PRESIDEN SOEHARTO: YANG CEKER-CEKERAN BELUM BISA LAKSANAKAN DEMOKRASI PANCASILA 

PRESIDEN SOEHARTO: YANG CEKER-CEKERAN BELUM BISA LAKSANAKAN DEMOKRASI PANCASILA [1]

Jakarta, Republika

Organisasi yang terus menerus ceker-cekeran (ricuh-Red), menurut Presiden Soeharto, bisa diartikan belum bisa melaksanakan Demokrasi Pancasila. “Karena goIongan itu masih mempertahankan secara mutlak kepentingan masing-Masing, apalagi goIongan itu kecil,”kata Kepala Negara. Kepada remaja yang tergabung dalam pasukan utama Kirab Remaja Nasional di Balai Sidang Jakarta, Presiden kemarin rnenasihati agar mereka mengetahui dan melaksanakan Tridarma dan Pancasila serta Mengenal jati diri mereka.

Jika itu bisa di Laksanakan, kata Presiden, demokrasi yang ingin kita tegakkan, yakni musyawarah mufakat, pasti akan bisa kita laksanakan. “Karena mufakat didukung oleh pengorbanan dari mereka yang pendapatnya lebih kecil daripada yang pendapatnya lebih besar,” sambung Kepala Negara saat Temu Wicara dengan peserta Kirab Remaja Nasional itu.

Karena itulah, menurut Kepala Negara, jika sekarang masih ada organisasi yang kemudian terus ceker-cekeran, itu berarti belum bisa melaksanakan demokrasi Pancasila. “Berarti, ada goIongan yang masih mempertahankan secara mutlak kepentingannya masing-masing. Apalagi goIongan itu kecil,” kata Kepala Negara.

Presiden tak menyebut nama organisasi yang terus ceker-cekeran itu. Yang jelas, menurut Presiden, adanya ceker-cekeran itu dengan sendirinya merupakan satu ukuran, bahwa mereka belum benar-benar melaksanakan Pancasila. “Hanya menerima Pancasila tetapi penghayatan pengamalan Pancasila belum bisa dilaksanakan,” ujar Presiden. Demokrasi yang ingin diterapkan di Indonesia, kata Kepala Negara, bukanlah “satu tambah satu”. Tapi, demokrasi Pancasila yang berdasarkan mufakat, Presiden tak menolak voting atau pemungutan suara. “Kalau memang perlu, kita harus voting dengan ukuran separuh tambah satu,”ucap Presiden. Tapi, lanjut Presiden cita-citanya harus tetap menerapkan musyawarah mufakat. Hanya saja, kata Presiden, andai kata benar-benar menghayati dan melaksanakan Demokrasi Pancasila, maka sebenarnya tidak perlu voting. Presiden tetap menyarankan agar suatu masalah diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, kalau perlu adu argumentasi. “Mana argumentasi yang paling baik dan menguntungkan bangsa kita, itulah yang dibenarkan,” kata Presiden. Saat itu, tambah Kepala Negara harus ada yang mengorbankan dirinya untuk dapat menyetujui pendapat yang besar. Mengutip ucapan pahlawan Pangeran Samber Nyowo dari Solo, Presiden menasihati para remaja agar melaksanakan apa yang disebut “Tridarma”, yaitu merasa memiliki negara, merasa wajib membela, dan selalu mawas diri. Dalam bahasa Jawa: “Rumongso handarbeni, wajib hangrungkebi, mulat sariro hangrosawani.” Inilah Tridarma, salah satu falsafah pembelaan terhadap negara dan bangsa, yang harus dimiliki para remaja ,”kata Presiden. Bahkan, kata Presiden, Pangeran Sambemyowo juga mengatakan, “Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.”Artinya, jika sampai seorang harus menjadi korban, maka yang lain pun harus sanggup menjadi korban. Kalau berhasil, menjadi mukti, maka keseluruhannya, harus ikut mukti. “Tidak hanya mukti pemimpinnya saja, tapi semuanya harus mukti, turut menikmati hasilnya,”kata Presiden. Presiden juga mengajak para remaja untuk mampu mengendalikan diri dan menyadari benar-benar sifat kodratinya. “Karena sampai mati, mulai lahir sampai mati, hidup manusia tergantung pada orang lain,”kata Presiden. Setelah mati pun, tambah Kepala Negara, manusia membutuhkan orang lain untuk dimandikan dan dikubur.

Sumber: REPUBLIKA (22/08/1995)

_________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 256-257.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.