PANGAN MASALAH NASIONAL DAN PENTING :
PRESIDEN : JANGAN TERLAMBAT ANTISIPASI KEMARAU PANJANG[1]
Jakarta, Merdeka
Presiden Soeharto mengingatkan bahwa pangan adalah masa lah nasional dan penting sebagaimana papan, sandang dan sebagainya, sehingga jangan dianggap masalah ringan.
“Jangan sampai timbul pendadakan, jangan sampai terulang kejadian tahun lalu, kita terlambat dalam mengantisipasi musim kemarau panjang.” kata Kepala Badan Urusan Logistik Beddu Amang mengutip penegasan Presiden Soeharto setelah bersama Mensesneg Moerdiono melapor di Jalan Cendana, Jakarta, Rabu (28/6).
Beddu selanjutnya mengatakan, meskipun ada kritikan-kritikan supaya masalah penyediaan dan pemasaran pangan dibebaskan dan jangan ditangani oleh Bulog, tapi kita tetap konsisten melaksanakan pasal 33 UUD 1945 yaitu untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Pada kesempatan itu dia juga melaporkan bahwa persediaan beras sebanyak 1,2 juta ton, sedangkan pengadaan oleh Bulog sampai sekarang berjumlah 683 ribu ton. Jumlah ini memang relatif rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut akan terus bertambah dengan produksi gadu mendatang.
Di samping itu, pengadaan masih terus berjalan serta stok masyarakat bertambah pula. Diharapkan pula panen tahun ini akan lebih baik dibanding tahun lalu.
Tentang gula pasir, diakuinya bahwa produksi memang menurun 0,89 persen. Namun dengan selesainya pembangunan beberapa pabrik di Lampung diharapkan bisa meningkatkan lagi produksi.
Mensesneg Moerdiono mengatakan bahwa dalam pertemuan dengan Presiden juga dibahas masalah pelaksanaan Supra Insus, yaitu cara penggarapan sebidang lahan oleh beberapa kelompok tani.
“Presiden merencanakan rnemanggil para bupati yang daerahnya ikut serta dalam program Supra Insus guna rnembahas peningkatan penggunaan urea tablet (UT).” katanya.
Disebutkan, penggunaan UT perlu semakin dimasyarakatkan karena bisa meningkatkan produksi pangan dan menghemat pupuk. Penghematan bisa terlaksana karena UT ditanarn dan tidak disebarkan seperti pupuk curah biasa.
Bungkil Kedele
Menyinggung tentang bungkil kedele, Moerdiono mengatakan bahwa Presiden memutuskan untuk meningkatkan impor bungkil kedele yang merupakan salah satu unsur penting bagi pembuatan pakan guna menekan harga.
Disebutkan, jika dahulu perbandingan (ratio) penyerapan produksi dalam negeri dengan irnpor adalah 30:70, sekarang diubah menjadi 20:80.
Dikatakan, dengan diubahnya ratio itu, memungkinkan impor bungkil kedele-lebih banyak, sehingga diharapkan pabrik pakan bisa mengurangi harga jual.
“Keputusan ini diambil Presiden untuk rnenekan harga pakan, sehingga diharapkan bisa mendorong peningkatan produksi ayam pedaging dan ayam petelur guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.” kata Moerdiono.
Sementara Kabulog menambahkan bahwa kebutuhan bungkil kedele pabrik pakan ternak adalah 400.000-500.000 ton pertahun. Adapun produksi dalam negeri baru sekitar 150.000 ton, sehingga impor bahan ini jauh di atas hasil dalam negeri.
Ketika ditanya besarnya penurunan harga pakan sebagai akibat dari ditingkatkannya impor itu, dia belum bisa menyebutkannya.
“Saya masih harus menghitungnya dahulu karena pembuatan pakan menggunakan berbagai komponen selain bungkil kelapa seperti jagung yang mencapai 53 persen. Bungkil itu sendiri 20 persen, serta tepung ikan dan mineral.” katanya.
Disebutkan, harga bungkil dalam negeri adalah Rp.650 per kg jauh di atas harga impor yang hanya berkisar Rp.560-Rp.570 per kg. Ratio pada tahun 1993 adalah 40:60, sedangkan tahun lalu diubah menjadi 30:70.
Minyak Sawit
Tentang minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO), Kepala Bulog melaporkan, berdasarkan hasil rapat bersama antara instansi terkait, disepakati agar swasta berperan untuk menjaga stabilisasi harga di samping PTP.
Disepakati 75.000 ton CPO atau sekitar sepertiga dari kebutuhan dalam negeri disediakan sebagai stok penyangga. Ini berarti, PTP masih terus melaksanakan penjualan penyaluran dalam negeri.
Dalam kaitan ini instrumen-instrumen yang akan digunakah meliputi pajak ekspor, stok penyangga untuk operasi pasar dan jika diperlukan akan impor olefin.
Presiden mengharapkan, agar hal itu benar-benar dilaksanakan sebab keinginan berpartisipasi dari swasta masih memerlukan waktu. Mereka masih perlu pula membicarakan dengan direksi, para pemegang saham, apalagi diantara perusahaan itu ada perusahaan asing.
Sumber : MERDEKA (29/06/1995)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 645-647.