TENTANG PEMBELIAN KAPAL BEKAS JERMAN

TENTANG PEMBELIAN KAPAL BEKAS JERMAN[1]

 

Bandar Lampung, Merdeka

Presiden Soeharto mengemukakan, proses pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur yang dilakukan secara diam-diam telah menimbulkan kehebohan, terutama karena ada orang-orang tertentu yang tidak mengetahui masalah ini secara mendalam mengeluarkan komentar yang akhirnya menimbulkan kegelisahan.

“Orang-orang yang setengah mengerti ini dan kemudian mengeluarkan pendapat telah memperkeruh situasi, mengadu domba dan mengakibatkan suasana saling mencurigai, sehingga mengganggu stabilitas,” kata Presiden ketika berbicara pada acara peresmian dimulainya pembangunan Pangkalan Udara TNI-AL; Teluk Ratai di Lampung Selatan, Kamis (9/6).

Pangkalan ini akan dibangun secara bertahap untuk menampung kapal-kapal perang bekas Jerman Timur. Selanjutnya Presiden mengatakan: “Mereka tidak mungkin kita biarkan. Kalau tidak bisa diperingatkan, maka akan kita tindak”. Presiden juga mengatakan, sampai sekarang masih ada segelintir orang Indone­ sia yang menuntut hak-hak berserikat dan mengemukakan pendapat. Padahal semua hal itu sudah diatur undang-undang, Undang-undang itu hams dipatuhi sehingga orang­ orang itu jangan hanya mau menuntut saja.

“Kalau undang-undang itu tidak dipatuhi, maka apaka h akan kita biarkan,” tambahnya.

Pada bagian lain dari penjelasan lisannya, Presiden menyebutkan Indonesia hams merniliki kekuatan !aut yang handal terutama karena dua per tiga wilayah di tanah air merupakan laut yang menghubungkan sekitar 17.000 pulau.

“Mau tidak mau kita mengusahakan agar dalam melindungi seluruh bangsa dan wilayah negara ini, kita harus merniliki kekuatan laut yang handal,” katanya.

Kepala Negera menyebutkan pula, BPPT yang didirikan tahun 1974bertujuan membuat perencanaan secara mikro untuk menjabarkan rencana yang disusun Bappenas. Ketika menyinggung pengembangan armada TNI-AL, Kepala Negara , mengatakan, Indonesia tidak mungkin hanya memiliki satu armada. Karena itu, pemerintah membentuk armada barat dan armada timur.

Pengembangan Pangkalan

“Konsekuensinya, kita harus membangun pangkalan-pangkalan. Saya telah memerintahkan BPPT untuk membuat rencana pembangunan pangkalan bagi armada­ armada itu,” kata Presiden.

Dikatakan, pembangunan kekuatan ABRI memang amat penting guna mengamankan hasil pembangunan, tapi perwira ABRI diminta menyesuaikan diri dengan prioritas pembangunan.

“Saya dukung pembangunan Pangkalan Utama TNI Teluk Ratai, yang harus disesuaikan dengan kemajuan negara,” kata Kepala Negara.

Para Perwira TNI-AL, khususnyaABRI harus menyesuaikan diri dengan prioritas pembangunan yaitu ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tambah Presiden yang didampingi Nyonya Tien Soeharto, Menhankam Edi Sudrajat, serta Menristek BJ Habibie selaku Ketua Tim Pengadaan Kapal (TPK) bekas Jerman Timur.

Berdasarkan Inpres 3/1992 tertanggal 3  September 1992, Presiden Soeharto memutuskan pembelian 39 kapal perang yang terdiri atas 16 korvet, 14 LST (landing ship tank) dan sembilan penyapu ranjau. Harga seluruh kapal itu adalah 482 juta dolar AS.

Kesempatan bertemu dengan para perwira ABRI ini juga dimanfaatkan oleh Kepala Negara untuk menjelaskan proses pembelian kapal-kapal perang itu, terutama setelah dilakukan pendekatan dengan Kanselir Jerman Helmut Kohl.

“Terus terang, informasi tentang kapal perang ini bukan didapat dari intel atau pejabat kita, melainkan dari pengusaha swasta kita,” kata Presiden pada acara yang juga dihadiri Menko Polkam Soesilo Soedarman, Mensesneg Moerdiono serta Pangab Jenderal Faisal Tanjung.

Setelah mendapat penjelasan dari pengusaha swasta itu bahwa mereka tidak akan mendapatkan komisi dari info yang mereka berikan, Kepala Negara kemudian minta Habibie untuk mencari informasi lebih mendalam dan terinci.

“Saya menyuruh Menristek, karena sudah dikenal baik oleh para pejabat dan pengusaha swasta Jerman. Dia mula-mula tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini. Karena itu penunjukan Menristek tidak perlu diributkan. Penunjukan itu bukan karena tidak percaya pada para perwira Hankam atau ABRI,” tegas Presiden.

Serah Terima Kapal

Setelah meresmikan dimulainya pembangunan Pangkalan Utama TNI-AL Teluk Ratai, Presiden yang didampingi Nyonya Tien naik ke KRI Teluk Banten, salah satu Kapal eks Jerman Timur itu. Di sana Kepala negara menyaksikan pelayaran (sailing pass) 23 kapal  TNI-AL. Kepala Negara kemudian menyaksikan upacara serah terima lima kapal dari Habibie kepada Menhankam Edi Sudradjat yang menyerahkannya lagi kepada Kasal Lakamana Tanto Kuswanto. Melalui Radio komunikasi di KRI Teluk Banten, Presiden kemudian menyampaikan perintah khusus kepada seluruh prajurit dan perwira TNI-AL.

“TNI-AL harus selalu siap siaga dan waspada. Setiap prajurit TNI-AL harus melaksanakan Pancasila, UUD 1945, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit,” kata Presiden melalui alat komunikasi yang dipancarkan ke seluruh kapal TNI,-AL di tanah air.

Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRl juga memerintahkan prajurit TNI-AL untuk memelihara seluruh senjata dan perlengkapan mereka. “TNI-AL harus menjaga kedaulatan dan wilayah negara ini,”kata kepala negara.

Sumber: MERDEKA ( 10/06/1994)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 539-541.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.