PRESIDEN SOEHARTO PADA SEMINAR NASIONAL BUDAYA BANGSA : RUKUN SAJA BELUM CUKUP

PRESIDEN SOEHARTO PADA SEMINAR NASIONAL BUDAYA BANGSA : RUKUN SAJA BELUM CUKUP[1]

 

Jakarta, Kompas                                                                              .

Presiden Soeharto mengatakan, saling pengertian dan kerukunan saja ternyata belumlah cukup betapa pun pentingnya hal itu. Karena itu, terutama untuk menghadapi tantangan masa depan, diperlukan kerja sama erat antarseluruh golongan dan lapisan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan asal golongan.

Hal itu ditegaskan Kepala Negara ketika membuka Seminar Nasional Budaya Bangsa di TMII Jakarta, Jumat (10/11). Selama ini, tutur Presiden, masing-masing umat beragama telah laksanakan amanat konstitusional dengan baik ke dalam diri masing-masing. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, juga dicapai banyak kemajuan dalam membangun saling pengertian dan kerukunan antar umat.

Walaupun di sana-sini masih terdapat masalah setempat yang masih memerlukan perhatian, menurut Presiden, secara keseluruhan telah dibuktikan bahwa kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dalam kenyataan.

“Perbedaan dalam anutan agama tidak perlu menjadi tugas dan tanggungjawab kita sebagai warga negara. Hanya dengan cara inilah, kita akan dapat mempunyai kekuatan nasional yang dapat diandalkan untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang yang terbuka. Kita memerlukan langkah lebih lanjut.” kata Presiden.

Kepala Negara mengatakan, jika benar-benar diperhatikan, kehadiran agama­agama besar dunia di Indonesia telah memberikan sumbangan yang amat penting bagi proses pembangunan kebudayaan bangsa.

Karena itulah, dengan tiada ragu sejak tahun 1988 MPR menetapkan Garis­Garis Besar Haluan Negara yang memuat arahan, umat beragama serta berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mempunyai tanggungjawab bersama untuk terus-menerus dan bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etik yang kukuh bagi pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila.

Seminar ini diselenggarakan oleh lima organisasi cendekiawan yang mengelompokkan diri berdasarkan agama. Mereka adalah FCHI (Forum Cendekiawan Hindu Indonesia), ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam se-Indonesia), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), KCBI (Keluarga Cendekiawan Budha Indonesia) dan PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia).

Seminar akan berlangsung hingga 13November dengan tema Membudayakan Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa dan subtema Memperkukuh Persatuan dan

Kesatuan Bangsa sebagai Inti Ketahanan Nasional di Tengah Interaksi Peradaban Dunia.

Pada kesempatan itu, Presiden Soeharto juga membuka Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Plaza Monumen Persahabatan KTT Gerakan Non Blok, TMII.

Amat Bersejarah

Presiden menyatakan, menghargai pertemuan tersebut. Bahkan ia menyebutnya sebagai prakarsa yang “amat bersejarah” dari para pimpinan lima organisasi cendekiawan umat beragama tersebut.

Seminar ini, katanya, jelas bukan seminar agama-agama, tetapi tentang budaya bangsa. Sebab itu, Presiden melihat seminar ini sebagai pendalaman dari pembahasan Kongres Kebudayaan Nasional  1991.

“Amatlah wajar jika kita memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap pembangunan kebudayaan nasional. Juga amatlah wajar bahwa prakarsa pertama diambil oleh para cendekiawan umat beragama, yang peduli terhadap masa depan manusia secara menyeluruh maupun terhadap masa depan bangsanya.” tutur Kepala Negara.

Sebab, katanya, kebudayaan bangsa tidaklah statis. Baik karena perkembangan di kalangan pendukungnya sendiri maupun karena pengaruh dari luar, maka bagian demi bagian kebudayaan itu telah berubah.

Sebagian perubahan  itu memperkukuh  mengembangkan  dan memperluas cakupan budaya asli yang kita warisi dari zaman lampau. Sebagian lagi perubahan itu memperlemah, mempersempit bahkan melenyapkan warisan budaya masa lampau.

“Kita memang perlu terus-menerus memantau dengan cermat perkembangan kebudayaan di sekitar kita. Kita harus menulah-milah unsur-unsurnya yang baik dan akan kita kembangkan, dengan unsur-unsur yang sudah kurang sesuai dengan dinamika gerak masyarakat kita.” ujar Presiden.

Aspek Iptek

Menurut Kepala Negara, salah satu aspek kebudayaan yang perlu diserap, dikembangkan dan didayagunakan untuk memajukan kebudayaan nasional adalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Dikatakan, penguasaan iptek merupakan kunci penting guna memasuki abad 21.

“Kita perlu mempersiapkan setiap warga negara-terutama kanak-kanak, remaja dan kaum muda yang akan menjadi orang di masa depan itu untuk mengenal, memahann dan menguasai iptek itu.” demikian Presiden.

Sebab itu pula, Presiden menyambut baik adanya Pusat Peragaan Iptek dalam lingkungan TMII ini sebagai salah satu sarana pendidikan nonformal untuk lebih memasyarakatkan iptek.

Kepala Negara berharap gedung dan seluruh peralatannya akan diotak-atik kanak-kanak dan remaja untuk memenuhi hasrat keingintahuan mereka. (vik/osd)

Sumber : KOMPAS (11/11/1995)

________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 692-694.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.