KETUA GNB : KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN HARUS MENJADI PERHATIAN UTAMA

KETUA GNB : KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN HARUS MENJADI PERHATIAN UTAMA[1]

 

Copenhagen, Kompas

Pada prinsipnya kebijakan pembangunan harus menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, dengan tetap memberi perhatian utama pada masalah kemiskinan dan meningkatnya pengangguran. Sebab kedua masalah itu bisa menyebabkan instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti longgarnya ikatan sosial, integritas sosial, dan melemahnya nilai-nilai hubungan antar manusia.

Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non Blok (GNB) periode 1992-1995 menegaskan masalah itu dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Sosial di Bella Center, Copenhage, Denmark, Sabtu (11/3). Dari Bella Center, wartawan Kompas Ansel da Lopez, Maria Hartiningsih dan Rien Kuntari melaporkan, Presiden Soeharto membacakan pidato itu pada urutan kedua pukul 10.20 waktu setempat atau pukul 16.20 WIB sekitar tujuh menit, setelah Presiden Cile, Eduardo Frei Ruiz Tagle.

Persidangan resmi dibuka Ketua KTT, PM Denmark Poul Nyrup Rasmussen, dilanjutkan pidato Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali. Keduanya kemudian menyambut kedatangan Ratu Margarethe II dari Denmark. Pada hari pertama konferensi, 44 kepala negara diberikan kesempatan untuk berbicara di depan sidang pleno. Selebihnya akan tampil di hari kedua, termasuk Wakil Presiden AS, Al Gore.

Suasana KTT mulai terasa Sabtu pagi. Pasukan berseragam dan polisi anti huru­hara dikerahkan. Jalanan menuju gerbang Bella Center agak macet. Pemeriksaan dilakukan lebih ketat, dan antrian masuk melalui press center meliuk seperti naga yang panjangnya lebih 500 meter.

Demonstrasi yang rencananya dilakukan begitu pertemuan tingkat kepala negara dimulai, jangan dibayangkan sehebat demonstrasi di negara lain yang dengan mudah menjurus menjadi riot. Di Copenhagen, demonstrasi bisa saja dilakukan oleh hanya dua orang yang membawa satu spanduk berisi pernyataan apa saja, dari kondisi dalam negeri (penolakan terhadap masuknya Denmark ke dalam Uni Eropa), sampai persoalan Bosnia.

Demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan dengan jumlah yang lebih besar yang mengecam KTT Pembangunan Sosial dan persoalan-persoalan yang berkaitan di dalamnya,pun selalu berjalan dengan damai.

Pengalaman GNB

Presiden Soeharto menekankan, kesimpulan bahwa kebijakan pembangunan harus tetap menempatkan perhatian kepada manusia, didapat dari pengalaman Indonesia memimpin Gerakan Non Blok selama tiga tahun. Diakui, pertumbuhan ekonomi memang sangat penting, tetapi tidak bisa menjadi tujuan utama pembangunan.

“Kami menyadari bahwa dunia yang damai dan berkeadilan sosial masih jauh dari kenyataan, intoleransi antar umat beragama, konflik etnis, diskrirninasi ras, dan nasionalisme sempit masih menghambat proses hubungan antar manusia, antar bangsa, dan bahkan menjadi sebab disintegrasi negara.” kata Kepala Negara.

Pada saat bersamaan, situasi ekonomi global membuat malapetaka bagi negara berkembang, terutama dengan adanya proteksionisme, rendahnya harga komoditi negara berkembang menurunnya aliran modal, kurang akses teknologi dan beban utang yang melumpuhkan keadaan ini memperlebar jurang antara negara kaya dan miskin.

Setelah itu dunia pun dihadapkan pada masalah-masalah berat seperti perusakan lingkungan, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan sengketa antar manusia. Presiden menekankan masalah itu hanya bisa dihadapi dengan saling bekerja sama untuk tujuan yang sama, menyeluruh dan tidak tambal sulam.

Namun penyelesaian menyeluruh hanya bisa dihasilkan dengan pandangan dan komitmen jauh ke depan. Ditegaskan kerjasama berlandaskan komitmen politik yang berkelanjutan akan dapat mengumpulkan sumber-sumber keuangan dan kemampuan lain untuk menyelesaikan masalah besar.

Dalam hal ini negara-negara berkembang berharap KTT Pembangunan Sosial ini bisa menjadi awal perjalanan ke arah kemajuan sosial, keadilan sosial, dan perbaikan mutu, kehidupan rakyat seluruh dunia.

