KITA TIDAK MENUTUP-NUTUPI KEKURANGAN DAN KELEMAHAN[1]
Jakarta, Kompas
SIDEN Soeharto menegaskan, pemerintah tidak melarang pers meliput dan emberitakan segala masalah dan kekurangan yang terjadi. Namun demikian, dalam memberitakan masalah-masalah yang rawan, hendaknya pers memperhatikan dampak sosialnya yang dapat menimbulkan masalah baru di bidang bidang lain.
Berbicara pada puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-9 yang diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung, hari Selasa (9/2) kemarin. Kepala Negara mengatakan, pembangunan nasional selama seperempat abad terakhir ini selain mencapai keberhasilan-keberhasilan, juga terdapat kekurangberhasilan. Dan, kata Presiden, “Kita tidak perlu ragu mengakui bahwa masih banyak kekurangan dalam melaksanakan pembangunan kita selama ini.”
Kecuali itu, Ianjut Kepala Negara, pemerintah tidak melarang pers meliput dan memberitakan segala masalah dan kekurangan yang terjadi, bersamaan dengan prestasi dan kemajuan yang telah dicapai. “Kita hanya mengimbau agar dalam memberitakan masalah-masalah yang rawan hendaknya pers memperhatikan dampak sosialnya yang dapat menimbulkan masalah baru di bidang-bidang lain,”kata Presiden.
Hadir pada acara pembukaan peringatan HPN kemarin antara lain Menko Polkam Sudomo, Menkop Bustanil Arifin SH, Menpen H. Harmoko dan segenap jajaran pimpinan PWI Pusat dan kalangan pers nasional.
Seusai memukul gong sebagai tanda pembukaan peringatan HPN, Presiden Soeharto menandatangani prasasti pencanangan “Peningkatan peran pers nasional sebagai pers Pancasila dalam mengamalkan budaya baca masyarakat”. Sementara Ny. Tien Soeharto secara simbolis meresmikan pameran pers nasional yang berlangsung di gedung Landmark, Jalan Braga, Bandung.
Penuh Kehati-hatian
Salah satu tugas pokok pers, menurut Presiden, adalah menyampaikan berita berita mengenai kejadian-kejadian penting di dalam dan di luar negeri. Sesuai dengan sifat pers, berita-berita tadi harus akurat dan sampai secepatnya kepada masyarakat.
Tolok ukur pemilihan berita, menurut Kepala Negara, bukanlah sekedar berita itu menarik. Namun salah satu tolok ukur yang terpenting adalah manfaat berita tersebut bagi masyarakat.
“Berita-berita yang menarik, tetapi jika diberitakan malahan dapat menimbulkan perpecahan, harus kita timbang baik-baik dan dirumuskan dengan penuh kehati-hatian. Sebaliknya, berita yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa kita yang majemuk ini, justru harus segera disebarluaskan,” kata Presiden.
Ditekankan pula, kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar belum lama dimiliki. Kesadaran kebangsaan itu baru tumbuh tiga perempat abad yang lalu, setelah unsur-unsur yang terdapat pada bangsa saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya.
“Dari pengenalan ini, para pendahulu kita mengetahui adanya persamaan-persamaan yang mempersatukan kita, seperti persamaan sejarah di masa lampau, persamaan masalah yang dihadapi dan persamaan cita-cita yang ingin diwujudkan di masa depan,” tutur Presiden. Dalam mewujudkan kesadaran kebangsaan tadi, lanjut Kepala Negara, peranan pers dan para pejuang kemerdekaan bangsa sungguh besar. Bukan hanya dalam menanamkan kesadaran kebangsaan tetapi juga dalam memupuk dan mengembangkannya.
“Sesungguhnya kesadaran kebangsaan bukanlah hal yang sekalijadi. Kesadaran kebangsaan perlu terus dipupuk dan dikembangkan,” kata Presiden.
Nasionalisme Sempit
Pada bagian lain Presiden mengemukakan membatasi wawasan pada kehidupan kebangsaan saja, bisa menyebabkan nasionalisme sempit. Sebab dalam dunia yang terasa makin bertambah kecil ini, banyak masalah yang pemecahannya hanya dapat dilakukan jika dipecahkan bersama-sama antar bangsa.
“Politik isolasi sama sekali tidak cocok dalam dunia yang terus bergerak maju. Sebagai gantinya, tumbuh berbagai bentuk kerja sama antarbangsa. Kerja sama antarbangsa ini juga memerlukan saling pengertian yang harus dibangun, dipelihara dan dikembangkan. Untuk itu pers sangat diperlukan,” kata Presiden.
Namun diingatkan, setiap bangsa jelas mempunyai potensi dan masalahnya sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarahnya masing-masing. Karena itu, kata Presiden, dalam memilih berita yang akan disiarkan, pers hendaknya menampilkan peristiwa-peristiwa yang dapat lebih mengukuhkan saling pengertian dan kerja sama antar bangsa. Pers hendaknya tidak membesar-besarkan berita yang bisa menimbulkan prasangka, kecurigaan dan permusuhan.
“Hal ini tidak berarti bahwa kita menutup-nutupi kekurangan dan kelemahan yang ada. Pers hendaknya dapat menjadi jembatan saling pengertian antar bangsa dan ikut membentuk dunia baru yang damai dan adil,” tutur Presiden.
