PERTEMUAN SOEHARTO- IZETBEGOVIC DI SARAJEVO INDONESIA BERSEDIA MENJADI FASILITATOR[1]
Zagreb, Suara Pembaruan
INDONESIA bersedia menjadi fasilitator untuk perundingan-perundingan secara langsung antara pihak-pihak yang bertikai, bagi penyelesaian secara darnai, langgeng dan menyeluruh Bosnia-Herzegovina yang telah berlangsung beberapa tahun.
Presiden Soeharto menyampaikan kesediaan Indonesia itu dalam pertemuan dengan Presiden Bosnia Herzegovina, Alija Izetbegovic dalam suatu pembicaraan di Sarajevo Senin (13/3) pukul 13.10waktu setempat (pukul 19.10 WIB) sebagaimana dijelaskan Menlu Ali Alatas kepada wartawan di Zagreb, Senin malam.
Menurut Alatas, setelah bertahun-tahun PBB mengeluarkan berbagai keputusan berupa resolusi ke arah penyelesaian dan setelah kelompok lima negara besar menyampaikan berbagai saran penyelesaian kenyataan menunjukkan krisis Bosnia masihjauh dari suatu penyelesaian. Peperangan masih berjalan terus, walaupun ada genjatan senjata itu pun masih merupakan tanda tanya.
“Jadi kita merasa terdorong tmtuk di samping menunjukkan dukungan kita yang selama ini telah secara konsisten kita berikan kepada Bosnia baik selaku negara tersendiri maupun selaku sesama negara anggota GNB dan OKI, kita merasa terpanggil sebagai suatu bangsa yang selalu dekat dan bersahabat dengan keseluruhan bangsa bekas Yugoslavia untuk memberikan sekadar sumbangan pemikiran terhadap penyelesaian yang menyeluruh dan langgeng serta adil,” kataAlatas, seperti dilaporkan wartawan Pembaruan, Mansyur Barus dari Zagreb Selasa (14/3) pagi.
Dikemukakan dalam setiap kesempatan baik pembicaraan dengan Presiden Kroasia maupun dengan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, Presiden Soeharto telah menyampaikan secara garis besar pemikiran Indonesia. Pertama, Indonesia percaya bahwa suatu proses perundingan ke arah suatu penyelesaian yang langgeng tapi juga yang menyeluruh itu memang sudah perlu dipikirkan dan hanya dapat menurut Indonesia dicapai kalau didasarkan atas premisa-premisa dasar tertentu dan didasarkan juga atas prinsip pokok tertentu
“Premis dasar pertama kita gali dari pengalaman kita menyumbangkan penyelesaian di wilayah kita sendiri, bahwa suatu penyelesaian langgeng hanya bisa tercapai kiranya jika penyelesaian itu dirundingkan secara langsung oleh pemimpin pemimpin pibak-pihak yang langsung bersangkutan. Jadi dalam hal inioleh pemimpin Bosnia Herzegovina, oleh pemimpin Makedonia, Kroasia, Serbia, Montenegro dan Slovenia sendiri.”
Orang-orang luar biasa membantu, patut mendukung, melicinkan, tetapi yang menentukan adalah perundingan langsung antara pemimpin pihak-pihak yang bertikai itu sendirijelasnya. Premis kedua adalah sudah tiba waktunya bahwajangan lagi melihat penyelesaian masalah bekas Yugoslavia inisecara sepotong-sepotong. Tapi patut kiranya kita mulai mengadakan suatu pendekatan yang integral yang menyeluruh yang memperhitungkan permasalahan yang menyangkut semua bekas wilayah Yugoslavia yang lama maupun menyangkut semua aspek dan dimensi permasalahan itu sendiri, tanpa melupakan apa yang didahulukan sebagai urgensi tentunya.” Kalau memang suatu genjatan senjata di Bosnia Herzegovina merupakan urgensi itu tidak boleh dilupakan. Tapi jangan berhenti di situ, tapi kita mencoba mencapai suatu penyelesaian menyeluruh,” ujarnya. Kemudian, kata Menlu ada beberapa prinsip pokok yang perlu dipertahankan dan perlu diterima baik semua pihak.
