PRESIDEN: JANGAN MEMAKSAKAN KEHENDAK SENDIRI[1]
Jakarta, Suara Karya
Presiden Soeharto mengatakan ditengah-tengah masyarakat yang majemu.k ,umat Islam harus pandai-pandai melakukan segala sesuatunya secara wajar dan pada tempatnya, serta tidak boleh memaksakan kehendak sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. “Umat Islam hendaknya memiliki kedewasaan da1am beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bemegara,” pesan Kepala Negara pada peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW Tahun 1416 H/1995 M di Masjid Istiqlal, Karena itu, kata Presiden, pada acara yang dihadiri Wapres Try Sutrisno, Menteri Agama ad interim Saadilah Mursjid dan petinggi lainnya, sejak memproklamirkan kemerdekaan, para pendahulu bangsa Indonesia telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Ditegaskan, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara ajaran ajaran Islam yang bersifatuniversal dengan Pancasila sebagai dasar-negara. Pancasila, lanjut Kepala Negara, merupakan landasan hidup bersama bangsa Indonesia dalam bennasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat diterima dan disepakati oleh semua golongan dan kelompok masyarakat yang majemuk. Dengan kata lain, Pancasila dapat mempersatukan bangsa yang diwarnai oleh keragaman suku bangsa, agama, budaya, bahasa dan adat istiadat yang berbeda.
Ajaran agama Islam, menurut Presiden , terus menerus dapat memberi nilai-nilai kehidupan dan motivasi dalam membangun bangsa. Karena itu, usaha untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama perlu terus ditingkatkan. Pada kesempatan itu, Presiden mengajak hadirin untuk menengok kembali perjalanan sejarah bangsa. Tidak sedikit peristiwa yang nyaris memporak-porandakan persatuan dan kesatuan. “Alhamdulillah, berkat lindungan dan pemeliharaan Allah SWT, kita berhasil mengatasi berbagai situasi yang nyaris sangat kritis,” ujar Presiden.
Cepat Berpuas Diri
Sebagai bangsa yang beragama, keberhasilan mengatasi berbagai kemelut itu, ucap Presiden, tidak membuat lupa diri. “Tuhan Yang Maha Mengetahui menguji kita baik dalam keberhasilan maupun dalam kesulitan. Karena itu setiap keberhasilan justru mendorong kita untuk lebih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang,” ujarnya.
Rasa syukur itu diwujudkan dalam usaha memelihara keberhasilan yang telah dicapai selama ini dan berusaha meraih keberhasilan baru di masa-masa selanjutnya. Menghayati rasa syukur itu, lanjut Presiden, sangatlah penting untuk mencegah orang menjadi cepat berpuas diri dan ingin menikmati basil secepatnya. Presiden menjelaskan pembangunan adalah usaha untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pembangunan adalah usaha mewariskan kehidupan yang lebih maju bagi generasi sesudalmya. Karena itu, masyarakat diminta, tidak boleh terjerat oleh sikap ingin menikmati hasil secepat-cepatnya dan sepuas-puasnya. Perjuangan untuk membangun bangsa adalah perjalanan yang sangat panjang, suatu proses sambung menyambung tanpa henti-hentinya.
Presiden menguraikan, kisah Isra Mi ‘raj memberi banyak pelajaran. Pembedahan dan penyucian diri Nabi dan pengisian iman, ilmu dan hikmah sebelum memulai perjalanan Isra Mi’raj dirasakan sebagai pelajaran bahwa setiap perjuangan untuk mencapai cita-cita besar harus bermula dari kebersihan niat. Niat yang bersih adalah bahwa berjuang untuk tujuan luhur,untuk kepentingan dan kemajuan bersama. Peristiwa Isra Mi’raj dialami oleh Nabi Muhammad SAW menjelang melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Tahun-tahun menjelang peristiwa hijrah itu dalam sejarah Islam dikenal sebagai tahun kesedihan., Pada tahun-tahun itu wafatlah orang-orang yang sangat dicintai Nabi. Usaha usaha Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah dakwah juga belum banyak membuahkan hasil. Sebaliknya pada tahun-tahun itu, Nabi menghadapi tantangan dan ancaman yang makin besar dari masyarakat Jahiliyah. Dalam situasi yang berat itu, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa Isra Mi’raj yang menakjubkan. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk melaksanakan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Dari sini Nabi dimi’rajkan ke Shidratul Muntaha. Dari peristiwa Isra Mi’raj menurut Presiden, diperoleh hikmah yang besar. Hikmah itu adalah bahwa dalam menghadapi ujian-ujian berat, kita harus yakin akan pertolongan Tuhan Yang MahaEsa.
Isu SARA
Sementara itu dalam uraian Isra Mi’raj Ketua Umum Muhammadiyah Dr Amien Rais mengirnbau masyarakat luas untuk memperhatikan perkembangan yang cukup memprihatinkan yakni kegaduhan dan letupan massa yang dipicu oleh SARA. Negara Indonesia yang majemuk tentu sedikit banyak rawan dan rentan terhadap isu SARA. Beberapa peristiwa akhir-akhir ini telah membuktikan hal itu. Banyak negara yang multi etnik, bahasa,ras,agama dan multi tradisi telah mengalami disintegrasi atau sedang dilanda kemelut, karena terjebak oleh konflik agama, konflik kesukuan atau konflik rasial. Beberapa negara di Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, bahkan di beberapa bagian Amerika Utara merupakan sebagian contoh negara yang dihadapkan pada masalah pelik gara-gara isu SARA yang cenderung lepas kendali. Hasil-hasil pembangunan nasional yang telah dicapai dengan susah payah, ujar Amien Rais, bisa mandek, bahkan mengalami kemunduran bila kita semua tidak pandai menahan diri dari letupan-letupan yang diakibatkan oleh masalah yang bersumber dari SARA. “Saya yakin bahwa mereka yang tidak begitu suka pada Republik kita selalu berusaha menggoyahkan dengan menimbulkan isu-isu SARA secara tidak bertanggungjawab ,”katanya. Oleh karena itu, lanjutnya, semua pihak perlu meyakini bahwa hanya dengan disiplin mengendalikan diri akan dapat mengatasi merebaknya persoalan-persoalan yang dipicu oleh perbedaan dan pertentangan SARA Dengan disiplin sebagairnana diajarkan ibadah shalat,katanya, “InsyaAllah kita akan menjadi bangsa yang tangguh guna mengatasi berbagai permasalahan yang di masa sekarang dan masa depan mungkin muncul dan bersumber pada isu SARA”.
Sumber :SUARAKARYA(21 / 12/1995)
_________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 560-563.