Mengenai peran pers dalam pembangunan bangsa, Presiden mengatakan, masyarakat akan merasa tenteram jika mereka mengetahui bahwa negara tidak saja memperhatikan nasibnya, tetapi juga menyelenggarakan berbagai program dan kegiatan untuk memperbaiki nasibnya. Sebaliknya, masyarakat akan merasa kecewa jika memperoleh kesan bahwa negara kebangsaan itu kurang peka atau justru lebih banyak menghadapi masalah-masalah dan kekurangan.
Semuanya itu,menurut Presiden, menunjukkkan bahwa komunikasi yang lancar antar warga negara dengan pemerintahnya sangat penting. Di sinilah sesungguhnya terletak peranan pokok pers nasional. Yaitu, sebagai jaringan urat syaraf kebangsaan yang membawa pesan dari satu bagian tubuh bangsa kepada bagian-bagian lainnya, sehingga masing-masing bagian dapat melakukan peranannya dengan sebaik-baiknya.
“Bahaya paling besar terhadap kehidupan kebangsaan akan muncul jika jaringan urat syarafkebangsaan ini kurang berfungsi, sehingga masing-masing bagian dari bangsa ini berjalan menurut kehendak dan tanggapannya sendiri-sendiri,” kata Presiden .
Hak Asasi Manusia
Dalam pidatonya di gedung bersejarah yang pemah digunakan Konferensi Asia Afrika 1955 itu, Presiden Soeharto juga menyoroti soal hak asasi manusia. Menurut Presiden, masyarakat dunia kini semakin memaharni latar belakang dan perkembangan yang terjadi di tanah air. Hanya dalam masalah-masalah khusus, seperti perlindungan terhadap hak asasi manusia, kelestarian lingkungan dan pelaksanaan demokrasi, masih terdengar kritik yang terkadang bersifat seimbang dan konstruktif.
“Kritik semacam itu patut kita hargai dan kita jadikan masukan dalam memperbaiki pembangunan nasional,” kata Kepala Negara.
Namun, tambah Presiden tidak jarang kritik-kritik tersebut kurang seimbang. Ini antara lain disebabkan penulisnya kurang memahami latar belakang suatu kejadian yang dijadikan berita. “Terhadap kritik-kritik semacam ini, kita harus segera menjelaskan duduk masalahnya,” kata Presiden.
Upaya untuk meluruskan salah pengertian tersebut, menurut Presiden. dilakukan melalui jalur diplomatik. Namun hal itu juga dapat dilakukan secara efektif melalui jalur pers dan kantor berita. “Pers nasional perlu menggembleng jajarannya agar dapat ikut mewujudkan tercapainya tujuan strategis ini,”kata Presiden.
Perkembangan Pers
Sementara itu Menpen Harmoko dalam sambutannya, selain memaparkan peran pers, juga mengungkapkan data perkembangan pers dalam lima tahun terakhir. Dikemukakan, pada tahun 1988 di Indonesia baru terdapat 263 penerbitan pers, 60 di antaranya berupa surat kabar harian dan sisanya berupa penerbitan berkala baik berupa majalah, tabloid maupun buletin. Lima tahun kemudian, yakni 1992,jumlah penerbitan bertambah menjadi 277 karena hadirnya surat kabar harian di daerah daerah. Kegiatan penerbitan tersebut di dukung 113 percetakan pers dan 6.546 percetakan nonpers.
Mengenai tiras atau oplah menurut Menpen, pada tahun 1988penerbitan pers setiap kali terbit mencapai 10,7 juta eksemplar dan meningkat menjadi 12.07 juta pada tahun 1992. Angka tiras tertinggi diraih penerbitan pers nasional adalah 13,96 juta pada tahun 1990 bertepatan dengan terjadinya peristiwa Perang Teluk.
Jumlah wartawan juga terus membengkak. Pada tahun 1988 baru terdapat 3.708 wartawan, tapi meningkat menjadi 5.345 orang pada tahun 1992. Klasifikasi pendidikan wartawan 3.361 orang atau 61,20 persen lulusan perguruan tinggi dan sisanya lulusan SMTA.
Menjelaskan tentang Koran Masuk Desa (KMD), Menpen mengatakan, KMD yang dicanangkan pada tahun pertama Pelita III mengikut sertakan 34 penerbitan pers yang tersebar di 13 propinsi. Tahun 1984 mengikutsertakan 50 penerbitan pers di 26 propinsi dan tahun 1990 menjadi 56 penerbitan dan 7 di antaranya sudah mandiri. “Ini berarti seluruh propinsi di Indonesia telah diikut sertakan dalam program koran masuk desa, kecuali Jakarta,” kata Harmoko.
Lebih lanjut Menpen menjelaskan, koran masuk desa tahun anggaran 1991/1992 tercatat 34,4 juta eksemplar. Angka ini berarti melebihi target oplah 7,68 juta eksemplar atau naik 448,7 persen.
HPN di Yogyakarta
Sementara itu dari Yogyakarta dilaporkan, jajaran pers setempat ziarah ke makam pendiri organisasi PWI Mr Sumanang di makam Sonyaragi, Gondokusuman Kodya Yogyakarta, serta makam tokoh pers lain seperti Ki Hadjar Dewantara, Ki Soendoro, dan Ki Darmosoegito di makam Wijayabrata.
Ziarah itu di lakukan setelah upacara bendera di halaman Balaikota Yogyakarta dengan inspekturupacara Gubemur DIY Paku Alam VIII itu. Ziarah diawali tabur bunga di pusara Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta.
Sumber: KOMPAS ( I0/02/1993)
___________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 799-803.