Melawat ke Asia Tengah (Bagian II) : GULYA DAN MASA SILAM ISLAM

Melawat ke Asia Tengah (Bagian II) :

GULYA DAN MASA SILAM ISLAM[1]

Jakarta, Republika

Pada 31 Maret-13 April lalu, di samping mengunjungi Republik Federal Jerman, Presiden Soeharto melakukan lawatan ke tiga negara di Asia Tengah : yakni Kazakstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Wartawan Republika Hersubeno Arief yang ikut dalam rombongan menuliskan beberapa catatannya tentang negara-negara di Asia Tengah.

Namanya Gulmira Suleymen, panggilannya Gulya. Umur 21 tahun. Selain mengajar kursus bahasa Inggris, statusnya adalah mahasiswi jurasan bahasa-bahasa dunia, Universitas Negara Kazakstan. Jangan tanya apa agama gadis dengan rambut yang dipotong pendek ini. Ia akan bingung apalagi kalau Anda sok tahu dan menduga ia pasti beragama Islam bila dilihat dari namanya. Anda pasti keliru.

Gulya yang juga sedikit menguasai bahasa Jerman boleh dibilang mewakili hampir sebagian besar generasi muda di kawasan Asia Tengah. Meskipun bila dirunut ke atas ia mempunyai kakek yang beragama Islam, namun baginya agama adalah suatu yang jauh di awang-awang.

Perjumpaan saya dengan Gulya di Almaty, Sharaf dan Shavkat dua orang mahasiswa yang sedang praktek kerja di Tashkent dan juga Asliddin mahasiswa dari Samarkand, membuat  saya ragu menjawab pertanyaan  seorang kawan, apakah mungkin bakal terjadi kebangkitan Islam di kawasan Asia Tengah itu.

Sebagian besar kita di Indonesia sudah sejak kecil mendengar cerita tentang zaman keemasan dan kebesaran Islam yang muncul di kawasan ini. Kota Samarkand dan Bukhara sudah dikenal sebagai pusat peradaban dan pemikiran Islam. Tapi masihkah cerita masa lalu itu relevan dengan kondisi sekarang?

Samarkand kini tetap menjadi kota pelajarnya Uzbekistan. Dari sebanyak 500 ribu orang penduduknya 60 ribu di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa. Di kota yang berusia 2.500 tahun-seumur dengan kota Babilonia itu terdapat 5 sekolah tinggi dan sebuah universitas, namun tak satu pun yang mengkaji masalah agama.

Agama betul-betul merupakan masa lampau, meskipun jejaknya yang ratusan tahun masih tertoreh pada bangunan-bangunan kuno, berbagai barang peninggalan yang juga kuno dan nama-nama mereka yang kini telah beraksentuasi Rusia.

Sejak kaum komunis mengambil alih jazirah ini, berbagai tindakan sistematis untuk menghapuskan kehidupan beragama dilancarkan. Ini bisa tercermin dari konstitusi Uni Soviet yang menjamin kebebasan kehidupan bcragama, tapi sekaligus juga menjamin kebebasan propaganda anti agama. Konstitusi yang paradoksal ini sudah bisa diduga dalam praktek titik beratnya lebih pada kalimat yang kedua.

 

Tak lama setelah Revolusi 1917 yang dimenangkan oleh kaum Bolshevik di Rusia, kaum komunis mulai merambah kawasan ini. Di Kazakstan mereka pertama kali masuk tahun 1920 dengan menjalin kerja sama dengan Alas Orda sebuah partai nasionalis Kazaks yang di dirikan tahun 1905 dan pada bulan Agustus Kazakstan menjadi daerah swatantra dari Soviet.

Uzbekistan menjadi bagian dari Soviet tahun 1924. Tahun yang sama Tajikistan menjadi daerah otonorni Soviet sebagai bagian dari Republik Soviet Sosialis Uzbek. Tahun berikutnya Turkmenistan menjadi daerah otonom Soviet setelah sebelumnya sejak tahun 1918 menjadi bagian dari Republik Turkestan. Sedang Kirgistan sama seperti Turkmenistan yang menjadi bagian dari otonomi Turkestan sejak tahun 1918, maka pada tahun 1926 menjadi bagian dari otonomi Soviet.

Berbagai langkah untuk menghapuskan jejak-jejak islam di mulai. Seperti halnya penguasa  Rusia putih untuk membedakan dengan tentara merahnya komunis yang sebelumnya juga menguasai wilayah ini, kaum Bolshevik memigrasikan secara besar-besaran etnis Rusia. Kemudian huruf Arab digantikan dengan huruf Latin dan kemudian lagi digantikan oleh huruf Karilitsa (syrilik). Makanya tak heran jika kini banyak generasi mudanya kesulitan untuk membaca huruf Latin. Mereka lebih pandai membaca bumi  terbalik  itu yang bagi kita cukup membi ngungkan.

Berbagai tempat ibadah juga berubah fungsi. Demikian pula halnya dengan sekolah dan beberapa perguruan tinggi keagamaan. Registan Square sebuah bangunan indah yang terdiri atas tiga bagian dan kini menjadi simbol kota Samarkand menjadi salah satu saksi kampanye yang dimuilai pada masa Stalin ini.

Dahulunya di komplek bangunan yang berarsitektur unik ini terdapat tiga buah madrasah, yaitu madrasah Ulughbeg yang diambil dari nama seorang astronom terkenal setempat yang dibangun pada tahun 14-17-1420. Madrasah kedua adalah madrasah Sher Dor yang dibangun tahun 1619-1636 dan kemudian madrasah Tillya-Kari yang dibangun lahun 1646-1660. Di komplek ini tadinya juga terdapat sebuah masjid.

