PRESIDEN KEPADA PARA PENGUSAHA BESAR HINDARI KESAN SERAKAH 

PRESIDEN KEPADA PARA PENGUSAHA BESAR HINDARI KESAN SERAKAH  [1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menekankan perlunya mengembangkan kemitraan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil yang didasarkan pada kerelaan untuk mengembangkan pengusaha kecil. Langkah ini penting untuk meningkatkan pemerataan usaha dan menghindari kesan keserakahan dan monopoli pengusaha besar. Selain itu juga supaya salah satu pihak tidak dipleroki (melirik dengan rasa tidak senang Red) bahkan dimaki pihak lain. Kepala Negara menegaskan hal itu usai mencanangkan Gerakan Keluarga Sejahtera Sadar Menabung didampingi Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Haryono Suyono di Bina Graha, Jakarta, Senin (2/10).

Acara dilanjutkan dengan penandatariganan perjanjian kerja sama antara Kantor Menteri Negara Kependudukan /BKKBN dengan  para pengusaha nasional (Kelompok Deklarasi Bali) tentang dukungan program nasional pengentasan kemiskinan  sejahtera. Penandatanganan itu dilakukan oleh Haryono Suyono sebagai pihak pertama dengan pengusaha Sudwikatmono, Soedono Salim dan Bambang Trihatmodjo sebagai pihak kedua. Selain mereka, hadir pula pengusaha atau konglomerat SofYan Wanandi, Aburizal Bakrie, Eka Tjipta Widjaja, William Suryajaya, Joso Abdullah dan Dirut BNI Winarto Sumarto.

Sebelum berbicara langsung dan spontan tanpa teks, Presiden terlebih dulu berpesan kepada para konglomerat akan pentingnya menabung. Untuk itu, Kepala Negara membacakan sebait puisi hasil goresan tangannya sendiri. Tepuk tangan riuh menggema di seluruh ruangan Bina Graha begitu Kepala Negara selesai membacakan puisinya.

Problem Tersendiri

Kepala Negara mengingatkan kesenjangan tidak hanya tetjadi antara kaya-miskin, melainkan juga antara pengusaha besar, menengah dan kecil. “Ini problem sendiri yang harus ditangani,” kata Kepala Negara. Karena itu, Presiden menekankan pentingnya kemitraan atau kesadaran bersama untuk saling membantu, seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 33.

Ditegaskan usaha bersama dan kekeluargaan berarti jiwa saling menghidupi, bukan saling mematikan karena tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila. Penjabaran masalah itu, pengusaha besar selayaknya membantu pengusaha kecil. Penerapan persaingan sehat yang tidak saling mematikan atau kemitraan, Ianjut Presiden harus didasarkan pada kerelaan, usaha bersama saling membantu dan tidak sating mematikan.” Menggunakan aji mumpung, mumpung mempunyai kekuatan terus semua digunakan ini bertentangan dengan falsafah Pancasila, “tegas Kepala Negara. Menurut Kepala Negara   kesenjangan antara pengusaha besar dan kecil mencakup perluasan yang bersifat horisontal dan vertikal. Sifat horisontal misalnya, pemerataan dibidan g ekspor- impor. Presiden melihat banyak pengusaha besar yang bisa memanfaatkan peluang tersebut hingga benar-benar menguasai pasar dalam dan luar negeri.

Keadaan itu, kata Kepala Negara menimbulkan kecemburuan. Karena itu sudah saatnya pengusaha besar membuka diri tidak tinggal diam dan memberi kesempatan pengusaha kecil m enengah melakukan hal yang sama. Di antaranya bisa dilakukan dengan membantu dan membirnbing secara teknis.

“Jangan kemudian, segala pengalaman dirahasiakan agar mereka tidak berkembang. Tetapi, dibimbing dan diarahkan, supaya mereka bisa menjadi besar juga. Kalau sekarang ini individu tidak bisa, ya dianjurkan membentuk konsorsium patungan dari yang menengah itu,” lanjut Presiden.

“Misalnya semen, kalau masih membutuhkan pabrik semen, ya silakan. Lantas sekarang usaha lain. Misalnya, pabrik kaca, ya silakan. Bukan lantas sekarang pabrik kaca sudah besar, pasarannya bagus, tangani saja sendiri. Nanti dipleroki yang pingin (ingin -Red),” kata Kepala Negara.

“Dengan demikian secara positif yang tahu, seperti pabrik kaca itu maunya monopoli, ini perlu dijewer! Jangan begitu. Silakan yang lain, yang menengah atau yang kecil. Jangan merasa disaingi, tapi kita perlakukan kemitraannya itu, supaya pasaran dalam negeri dan luar negeri bisa diatasi bersama,” kata Kepala Negara.

Presiden mengakui, upaya itu tidak mudah dilaksanakan. ”Tapi mutlak harus diatur kalau tidak mau terus menerus dipleroki saja. Bahkan tidak hanya dzpleroki tapijuga dimaki-maki,” tegas Kepala Negara.

