EMAS AVICENNA UNTUK HARGAI JASA PRESIDEN SOEHARTO DALAM PENDIDIKAN

EMAS AVICENNA UNTUK HARGAI JASA PRESIDEN SOEHARTO DALAM PENDIDIKAN[1]

 

 

Jakarta, Suara Karya

PRESIDEN SOEHARTO, Sabtu (19/6), menerima penghargaan UNESCO berupa medali emas Avicenna. Penghargaan ini diberikan atas keberhasilan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam membangun bidang pendidikan rakyat, tanpa membeda-bedakan suku, agama dan jenis kelamin.

Penyerahan penghargaan Avicenna disampaikan oleh Dirjen UNESCO Dr Federico Mayor di ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta dalam upacara yang berlangsung singkat. Penghargaan Avicenna ini baru pertama kali diberikan oleh UNESCO.

Avicenna atau di Timur dikenal dengan nama lbnu Sina adalah tokoh ilmu pengetahuan Islamabad X. Ia lahir di Bhukara (sekarang Uzbekistan) tahun 980. Filosof dan ilmuwan yang merintis bidang ilmu kedokteran ini meninggal tahun 1037 di Hamadan.

Presiden, atas nama pemerintah, rakyat Indonesia dan secara pribadi ketika membuka lokakarya nasional “Pendidikan untuk Semua” di Istana Negara, Sabtu, kembali menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada UNESCO atas penghargaan yang telah diberikan. Penghargaan yang dikatakan Kepala Negara sebagai anugerah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama yang bergerak di bidang pendidikan itu mengingatkan bahwa pembangunan pendidikan masih perlu terus digalakkan.

Tekad untuk memasuki era tinggallandas menurut Kepala Negara hanya terwujud jika masyarakat, terutama kaum muda memperoleh pendidikan yang memadai. Karena itu meski titik berat pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi, pembangunan pendidikan sama sekali tidak boleh mengendor. Apalagi dengan adanya UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, langkah untuk melaksanakan pendidikan untuk semua hams makin bertambah mantap.

Langkah Besar

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan cita-cita pendidikan untuk semua, baik yang bersifat tradisional maupun inovatif dengan dilaksanakannya pemberantasan 3 buta secara massal. Indonesia tercatat 3 kali mendapat hadiah pertama dan 6 kali mendapat penghargaan dalam lomba pemberantasan buta huruf internasional yang diselenggarakan UNESCO.

Untuk memperluas kesempatan belajar anak SD, kata Kepala Negara, kita melakukan usaha besar-besaran seperti memperbanyak jumlah SD, membangun SD Luar Biasa dan Madrasah Ibtidaiyah. Jika UNESCO masih berpegang pada pendidikan dasar semesta 6 tahun, Indonesia malah akan mulai melangkah lebih jauh lagi dengan mengadakan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Program ini akan dicanangkan awal Repelita VI, tahun depan.

Untuk menangani pelaksanaan wajib belajar 9 tahun akan dibentuk Tim Koordinasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Tim ini dibentuk baik di tingkat pusat maupun daerah yang bertanggungjawab atas kelancaran program itu.

Hasil pembangunan pendidikan selama ini, kata Presiden, sangat membesarkan hati. Melalui pembangunan Inpres SD, pencanangan wajib belajar SD, program orangtua asuh, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, pengangkatan guru, Indonesia berhasil meningkatkan partisipasi SD menjadi 99,6%. Sementara angka buta huruf usia 7-44 tahun tinggal 8,5 juta orang atau kurang lebih 5% dari jumlah penduduk. Jumlah kursus ketrampilan pun meningkat, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat.

Mendikbud Wardiman Djojonegoro melaporkan bahwa lokakarya diadakan menyongsong diselenggarakannya pertemuan 9 kepala negara-negara berkembang dengan penduduk terbesar mengenai pelaksanaan program pendidikan untuk semua. Pertemuan akan diadakan Desember 1993 di New Delhi, India yang dihadiri Bangladesh, Brazilia, RRC, India, Mesir, Meksiko, Nigeria, Pakistan dan Indonesia.

Satu Milyar

Pendidikan untuk semua, kata Wardirnan, merupakan tantangan dunia. Dewasa ini terdapat sekitar 1 milyar penduduk dunia yang buta huruf, selain masih banyak anak dunia yang belum memiliki kesempatan menduduki bangku sekolah dan sebagian besar orang dewasa yang belum memiliki pengetahuan dasar serta ketrampilan memadai.

Agar keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan pendidikan untuk semua dapat dipertahankan, perlu peningkatan dan pengembangan program pendidikan dasar, pemberantasan buta huruf dan pendidikan berkelanjutan yang mengarah pada suatu tingkat belajar mengajar yang berkualitas, baik lewat jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Hasil pendidikan untuk semua yang dicapai Indonesia sampai akhir Pelita V, ujar Wardiman, secara kuantitatif sangat menggembirakan tetapi secara kualitatif masih perlu ditingkatkan.

Lokakarya diikuti wakil-wakil Depdikbud, departemen terkait, LSM, pakar pendidikan dan pakar iptek.(N-1)

Sumber: SUARAKARYA( 22/06/1993)

_______________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 714-715.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.