Masalah lain yang menjadi keprihatinan internasional kata Kepala Negara adalah keamanan pangan, khususnya di Afiika. Saat ini ada 21 dari 38 negara dengan tingkat keamanan pangan rendah. Menghadapi masalah ini, GNB melalui KTT 10 menggariskan upaya meringankan kemiskinan dengan berbagai cara, di antaranya meningkatkan produksi pangan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan tingkat menteri di Bali, Oktober 1993. Pertemuan ini untuk memformulasikan kebijakan meningkatkan pangan dan meringankan kemiskinan.

Kepala Negara mengatakan penduduk di negara berkembang tumbuh dengan cepat yang mengakibatkan pengangguran sangat besar dan merugikan. Keadaan ini memerlukan teknologi baru untuk meningkatkan kesempatan kerja produktif.

“Industrialisasi tidak boleh sampai merusak lingkungan dan program pembangunan harus dipusatkan pada manusia.” tegas Presiden.

Usaha Indonesia

Untuk mengatasi keadaan itu, lanjut Kepala Negara, saat ini Indonesia sedang berusaha menciptakan pola pertumbuhan yang membuka kesempatan kerja seluas-­luasnya, menanamkan lebih banyak modal ke wilayah pedesaan, memperbaiki infrastruktur pedesaan, melaksanakan land reform, diimbangi dengan pendidikan dan pelatihan yang diorientasikan ke pasar, strategi pembangunan yang membuka kesempatan kerja seluas-luasnya dalam kaitan kebutuhan sosial. Presiden menggambarkan, Indonesia kini sedang melaksanakan Repelita VI yang merupakan awal tahap pembangunan jangka panjang kedua yang tetap mendasarkan pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan stabilitas nasional.

Salah satu keberhasilan Indonesia di era jangka panjang pertama adalah mengentaskan kemiskinan, dari sekitar 70 juta penduduk miskin tahun 1970 atau sekitar 60 persen menjadi 23,5 juta atau 13,7 persen tahun 1993.

“Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti karena dalam periode tersebut jumlah penduduk Indonesia telah bertambah dengan 73 juta orang.” kata Presiden.

Pemerintah menetapkan tiga kebijakan, yaitu memberi perhatian besar pada pembangunan ekonomi pedesaan dengan membentuk infrastruktur sosial dan fisik, reformasi ekonomi dan deregulasi. Indonesia juga memberi perhatian khusus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan memberi kesempatan seluas­luasnya pada setiap warga untuk mengenyam pendidikan.

Sedang sebagai peserta aktif dalam peraturan Internasional. Indonesia secara konsisten mendukung dan ingin terus terlibat dalam kerjasama konstruktif untuk menciptakan masyarakat global yang lebih baik. Dalam kaitan ini, Kepala Negara menegaskan, Indonesia mendukung sepenuhnya persetujuan dalam KTT Pembangunan Sosial ini.

Indonesia juga berharap seluruh peserta KTT akan mengimplementasikan ProgramAksi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari deklarasi dan berharap agar peranan PBB ditingkatkan lebih lanjut. Bagi Indonesia, peranan PBB sangat penting, tidak hanya untuk membantu negara-negara yang sedang kacau, melainkan dalam mewujudkan Tata Dunia Baru.

Saat Bertindak

Sementara Sekjen PBB Boutros-Boutros-Ghali menekankan, inilah saat untuk bertindak, karena tidak ada satu pun sistem ekonomi saat ini baik di negara berkembang, transisi maupun maju yang bisa mengatasi masalah-masalah pembangunan sosial.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, setiap negara mengungkapkan keprihatinannya mengenai kemiskinan, pengangguran dan disintegrasi sosial.” ujarnya.

Sedang PM Denmark mengimbau semua negara untuk mempertimbangkan kembali masalah penghapusan utang bagi negara miskin (LDC’s). Namun penghapusan itu benar-benar harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang paling miskin, misalnya dengan memenuhi kebutuhan kehidupan dasar di bidang kesehatan, air minum, perumahan, pendidikan, lapangan kerja dan kesempatan yang setara antara laki-laki dengan perempuan.

“Saya mengharapkan agar semua negara menggunakan sumberdaya yang ada untuk melaksanakan komitmen kita, termasuk di negara maju. Kita telah belajar dari pengalaman bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak bisa melindungi kita dari masalah-masalah sosial dan marjinalisasi. Disini kita juga memerlukan kepastian politik.” tegasnya.

Sumber : KOMPAS (12/03/1995)

_____________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 712-715.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.