SWASEMBADA GULA MENJADI TANGGUNG JAWAB NASIONAL

SWASEMBADA GULA MENJADI TANGGUNG JAWAB NASIONAL[1]

 

Jakarta, Antara

Wakil Ketua Komisi IV DPR H. Imam Churmen mengatakan, upaya mewujudkan swasembada gula merupakan tanggung jawab nasional yang operasionalisasi kegiatannya seyogyanya dilakukan secara lintas sektoral termasuk perbankan.

“Untuk mewujudkan swasembada gula, semua instansi terkait hendaknya bekerjasama mendukung upaya tersebut yang juga bertujuan meningkatkan pendapatan petani, jangan sampai terjadi egoisme sektoral,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Dikatakannya, Presiden Soeharto telah menegaskan perlunya segera swasembada gula diwujudkan, sementara itu Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah memperkirakan tahun ini Indonesia tidak akan mengimpor gula karena produksi gula dalam negeri akan naik sekitar 250-300 ribu ton.

Wakil ketua komisi yang membidangi masalah-masalah pertanian, kehutanan dan transrnigrasi itu mengatakan, produksi gula tahun lalu mencapai 2,3juta ton,tahun ini diperkirakan minimal akan naik menjadi 2,4 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional sekitar 2,6 juta ton.

Untuk mencapai swasembada gula, Imam berpendapat semua pihak yang terkait hendaknya memperhatikan kebutuhan petani mulai dari bibit, upaya peningkatan kualitas, perluasan lahan penanaman dan pengadaan pupuk.

Dia juga mengharapkan, harga pro venue gula yang kini Rp 792/kg dinaikkan tanpa harus menaikkan harga gula di tingkat konsumen, sebab rumus harga gula yang disepakati adalah 2,4 kali harga gabah kering giling yang sekarang Rp 340/kg.

Wakil Ketua Komisi IV itu juga minta agar cukai gula dihapus karena pengenaan cukai tersebut mengacu kepada ordonansi Hindia Belanda tahun 1930 yang sudah tidak relevan lagi dengan Inpres No.9/1975.

“Kalau memang pungutan cukai itu untuk membantu membiayai pembangunan, janganlah pelaksanaan pembangunan di bidang perkebunan ini dijadikan obyek, tapi justeru sebagai subyek,”katanya.

Terharu

Imam Churmen menyatakan terharu ketika dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Barat menerima penjelasan dari seorang pengurus KUD di kawasan PG Jatibarang yang mengalami kerugian pada tahun 1991/92 lalu.

Kami sudah mengelola tebu cukup baik, bahkan menurut analisa PG basil produksi tebu karni kurang lebih 750 kuintal per-hektar dengan rendemen 7,6 persen.

Bila tebu kami ditebang tepat waktu, jelas kami bisa mengembalikan kredit pada BRI dan mempunyai SHU Rp 800.000 per-hektar. Tapi karena keterlambatan tebang dan angkut, kami justru rugi Rp 25 juta/ha, kata pengurus KUD tersebut.

Abu Ali, pengurus KUD itu menjelaskan, tebu para petani kelompok TRIS (febu Rakyat Intensifikasi Sawah) II yang luasnya 33,4 ha setelah ditebang dibiarkan terhampar di lahan sampai kering karena tidak diangkut.

“Kami sangat terpukul karena setelah delapan bulan kerja keras ternyata tanpa hasil, justru merugi,”katanya.

Menurut Imam Churmen, adanya kasus tebu yang tidak ditebang juga terjadi pada petani di kawasan PG Tersana Baru, namun petani mendapat ganti rugi Rp 900.000/ha. Alasannya, akibat musim hujan rendemen tebu merosot tajam dari enam menjadi satu persen.

Dikatakannya, kompensasi kepada petani hendaknya diusahakan dan kontraktor yang ditunjuk melaksanakan tebang angkut hams bertanggungjawab.

“Jika ada unsur PG yang terlibat dalam masalah ini, hendaknya ditindak tegas. Jangan sengsarakan petani, sebab petani selama ini banyak jasanya dalam mewujudkan swasembada beras dan sebentar lagi swasembada gula,” kata Imam.

Pihak direksi PG Jati barang menyatakan telah memberikan pinjaman Rp 225 juta untuk mengatasi masalah ini. “Namun bila pihak direksi PG minta rekomendasi kepada Deptan dan Depkeu kami akan dukung,” katanya.

Dia mengingatkan kalau kasus-kasus semacam ini tidak ditanggapi dengan semestinya oleh pihak -pihak yang terkait, termasuk perbankan, dikhawatirkan akan berakibat fatal bagi PG, PTP maupun petani sendiri.

“Kita harus lenyapkan egoisme sektoral,” demikian H.Imam Churmen.

(FAX-JKT001/ls/EU06/  l/05/9314:09)

Sumber: ANTARA (01/05/1993)

____________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 423-425.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.