TAJUK RENCANA: KELIRU JIKA MASIH ADA SIKAP MEMBEDA-BEDAKAN KARENA ALASAN PRIMORDIAL[1]
Jakarta, Kompas
PRESIDEN Soeharto tidak menggunakan istilah primordial, namun kiranya itulah yang dimaksudkannya ketika ia menegaskan: Adalah keliru jika masih ada sikap membeda-bedakan diri karena alasan-alasan sempit seperti asal usul keturunan, kesukuan, status sosial, agama atau perbedaan sempit lain. Undang-Undang Dasar 45 menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
Penegasan Kepala Negara itu dikemukakan di depan acara Dharma Santi Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1916 Korpri-Umat Hindu Indonesia-ABRI di Jakarta pada hari Selasa (19/4). Presiden mengajak: “Karena itu marilah kita perkukuh kesadaran kebangsaan kita, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial, yang harus kita tampilkan dalam semangat membangun masa depan kita bersama.”
ITULAH perkara yang kita sudah memahaminya! Barangkali demikianlah tanggapan sebagian kita terhadap pernyataan itu. Benar, kita umuranya telah memahami dan menangkap perkara tersebut: bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, didirikan dari dibangun di atas paham kebangsaan. Karena itu, kita bangsa Indonesia tidak membeda-bedakan diri atas asal usul keturunan, kesukuan, status sosial, agama serta sayap-sayap sempit lainnya.
Paham kebangsaan itu bukanlah suatu yang given, bukan sesuatu yang hadir begitu saja di antara dan di depan kita. Paham kebangsaan itu merupakan pilihan politik secara sadar dan secara sengaja. Dari realitas masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, suku, keturunan, sosial, kepulauan, agama, kita memilih secara sadar dan secara sengaja berlakunya paham kebangsaan, yakni paham keutuhan dan kebulatan yang mengatasi segala macam kesukuan, keturunan, sosial, agama, golongan.
Paham kebangsaan itu merupakan hasil kemauan dan keputusan politik bangsa Indonesia. Karena tidak merupakan sesuatu yang dengan sendirinya, karena justru mengatasi dan melampaui segala macam kecenderungan berbagai sayap-sayap yang sempit dan eksklusif itu, maka kesadaran dan kemauan politik untuk terns membangun serta mengembangkannya, harus senantiasa ada.
Dari kehadiran dan kemauan politik untuk terus-menerus mengembangkan serta membangun itulah, tergantung nasib paham kebangsaan Indonesia. Inilah sebabnya, Pimpinan Nasional dan semua lapisan pimpinan Indonesia terpanggil untuk mengingatkan masyarakat dan mengajak semua pihak untuk membangun paham kebangsaan dengan memberikan isi yang sesuai dan dengan melaksanakannya.
PERJALANAN bangsa-bangsa pasang surut. Ada bangsa baru yang terbangun, ada pula bangsa lama yang berantakan. Kejadian di bekas negara Yugoslavia mengundang provokasi pemikiran, perpecahan, desintegrasi serta peperangan itu, suatu insiden yang sifatnya kasuistis ataukah peristiwa yang memprihatinkan itu, isyarat berbiaknya suatu gejala baru dalam perkembangan sejarah paska runtuhnya paham Komunisme serta beberapa imperiumnya.
Ada silang pendapat dan ada kecemasan, jangan-jangan kejadian itu bukan sekadar sualu insiden dan kasus yang berdiri sendiri, akan tetapi sekaligus suatu petunjuk tentang apa yang mulai dikenal sebagai paham dan konflik komunalisme baru. Surutnya paham komunisme diganti oleh munculnya paham komunalisme.