“Ini kita sampaikan juga kepada mereka. Pertama, tentunya prinsip umum seperti prinsip konperensi Bandung yaitu non intervensi, respek terhadap kedaulatan masing-masing dan sebagainya.Tetapijuga prinsip-prinsip yang lebih spesifik, rnisalnya sating pengakuan terhadap semua bagian wilayah bekas Yugoslavia dan penghormatan terhadap batas-batas negara yang diakui secara internasional.”
Kemudian masalah minoritas di masing-masing negara itujuga harus dihormati. Berdasarkan premisa-prernisa dasar itu menurut kita lalu pemimpin -pemimpin tersebut patut duduk terlebih dahulu antara mereka. Kita hanya memberi fasilitas.
Jadi kalau memang mereka terima ide-ide ini, Indonesia bersedia menjadi fasilitator bagi suatu pertemuan seperti itu, katanya. Seperti halnya terjadi juga sewaktu Indonesia mengundang pemimpin-pemin1pin Kamboja untuk duduk dalam suatu meja perundingan Indonesia juga, pada suatu ketika, setelah beberapa elemen penyelesaian itu mulai tercapai kesepakatan, maka perlu ditingkatkan ke tahap kedua yaitu menuju ke suatu konperensi intenasional. Misalnya mengikutsertakan ke lima negara anggota tetap PBB, negara-negara sekeliling negara bekas Yugoslavia itu, seperti halnya di Kamboja, ASEAN diikutsertakan. Kemudian negara-negara lain yang dapat memberi sumbangan terhadap penyelesaian itu diundang.”Jadi kita melihat proses ini dalam dua tahapan. Tahapan yang paling penting, tahap pertama adalah pertemuan antara pemimpin-pemimpin pihak-phak yang berselisih itu secara langsung. Ini semua disampaikan Presiden Soeharto dalam pembicaraan dengan Presiden Kroasia Franjo Tudjman demikian juga dalam pembicaraan pararel antar para menteri kedua negara. Hal yang sama juga disampaikan kepada PM Kroasia Nikica Valentic maupun Presiden Kroasia sebelum Presiden Soeharto berangkat ke Bosnia.
Karena hal ini baru merupakan suatu pemikiran, menurut Ali Alatas mereka mungkin memerlukan suatu renungan. Tentunya kita lihat nanti bagaimana nanti tanggapan mereka. “Yang ingin saya tekankan, Indonesia tidak mendesakkan diri dalam hal ini, kalau diterima baik syukur, kalau tidakkita akan terus mendukung apa yang kita lihat sebagai suatu hal yang benar dalam permasalahan ini. Kita akan terus mendukung Bosnia dalam usahanya untuk menghadapi ekspansionisme atau agresi yang dihadapi maupun apa yang disebut etnic cleansing.”
Mendukung
Indonesia juga akan mendukung usul-usul yang baik dari kelima negara anggota tetap PBB selama hal itu memang didukung pula oleh Bosnia. “Namun kalau mereka terima memang sudah saatnya kitajuga memikirkan masalah ini secara menyeluruh, Indonesia bersedia menjadi fasilitator bukan mediator. Saya ulangi, kita tidak berambisi menjadi mediator, kita hanya ingin memberi kaji kesempatan bagi pemimpin-pemimpin yang bertikai ini ingin menciptakan kondisi yang dapat melicinkan karena perundingan itu,” tegas Ali Alatas. Menlu juga menekankan bahwa di samping prinsip seperti pengakuan terhadap kedaulatan masing-masing dan batas-batas juga harus diperhatikan segala sesuatu yang dicapai dalam bentuk resolusi PBB maupun segala sesuatu yang sudah di atas meja sebagai usul-usul penyelesaian sebelumnya. Jadi itu akan diperhatikan. Ketika ditanya, apakah menjadi fasilitator berarti akan menjadi tuan rumah penmdingan? Menlu mengatakan, Indonesia akan bersedia juga untuk itu. “Kalau tidak praktis diadakan di Indonesia tetapi fasilitas lain seperti keliling membicarakan dengan semua pihak kita akan lakukan. Yang penting semua pihak tentunya harus menyetujui peranan tersebut,” ujarnya.
