudomo, kita melaksanakan demokrasi Pancasila yang dasarnya musyawarah mufakat, kekeluargaan, gotong royong.

Aspirasi

Orang sekarang mengatasnamakan “arus bawah”. “Ini mewakili rakyat yang mana. Itu harus dipertanyakan .Mengenai pengertian aspirasi rakyat, kita harus hati­ hati. Jangan nranyak,” ujarnya.

Pernyataan Presiden, Ianjut Sudomo, jelas merupakan peringatan kepada mereka untuk menghentikan kegiatannya. Pemerintah perlu bertindak tegas, bahkan kalau perlu mereka dipukul.  “Kesabaran itu  ada batasnya,” kata Sudomo.

Masyarakat harus selalu waspada terhadap orang-orang y ang menginginkan perubahan hanya demi perubahan saja. Menginginkan perubahan boleh saja tetapi jangan hanya perubahan demi perubahan.

Bahaya Laten

Dalam keadaan damai, biasanya orang lupa bahwa masih ada bahaya Iaten. Diingatkan oleh Sudomo, PKI tahun 1948 melakukan mob. Tujuh tahun kemudian, PKI menjadi salah satu dari 4 partai besar. Sepuluh tahun berikutnya PKI berani melakukan coup.

Sekarang ini terdapat eks G30S/PKI 33.000 orang golongan B di masyarakat, waktu mereka sudah tua. Sedang para simpatisan golongan C sebanyak 500.000 orang. Belum lagi jumlah ekstrem kanan dalam kasus Lampung, Aceh dsb. Itulah peristiwa-peristiwa yang harus selalu menjadi peringatan masyarakat. Bukan berarti security approach atau bantu di siang hari bolong.

“Kalau kita lupa bisa teijadi kembali peristiwa tahun 1948 dan 1955,” katanya, Jika sasaran mereka mengarah pada pimpinan nasional, itu sama artinya dengan merusak tatanan yang ada. Tidak setuju boleh saja, namun harus berpijak pada konstitusi, demokrasi Pancasila dan hukum. Jangan hanya melihat sisi negatifnya saja. Karena hal itu merupakan cara-cara PKI sebagaimana yang diungkapkan Presiden. Di antara kekurangan, masyarakat hendaknya tidak mengesampingkan adanya kemajuan-kemajuan pembangunan. Kekurangan ini tentu akan diatasi oleh pemerintah, namun tidak bisa sekaligus.

Ketika SDSB tidak diperpanjang, yang pertama bereaksi adalah bandar-bandar yang tidak mendapat kesempatan. Namun kemudian ditunggangi oleh ekstrem kanan, seperti terlihat dari isi pamflet-pamflet Demonstrasi di DPR baru-baru ini yang menuntut diselenggarakannya SU Istimewa MPR, keterlibatannya dilakukan kelompok yang menggunakan bukan cara-cara demokrasi Pancasila. Mereka melakukan dengan demokrasi liberal tapi dengan cara-cara ekstrem. “Saya belum mengatakan ditunggangi oleh siapa. Tapi kalau melihat cara-caranya, benar apa yang disinyalir Presiden. Mereka membesarkan kejadian itu. Mereka menghina Presiden seperti cara-cara yang dilakukan oleh PKI,” katanya. (N-1)

Sumber: SUARAKARYA(20/12/1993)

_____________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 372-375.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.