LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL HARUS MAINKAN PERANAN

LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL HARUS MAINKAN PERANAN[1]

Jakarta, Antara

Lembaga keuangan internasional harus memainkan peranan yang lebih besar dalam mengatasi krisis utang negara-negara berkembang yang semakin berat saat ini, kata Menko bidang Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekkuwasbang) Prof. Dr. Saleh Affif.

“Utang dari negara berkembang kebanyakan bersifat multilateral, karena itu perlu bantuan dari lembaga perbankan internasional untuk turut mengatasinya,” katanya dalam pidato pembuk aan sesi pertama Konperensi Tingkat Menteri Gerakan Non Blok (GNB) di Jakarta, Sabtu.

Pertemuan itu membahas tentang masalah utang dan pembangunan yang diikuti oleh 31 negara terbelakang (LDC). Saleh Affif mengatakan, saat ini negara-negara berkembang membutuhkan keringanan atas utang-utangnya berupa pengurangan. Selama ini, telah ada bank-bank komersial dan negara maju pemberi utang yang telah melakukan pengurangan utang kepada negara-negara berkembang.

“Namun sebenarnya pengurangan utang multilateral mendesak untuk dilaksanakan,” katanya dalam pertemuan yang berlangsung 13-15 Agustus itu.

Kendatipun telah diberikan pengurangan utang, tidak berarti negara berkembang dapat memacu laju pembangunan ekonominya tanpa perangkat kebijakan domestik yang sesuai dengan lingkungan ekonomi internasional, tambahnya.

Menurut dia, pertemuan yang bersifat konsultatif dan merupakan tindak lanjut dari pertemuan KTT GNB X di Jakarta bulan September 1992 itu, bukan ternpat bagi suatu negara untuk menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya negara Jain mengatasi masalah domestiknya.

“Forum ini merupakan ajang tukar-menukar pengalaman dan pandangan, dan dialog kerja sama Selatan-Selatan yang mencoba mengidentifikasi strategi-strategi domestik negara yang berhasil dalam pembayaran utangnya. Hal ini kemudian dapat dipertimbangkan oleh negara lain sebagai bagian upayanya meningkatkan perekonomian,” katanya.

Dikatakannya, lingkungan ekonomi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang merupakan masalah penting bagi dialog Utara­ Selatan dan kerja sama Selatan-Selatan.

Sikap Positif G7

Menurut dia, negara-negara Kelompok Tujuh (G7) yang merupakan kreditor terbesar, dalam KTI G7 di Napoli, ltalia memperlihatkan sikap positifnya untuk membantu meringankan beban utang LDC.

“Mereka kemungkinan besar mau membantu, tetapi sampai sejauh ini belum ada komitmen yang pasti, “katanya dalam konperensi pers seusai membuka pertemuan itu.

Sementara itu Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali dalam sambutannya yang dibacakan oleh utusan khususnya Rafeuddin Ahmed mengatakan, ia menyambut baik ide Presiden Soeharto selaku Ketua GNB untuk melaksanakan pertemuan tersebut.

“Krisis utang adalah istilah yang baru ada pada tahun 1980-an, namun masalah ini sebenarnya telah berlangsung lama dan tetap menjadi kendala bagi pembangunan,” katanya.

Ditambahkan, keringanan utang saja tidak akan cukup untuk mengatasi kendala yang dihadapi negara terbelakang dan negara berkembang yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi itu.

“Kita butuh visi pembangunan yang barn dan lebih komprehensif untuk membantu negara terbelakang dan negara berkembang mengurangi ketergantungan mereka akan bantuan dan utang,” ujarnya.

Menurut catatan, selama awal tahun 1990-an antara 55 dan 60 negara berkembang menghadapi kesulitan membayar utang, dengan tunggakan melebihi 20 persen .Diperkirakan utang negara-negara tersebut mencapai 248 miliar dolar AS.

Pada tahun 1992, diantara 58 negara yang tunggakannya melebihi 20 persen itu, tiga perempatnya menunggak di atas 50 persen, separuh di antaranya memiliki tunggakan lebih dari 75 persen, dan seperempatnya lebih dari 90 persen.

Dari 58 negara dengan beban utang berat itu, 32 di antaranya dikelompokkan sebagai LDC. Sebanyak 35 negara diantaranya memiliki tingkat pendapatan per kapita antara 60-650 dolar AS.

Angka itu terus memburuk karena kebanyakan negara-negara tersebut mengalarni tingkat pertumbuhan negatif. Sebanyak 29 negara memiliki laju pertumbuhan negatif yakni antara-7,8 persen dan -0,1 persen antara 1985-1992, yang lainnya tercatat memiliki angka pertumbuhan 0-2 persen per tahun.

(T-PU18/16.00/B/EU05/17:33/RE2/13/08/94 19:36)

Sumber:ANTARA(13/08/1994)

_____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 333-335.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.