Kini bangunan itu tinggallah menjadi sebuah monumen. Para turis mengunjungi dan halamannya dijadikan semacam teater terbuka dengan ratusan tempat duduk yang sambungan disusun memanjang dan bertingkat. Pada beberapa peristiwa penting, misalnya menyambut tamu-tamu negara beberapa tarian tradisional digelarkan. Ini adalah sebuah hal yang berbeda jauh dengan fungsi sebelumnya.

Pemerintah kota Samarkand sendiri, menurut Ny. Tamara yang menjadi pemandu selama beberapa jam mengelilingi kota tua itu, berencana untuk mengembalikan Registan Square sebagaimana fungsinya semula, yakni sebagai tempat para siswa menuntut ilmu agama. Harapan yang sama juga dikemukakan oleh Imam Kepala di komplek masjid makam Imam Bukhori sedikit di luar kota Samarkand.

Dalam dialog dengan Presiden Soeharto sang Imam menyatakan bahwa walikota setempat berjanji akan membantu membangun kembali madrasah di komplek tersebut yang pada zaman komunis sempat ditutup. Ja berharap kedatangan Presiden dapat turut mempercepat realisasi dari rencananya itu.

Memang sejak ambruknya Uni Soviet dan negara-negara ini menyatakan kemerdekaannya, berbagai langkah untuk memulihkan kehidupan beragama telah dimulai. Dalam kurun waktu 1990-1991 saja setidaknya di Kazakstan telah dibangun 250 masjid baru yang merupakan sumbangan masyarakat. Sebuah madrasah juga telah dibangun. Alquran juga te1ah diterjemahkan dalam bahasa Kazaks, selain itu juga telah diterbitkan jurnal keislaman.

Di Turkmenistan dari 16 mesjid yang sebelumnya ada, maka pada tahun 1994 jumlahnya telah menjadi 181. Dan yang menarik Presiden Niyazov bersama para menteri kabinet dan pejabat tingginya telah menunaikan ibadah haji. Suatu hal yang belum dilakukan oleh para pemimpin.

Asia Tengah Lainnya

Untuk Uzbekistan kemajuan yang samajuga telah dicapai, kini di negara ini ratusan masjid telah berdiri dari jumlah sebelumnya yang hanya berjumlah 160 buah. Demikian pula halnya dengan lembaga pendidikan keagamaan telah didirikan. Yang menarik di Tashkent kini telah didirikan sebuah perguruan tinggi Islam.

Meskipun era baru pasca komunis tersebut mempunyai dampak positif terhadap

perkembangan kehidupan beragama, bukan berarti juga tidak mengandung sisi positif. Kini jika Anda turun di bandara Almaty, atau berjalan di beberapa sudut kota, dengan mudah dapat ditemukan berbagai tabloid porno yang dijual dengan bebas.

“Ini memang dampak dari prestmika.” kata Rosa gadis Rusia yang menjadi pemandu selama di Almaty.

Kembali ke cerita tentang Gulya, jika ia mau dijadikan rujukan sebagai potret remaja setempat. Ketika saya tanyakan apakah ia mengerti tentang Alquran, ia cuma menggeleng sambil tersipu. Demikian pula ketika saya tanya tentang shalat. Saya mesti mengulang-ulang, kata prayer (orang yang shalat) berkali-kali dania tetap tak mengerti. Barulah ketika kemudian saya menunjukkan gerak dengan tangan bersedekap dan kemudian rukuk ia baru tertawa senang.

“Oh itu!! Kakek saya yang sering melakukan. Tadi pagi sekitar pukul lima, ia melakukannya.” katanya.

Menurut Gulya ayahnya yang kini berusia 43 tahun dan ibunya yang berusia 41 tahun tak pernah melakukan aktivitas keislaman tersebut. Kegiatan itu hanya dilakukan oleh generasi tua yang berusia di atas 70 tahun seperti kakeknya.

Cerita Gulya setidaknya bisa dijadikan gambaran betapa efektifnya kekuasaan komunis selama 70 tahun menghapuskan praktek syariat keagamaan di kawasan itu. Setidaknya ada dua generasi yang kini betul-betul terbebas dari pengaruh dan tradisi Islam, Gulya dan kedua orang tuanya bisa dijadikan salah satu contoh.

Di Tashkent kami bertemu dengan Sharaf Husanov (19) dan Shavkat Yakubov (19), dua orang mahasiswa yang sedang praktek kerja di hotel Uzbekistan. Mereka sempat bingung ketika saya tanya jam berapa waktu setempat untuk shalat Ashar. Keduanya sempat berpandangan sebelum sempat menjawab, padahal keduanya mengaku Islam, sebuah sikap yang lebih jelas ketimbang Gulya yang bingung tentang agamanya.

Dengan tersipu-sipu keduanya mengaku tak pernah menjalankan shalat. Mereka hanya mengangguk-angguk  ketika  saya jelaskan  dari sekitar  190 juta  bangsa

Indonesia, 90 persen di antaranya adalah umat Islam. Mereka menjalankan shalat lima kali sehari. Tentu saja saya tak bercerita kepada mereka, bahwa meskipun tidak di bawah paksaan komunis, dan ibadah tidak dilarang malah dianjurkan, banyak juga orang Islam di Indonesia yang tak menjalankan shalat lima waktu. Saya tak berniat membuat mereka bingung.

Sumber : REPUBLIKA (24/04/1995)

____________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 655-659.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.