RENDAHNYA EKSPOR TPT AKIBAT MENUMPUKNYA STOK LUAR NEGERI[1]
Jakarta, Antara
Laju peningkatan ekspor tekstil dan produk tekstil (TP1) tahun 1993yang hanya 0,01 persen terjadi akibat resesi yang menyebabkan menumpuknya stok di luar negeri. Setelah melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Sabtu tentang perkembangan industri elektronika, Menperind Tunky Ari wibowo mengatakan kepada pers bahwa ekspor TPT. tahun 1993 menghasilkan devisa 5,8999 miliar dolar AS dibanding tahun 1992 yang hampir sama jumlahnya 5,8995 miliar dolar AS.
Laju pertumbuhan ekspor TPT. itu, amat rendah dibandingkan dengan komoditi komoditi lainnya seperti kayu yang melonjak 37 persen sehinga menjadi 5,8 miliar dolar AS ataupun karet sebesar 148 persen menjadi 1,7 miliar dolar AS. Ia menjelaskan penumpukan stok itu mengakibatkan pasar lebih suka membeli barang yang sudah menjadi persediaan yang mengakibatnya lambannya penyerapan barang produksi baru.
Tunky mengemukakan pula masuknya tekstil dari RRC ke Amerika Serikat ikut mengakibatkan lambannya peningkatan ekspor Indonesia ke negara itu. Tunky mengatakan pula rendahnya peningkatan ekspor tekstil itu disebabkan pula meningkatnya nilai tukar Yen terhadap dolar AS serta munculnya pesaing-pesaing baru. Untuk mendorong laju pertumbuhan TPT yang mempakan andalan utama ekspor komoditi nonmigas, maka para pengusaha dan juga pemerintah harus menempuh berbagai langkah agar peningkatan itu bisa secepat yang diharapkan.
Menurut Tunky, langkah yang harus dilakukan para pengusaha tekstil adalah melakukan penyesuaian secepat yang terjadi di luar negeri sehingga Indonesia tidak tertinggal.
Relokasi Elektronika
Sementara itu, ketika melaporkan perkembangan industri elektronika, ia menyebutkan ekspor memang cukup tinggi sebanyak 1,1 miliar dolar AS. Namun di lain pihak, irnpor komponen terus meningkat tahun 193 yang mencapai 800 juta dolar AS.
“Akibatnya net/ selisih ekspor dan impor hanya sekitar 200 juta dolar,” kata Tunky. Komponen impor itu, Antara lain adalah tabung gambar televisi, komponen khusus radio dan tape recorder serta kapasitor.
Untuk menekan angka impor itu, kata Tunky, maka Indonesia harus mendorong relokasi pabrik-pabrik di luar negeri misalnya dari Singapura, Malaysia, Korea Selatan serta Taiwan. Namun, ia mengatakan relokasi itu hanya akan berhasil jika basil industri itu pasti dibeli oleh pengusaha pabrik yang berorientasi ekspor. Bisnis elektronika di luar negeri cukup besar karena pada tahun 1994/95 nilainya mencapai 700 miliar hingga 800 miliar dolar AS dan tahun 2000 diperkirakan melonjak menjadi 1,5 triliun dolar AS.(T/ Eu02/eu07/12/03/9413:30/RU2)
Sumber: ANTARA (12/03/1994)
______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 224-225.