Hindarkan  Penguasaan

Secara vertikal, Kepala Negara menekankan perlunya pengusaha besar membimbing, bahkan bila perlu membantu di bidang permodalan, teknis, atau manajemen, untuk memperlancar sektor industri hulu, menengah dan hilir. Langkah itu akan lebih baik bila didukung dengan kernitraan dan kerelaan industri hilir yang didirikan perusahaan pemasok, kemudian melimpahkan kepada perusahaan lain. Diharapkan, langkah ini bisa menghindarkan penguasaan satu perusahaan terhadap industri hulu, menengah, dan hilir atau yang juga sering disebut sebagai monopoli. Sedang untuk industri yang belum didirikan, Kepala Negara mempersilakan mendirikan guna memenuhi kebutuhan tersebut. “Dengan demikian yang besar tidak serakah. Tidak terus menguasai dari perusahaan yang telah dimilikinya. Beri kesempatan kepada yang lain,” kata Presiden. Ditekankan, pemerataan dalam hal kepemilikan tidak hanya menyangkut saham, melainkan kernitraan dalam usaha. Diakui, semuanya memang tergantung pada kerelaan masing-masing perusahaan. Dalam hal, pemerintah berkewajiban mengarahkan. Untuk itu, Presiden menugaskan Menko Indag agar menjelaskan kepada para pengusaha besar tentang hal-hal yang bisa dikembangkan dengan pengusaha kecil secara horisontal maupun vertikal. “Kalau ini benar-benar dilaksanakan, saya kira tidak akan ada lagi tudingan kalau pengusaha besar itu mau menangnya sendiri,”kata Kepala Negara.

Soal IDT

Presiden sekali lagi mengingatkan program pelaksanaan Inpres Desa Tertinggal (IDT) guna mengatasi kemiskinan yang masih diderita oleh sekitar 26 juta rakyat Indonesia. Jumlah desa tertinggal saat initercatat 20.633, mencakup sekitar 13,8 juta jiwa.

Upaya pemerintah untuk membantu disalurkan lewat dana IDT sebesar Rp 20juta per tahun per desa selama tiga tahun. Untuk itu disediakan dana Rp 412 milyar per tahun. Namun, pemerintah pun harus tetap membantu warga desa yang tidak termasuk dalam IDT atau non-IDT yang mencapai 12,2 juta atau sekitar 2.750.000 kepala keluarga (KK). Walau pemerintah menyadari, untuk makan saja sulit, namun mereka tetap diarahkan untuk menabung denganjumlah setoran minimal Rp 2.000 per orang, berdasarkan ketentuan Tabungan Keluarga Sejahtera. Berdasarkan ketentuan itu, setiap tabungan Rp 2.000, mereka berhak mendapat pinjaman Rp 20.000.

“Jika setiap keluarga perlu disediakan dana Rp 2.000, maka diperlukan dana Rp 5,5 milyar. Sedang untuk pinjaman Rp 20.000, kita harus menyediakan dana Rp 55 milyar. Jumlah ini cukup besar,” kata Kepala Negara.

Kepala Negara menyampaikan penghargaannya kepada para pengusaha yang telah bersedia membantu program tersebut. “Wujud bantuan itu adalah dengan memberikan tabungan sebesar Rp 2.000 untuk satu keluarga. Dukungan ini saya harapkan menjadi pemicu dan pemacu kebiasaan menabung,” kata Kepala Negara dalam pidato tertulisnya.

Penting Sekali

Menanggapi usulan Kepala Negara, Dirut BNI 46 Winarto Sumarto mengatakan, dari sektor perbankan tidak ada kesulitan melaksanakan keinginan tersebut. Ia mengaku bersikap pragmatis dalam memandang kemitraan antara pengusaha besar, menengah, dan kecil. Sofyan Wanandi menambahkan, gagasan Kepala Negara untuk mengumpulkan dana secara suka rela dari pemsahaan maupun pribadi setelah dipotong pajak mempakan ide yang baru didengarnya hari ini. “Usul Presiden itu akan kita bicarakan lagi di antara kita, bagaimana pelaksanaan atau teknisnya,” ujarnyya. Ia pun menegaskan, bisa melaksanakan kemitraan antara pengusaha besar, menengah, dan kecil. “Kalau berat  ya memang berat. Kalau kita bisa bersama-sama,Pemerintah juga dalam policy -nya. Ini kan juga dasar dari usaha bersama. Saya rasa tidak apa-apa, bisa kok. Ini kan cuma pembagian tugas saja. Bagaimana yang besar, kecil, dan menengah bisa bekerja sama untuk tujuan-tujuan ekonomi yang kita ingin,” kata Sofyan Wanandi.

Sumber: KOMPAS (03/10/1995)

______________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 402-406.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.