INDONESIA TERUS JAGA KEPERCAYAAN NEGARA DONOR[1]
Tokyo, Antara
Prof. Widjojo Nitisastro mengatakan Indonesia sejak 22 tahun lalu selalu berusaha menjaga kepercayaan negara-negara donor sehingga mereka berse dia terus menyalurkan bantuannya sebagai modal pembangunan.
“Setelah 22 tahun penyelesaian akhir masalah utang Indonesia, negara kreditor Paris Club dan lembaga keuangan internasional mungkin sepakat bahwa pokok pokok penting penyelesaian akhir utang Indonesia dulu dapat diterapkan pada kasus kasus yang relevan sekarang,”kata Widjojo pada ceramahnya dalam Konperensi Internasional Tokyo untuk Pembangunan Afrika (TICAD) di Tokyo, hari Selasa.
Konperensi internasional dua hari itu dibuka PM Hosokawa Rabu pagi dan dihadiri sekitar 400 peserta dari 60 negara dan lembaga-lembaga internasional, lima Presiden, puluhan menteri dan pejabat tinggi dari 48 negara Afrika.
Konperensi diselenggarakan Jepang bekerja sama dengan PBB. Widjojo, penasehat pemerintah Indonesia hadir selaku salah satu pembicara utama (keynote speaker). Selain Widjojo yang diundang khusus untuk menjadi pembicara utama oleh Jepang, dari Indonesia hadir pula Dr. Emil Salim, Dr.Rachmat Saleh dan Suhadi Mangkusuwondo.
Widjojo mengatakan, namun ada perbedaan besar an tara apa yang dihadapi Indonesia dengan situasi sekarang, yakni kenyataan bahwa bagi kebanyakan negara berkembang dengan beban utang luar negeri besar, langkah penjadwalan utang saja jauh dari mencukupi.
Dikemukakan sebelumnya, tercapainya penyelesaian utang Indonesia pada April 1970 merupakan penyelesaian akhir (final settlement) yang memungkinkan Indonesia memiliki akses ke sumber-sumber keuangan dan terus melaju menjalani proses pembangunan yang berkesinambungan.
Namun negara-negara kreditor Paris Club sejak saat itu menekankan bahwa strategi penyelesian utang akhir Indonesia tersebut merupakan kasus unik yang tidak boleh menjadi pembuka jalan (precedent) bagi cara-cara penyelesaian utang negara negara berkembang lainnya. Strategi penyelesaian akhir utang Indonesia yang disepakati negara-negara Paris Club dengan Pemerintah Indonesia tersebut tercakup dalam empat pasal.
Yang pertama adalah pengembalian pinjaman pokok/ prinsipal dilaksanakan dalam 30 tahun mulai 1970 hingga 1999. Kedua, pengembalian bunga kontraknya (contractual interest) dilakukan dalam masa 15 tahun mulai 1985 sampai 1999. Ketiga, pada bunga yang tertangguhkan (amounts deferred) tidak lagi dikenakan bunga atasnya. Keempat, Indonesia bisa memilih (option) untuk menangguhkan sebagian dari pembayaran prinsipal yang jatuh tempo (due) selama periode delapan tahun pertama sampai delapan tahun terakhir (1992-1999) dengan pembayaran bunga 4,0 persen.
“Sejak 1970 Indonesia tidak perlu lagi melakukan penjadwalkan kembali utang luar negerinya,” kata Widjojo, yang menambahkan dengan manajemen utang yang baik disertai berbagai penerapan reformasi ekonomi dan penyesuaian struktural, Indonesia bisa mencegah krisis utang luar negerinya dalam 22 tahun terakhir.
Stabilisasi Ekonomi
Untuk memberi penekanan, pada awal ceramahnya Widjojo mengungkapkan sejarah Indonesia yang tidak langsung merdeka sepenuhnya setelah proklamasi Agustus 1945.
Selama empat tahun berikutnya serta karena akibat Perang Dunia II, rakyat Indonesia mengalami penderitaan besar selain hancurnya aset produktif dan prasarananya.
Pada 20 tahun era berikut, katanya, Indonesia sibuk dengan usaha membangun bangsa dan menciptakan kesatuan bangsa. Karena besarnya wilayah ditambah lagi rumitnya geografis, keragaman warisan kebudayaan, kelompok etnis serta bahasa, Indonesia bertahun-tahun mengalami konflik dalam negeri dan pemberontakan-pemberontakan. Berikutnya, di era 1960-an, persoalan-persoalan itu menyebabkan kondisi ekonomi secara umum merosot tajam sehingga menyebabkan masalah-masalah kurang pangan, hiperinflasi, stagnasi industri, pengangguran, krisis neraca pembayaran dan membengkaknya tunggakan hutang luar negeri.
“Indonesia waktu itu dalam kondisi demikian menyedihkannya sehingga banyak analis dan pengamat internasional memandang Indonesia kecil harapan masa depannya. Namun titik balik datang tahun 1966 ketika pemerintahan Presiden Soeharto mulai melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian Indonesia,”kata mantan Menko Ekuin periode 1973-1993 dan Ketua Bappenas itu.
Sasaran utama pembangunan Indonesia sejak itu, katanya, penurunan tingkat inflasi, rehabilitasi prasarana, peningkatan ekspor dan penyediaan pangan dan sandang untuk rakyat.
Dengan tercapainya sasaran-sasaran itu, Indonesia kemudian dapat menyelenggarakan tahapan pembangunan per lima tahunannya yang dilaksanakan dalam kerangka pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama.
Konperensi internasional yang akan berlangsung hingga Rabu itu dihadiri Presiden Benin Nocephore Dieudonne Soglo, Presiden Burkina Faso Blaise Compaore, Presiden Ghana Letnan Penerbang (Pum.) Jerry John Rawlings dan Presiden Uganda Yoweri K.Museveni. (T.KL-02/EU02/RU3 /00301)
Sumber: ANTARA(OS/10/1993)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 615-617.