Mengenai jawaban Presiden Bosnia terhadap usul Indonesia itu, Ali Alatas mengatakan secara umum mereka tentunya menghargai pemikiran yang tulus ihklas dari Indonesia. Mereka juga menyampaikan terima kasih atas sikap tegas Indonesia selalu mendukung posisi Bosnia-Herzegovina, tetapi jelas bagi mereka ada beberapa prinsip yang menjadi conditio sine qua non bagi mereka antara lain mereka sangat mendambakan bahwa masalah saling pengakuan kedaulatan masing-masing, pengakuan oleh Serbia-Montenegro terhadap Bosnia itu merupakan suatu hal yang dianggapnya sangat penting.
Apakah usul inijuga akan disampaikan kepada semua pihak yang bertikai, tanya wartawan lagi. Ali Alatas mengatakan Indonesia tentu bennaksud untuk menyampaikan semua ini kepada yang lain-lain yang berkepentingan. Bukannya kita hanya melemparkan ide-ide ini kepada sebagian yang bertikai. Tapi pada waktunya nanti kita juga akan mencari satu kesempatan untuk melakukan hal itu. Mengenai kunjungan singkat ke Sarajevo itu sendiri dijelaskan secara substansif kunjungan tersebut cukup berhasil. Kunjungan ke Bosnia-Herzegovina ini secara formal dapat dilukiskan sebagai suatu kunjungan balasan Presiden Soeharto atas kunjungan Presiden Bosnia beberapa waktu yang lalu ke Indonesia. “Namun di samping itu tentunya ada makna yang lebih besar mengenai kunjungan ini, yaitu bahwa dengan kunjungan inikita hendak menunjukkan keprihatinan kita danjuga solidaritas kita dengan rakyat Bosnia-Herzegovina , sedangkan timing kunjungan inijuga dirasakan sungguh tepat karena pada dewasa ini perkembangan terakhir di Bosnia Herzegovina maupun di Kroasia sendiri menunjukkan kegawatan yang cukup memprihatinkan. ”
Kendaraan Lapis Baja
Presiden Soeharto, Senin pukul l2.36 waktu Sarajevo, tiba di Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegevina, Antara melaporkan. Pada saat ia turun dari pesawat Jak 40 milik PBB, sekitar 40 tentara pasukan UNPROFOR membentuk barisan, “pagar betis” untuk mengawasi situasi keamanan di sekitar Bandara Sarajevo itu. Utusan Khusus Sekjen PBB Yasushi Ak:ashi menyambut Presiden Soeharto di tangga pesawat dan kemudian mengaj aknya memasuki sebuah ruangan di terminal untuk memberikan penjelasan tentang perkembangan terakhir di negara bekas Yugoslavia ini. Presiden kemudian meninggalkan bandara dengan menggunakan kendaraan lapis baja pengangkut pasukan (Armoured Personnel Carrier- APC) milik UNPROFOR. Mensesneg Moerdiono, Menlu Ali Alatas, Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung serta Kepala Badan Pelaksana GNB Nana Sutresna menggunakan mobil serupa menuju Istana Presiden dalam perjalanan selama 25 menit. Pengamanan di bandara serta di sepanjang jalan yang dilalui Kepala Negara sangat ketat. Rombongan presiden ini diawali oleh sebuah panser kecil berwama putih milik UNPROFOR. Setelah makan siang; Presiden Soeharto berkeliling kota Sarajevo dengan menggunakan APC , dan selanjutnya menuju Bandara Sarajevo kernbali ke Zagreb.
Sumber: SUARA PEMBARUAN (14/03/1995)
________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 157-160.