KE SARAJEVO, PANGGILAN TUGAS 

KE SARAJEVO, PANGGILAN TUGAS [1]

 

Jakarta, Suara Pembaruan

KUNJUNGAN Presiden Soeharto kali ini ke luar negeri agak berbeda dari berbagai lawatan sebelumnya. Lawatan Kepala Negara ke Denmark, Kroasia dan Bosnia-Herzegovina sekarang ini sekalipun sangat singkat namun mempunyai makna khusas. Sebab, sifat, suasana serta warna kunjungan ke negara yang satu dan ke negara lainnya, sangat berbeda. Kunjungan Presiden Soeharto ke Kopenhagen, Denmark dan Sarajevo,Bosnia-Herzegovina, misalnya, sekalipun intinya sama-sama bertujuan mewujudkan perdamaian, namun topik serta suasana yang meliputinya sangat kontras. Di Kopenhagen, Denmark, Presiden Soeharto yangjuga dalam kapasitas sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menghadiri dan berbicara mengenai pembangunan sosial dalarn suatu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselengarakan oleh PBB. Berarti membicarakan perdamaian yang berintikan keadilan, integrasi sosial, harkat dan martabat manusia, upaya memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan di dunia. Masalah perdamaian itu pun dibicarakan dalam suasana damai dan persahabatan yang akhirnya menghasilkan Deklarasi dan Program Aksi mengenai pembangunan sosial. TETAPI kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo yang menurut jadwal berlangsung sore ini (13/3), baik sebagai Kepala Negara RI maupun sebagai Ketua Gerakan Non Blok, sekalipun tujuannya juga menyangkut upaya perdamaian di antara pihak-pihak yang berperang, namun suasananya sangat berbeda karena langsung berada di medan pertempuran. Lebih-lebih lagi karena akhir-akhir ini diberitakan keadaan di Sarajevo sangat tidak menentu, sehingga tidak seorang pun bisa memperkirakan tidak terjadi tembak­ menembak. Bahkan sehari sebelum kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo, pesawat yang membawa utusan khusus PBB untuk bekas Yugoslavia, Yasushi Akashi terkena tembakan senapan mesin ringan. Insiden tersebut oleh Yusushi Akashi, disebut sebagai kejadian yang tak masuk akal. Danjuru bicara pasukan PBB, Letkol Gary Coward menyebut penembakan atas pesawat PBB itu sebagai kejadian terburuk sejak gencatan senjata disepakati oleh pihak-pihak berperang tanggal 1 Januari 1995.

ITULAH sebabnya dikatakan suasana kunjungan Kepala Negara ke Kopenhagen, Denmark dan ke Zagreb, Kroasia kemudian ke Sarajevo Bosnia­ Herzegovina sangat kontras. Suasananya yang kontras inilah yang mengundang berbagai komentar pengamat politik baik dari dalam maupun dari luar negeri bahwa kunjungan Presiden Soeharto ke bekas Yugoslavia yang bergolak itu sebagai langkah yang berani. Sebab, bulan Februari lalu Presiden Turki, Suleyman Demirel batal berkunjung ke Sarajevo karena pasukan PBB di sana tidak bisa menjamin keamanan. Justru dalam suasana yang kontras dan dalam keadaan yang menegangkan inilah kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo tersebut kita nilai sebagai wujud komitmen ban gsa Indonesia yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD-45 yang menegaskan, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu bagi kita kunjungan Kepala Negara ke Sarajevo yang tengah dilanda peperangan itu, merupakan peristiwa bersejarah sekaligus pengejawantahan amanat Alinea I Pembukaan UUD-45 yang menyatakan, penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, termasuk tentunya perang etnis yang sedang terjadi di Bosnia­ Herzegonvina.

ATAS dasar itulah, kita ingin menggarisbawahi sikap Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa lawatan kali ini baik ke Zagreb, Kroasia maupun ke Sarajevo, Bosnia-Herzegovina merupakan kehormatan dan panggilan tugas. Karena ketika PM Kroasia, Nikica Valentic berkunjung ke Jakarta bulan Januari lalu diharapkannya Indonesia bisa berperan lebih aktif dalam mencari perdamaian yang menyeluruh bagi bekas Yugoslavia yang sudah bergolak selama empat tahun.

Harapan PM Kroasia inilah antara lain yang mendorong Presiden Soeharto berkunjung ke Zagreb dan Sarajevo. Dengan kunjungan ini, Presiden Soeharto baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Ketua Gerakan Non Blok bisa menyaksikan langsung keadaan medan pertempuran yang meIanda Sarajevo. Sekalipun kunjungan ke Sarajevo tersebut sangat singkat, hanya sekitar empat jam, namun apa yang disaksikan, apa yang dialami, apa yang ditemukan serta pembicaraan dan masukan dari komandan pasukan PBB selama berkeliling di kota Sarajevo akan sangat besar manfaatnya bagi pengembangan serta peningkatan perundingan menyelumh bagi penyelesaian damai konflik Bosnia.

SEBAB seperti dikemukakan oleh Presiden Soeharto, konflik bersenjata di bekas Yugoslavia, Bosnia-Herzegovina merupakan keprihatinan yang dalam bagi Indonesia. Oleh karena itulahjuga sebagai Ketua Gerakan Non Blok akan terus-menerus mengupayakan langkah-langkah ke arah tercapainya perundingan yang menghasilkan penyelesaian menyeluruh atas masalah Bosnia-Herzegovina. Dengan demikian, malapetaka dan penderitaan yang menimpa rakyat Bosnia-Herzegovina selama empat tahun ini bisa diakhiri dan dengan demikian mereka berkesempatan membangun bangsa dan negaranya.

Kita mengharapkan, kunjungan Presiden Soeharto ke beberapa negara sekarang ini, khususnya ke Bosnia-Herzegovina yang intinya bermuatan perdamaian, memberi inspirasi kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan persoalannya melalui meja perundingan.

Sumber: SUARAPEMBARUAN (13/03/ 1995)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 122-124.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.