Masyarakat bangsa bagaimanakah yang bisa menjadi tanah subur untuk bangkitnya paham komunalisme sempit dan eksklusif? Masuk akal, jika kemungkinannya lebih besar bagi masyarakat bangsa yang majemuk, dibandingkan dengan masyarakat bangsa yang serba homogen. Bersandar pada kedua faktor itu yakni bahwa paham kebangsaan adalah pilihan politik dari realitas masyarakat Indonesia yang serba majemuk serta faktor bahwa timbul tanda-tanda bangkitnya paham sempit komunalisme di dunia, penegasan Presiden Soeharto perihal paham kebangsaan Indonesia, sangatlah aktual dan sangatlah relevan.
LAGI pula, masih ada faktor ketiga. Faktor ketiga ini juga ditunjukkan oleh Kepala Negara, ketika ia mengingatkan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa bersifat dinamis, karena itu harus selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bangsa Indonesia sedang membangun, bekerja mencapai serta mewujudkan tujuan bersama: kemakmuran, keadilan, demokrasi, kesejahteraan. Segala sesuatu bergerak dan berubah dalam menuju cita-cita bersama. Gerak, perubahan dan hasil hasil sementara pembangunan kecuali membawa capaian-capaian positif, membawa serta masalah-masalah negatif yang tidak kita kehendaki.
Ambillah misalnya, dalam kemajuan ekonomi, dalam tingkat kemakmuran, hasil yang diraih dan dinikmati tidak sama di antara sesama warga dan berbagai kelompok dan golongan masyarakat, bahkan juga tidak sama di antara sesama daerah. Kenyataan itu dimaksudkan sebagai bersifat sementara, sebagai ekses serta beban yang memboncengi pembangunan.
Sekalipun demikian, dampak realitas yang dimaksudkan bersifat sementara itu, mengganggu, termasuk mengganggu intensitas persatuan dan kesatuan, bahkan juga mengganggu perasaan kebangsaan. Jika kemudian timbul hal-hal yang mengambil bentuk primordial dan komunal sempit, keadaan itulah Jatar belakangnya.
Sekiranya pengamatan dibatasi di sini, maka kita dihadapkan pada suatu kemungkinan yang mencemaskan. Hasil dan proses pembangunan yang membawa juga kesenjangan menimbulkan berbagai kecenderungan baru, di antaranya kecenderungan yang menyempit, sebut saja kecendemngan primordial dan komunal. Maka lantas diusahakan perbaikan dan koreksi terhadap keadaan itu. Proses koreksi itu, tampaknya bisa juga disertai timbulnya arus komunal dan primordial baru.
Aksi-reaksi yang berkemungkinan menyempit dan berkemungkinan tidak sejalan dengan paham kebangsaan itu, kiranya sama-sama tidak kita kehendaki. Usaha mengoreksi keadaan dan kondisi yang senjang, harus tetap dalam kerangka paham kebangsaan. Inilah pekerjaan rumah kita bersama.
TINDAK lanjut apa yang menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menanggapi ajakan dan penegasan Presiden. Kita semua, terutama juga para pembantu Presiden pada semua tingkatan, terpanggil untuk melaksanakan kebijakan dan prinsip paham kebangsaan. Misalnya dalam pengangkatan pejabat dan pegawai agar, kriteria profesionalisme yang dipegang dan dilaksanakan, bukan kriteria yang menyempit.
Usaha kita untuk melakUkan koreksi terhadap kondisi sosial ekonomi dan lain lain yang mengganggu merekatnya paham kebangsaan, paham persatuan dan paham setia kawan masyarakat majemuk hams dilanjutkan bahkan dibuat semakin efektif.
Paham kebangsaan dan paham persatuan kecuali ideologi juga memerlukan pilar-pilar pendukung dan pengikatnya. Barangkali perlu dimungkinkan terbukanya kesempatan untuk berpikir dan mempertanyakan, seberapa jauh struktur dan pilar pilar yang ada sekarang, tetap masih memadai peranannya untuk menghadapi perubahan dan tantangan dengan tetap disertai komitmen untuk memupuk serta mengkreatifkan paham kebangsaan.
Sumber: KOMPAS (22/04/1994 )
__________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 44-46.