TANPA KESETIAKAWANAN SOSIAL, KESENJANGAN SULIT DIJEMBATANI[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto mengingatkan kembali, dalam zaman pembangunan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi sangat diperlukan. Terlebih lagi karena Indonesia memandang pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Bersyukur bangsa Indonesia memiliki kesetiakawanan sosial yang kuat, sehingga mendorong, mereka yang memiliki pendapatan tinggi mengulurkan tangan membantu mereka yang belum dapat tinggal di perumahan yang layak. Tanpa kesetiakawananan sosial, maka kesenjangan sosial sulit dijembatani.
Penegasan ini dikemukakan oleh Presiden Soeharto ketika meresmikan rumah susun nelayan Muara Angke di Jakarta Utara, Jumat (25/8) pagi. Hadir antara lain Ny. Tien Soeharto, Menteri Sosial Ny. Inten Soeweno, serta Gubernur DKI Jakarta dan Ny. Surjadi Soedirdja.
Menurut Presiden, rumah susun yang dibangun untuk para nelayan di Muara Angke ini mempakan bukti dari besarnya rasa kesetiakawanan sosial bangsa, sebab pembangunan rumah susun ini diprakarsai oleh organisasi sosial kemasyarakatan, yaitu Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Dana yang dihimpun yayasan ini sumbangan para dermawan, dari mereka yang ingin membantu sesama anggota masyarakat.
Rumah susun nelayan Muara Angke mernpakan rurnah susun kedua di DKI Jakarta yang dibangun dengan dana dari masyarakat dan dikumpulkan atas dasar rasa kesetiakawanan sosial. Rumah susun pertama adalah rurnah susun Bidaracina di Jakarta Timur yang juga diresmikan Presiden Soeharto 24 Maret 1995 bersamaan dengan pencanangan “Gerakan Kesetiakawanan Sosial Nasional”.
“Perlu disadari bersama, kesetiakawanan sosial tidaklah menjadi kewajiban suatu golongan masyarakat tertentu saja. Kesetiakawanan sosial adalah nilai-nilai kehidupan masyarakat kita yang baik, yang perlu dipelihara bersama. Hanya dengan sikap itulah kita akan dapat mewujudkan gerakan kesetiakawanan sosial secara nasional, sehingga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa kita.” demikian Kepala Negara dengan menambahkan,
“Hanya melalui semangat kebersamaan kegotong royongan dan kesetiakawanan sosial, masalah-masalah sosial dan masalah lainnya, yang dihadapi bangsa Indonesia dapat ditanggulangi”.
Awal yang Baik
Kepala Negara berharap cara pembangunan rumah susun ini akanmenjadi contoh bagi pembangunan perurnahan sejenis di daerah-daerah dan di kota-kota lainnya. “Rumah susun ini paling tepat bagi DKI Jakarta, terutama karena terbatasnya lahan yang tersedia. Pengalaman selama inipun menunjukkan warga Jakarta juga telah mulai terbiasa hidup di lingkungan rurnah susun. Ini adalah awal yang baik bagi kehidupan masyarakat kita di kota-kota besar.” kata Presiden.
Dikatakan, masalah perumahan di kota-kota besar mernpakan masalah yang rumit.
“Penduduk kota terus bertambah pesat. Kebutuhan fasilitas umum terus meningkat, seperti jalan-jalan raya, pasar, rnmah-rnmah sakit, sekolah-sekolah. Semuanya itu memerlukan tanah. Ini mengakibatkan jumlah tanah yang tersedia bagi perumahan terasa menjadi terbatas. Hal ini telah mendorong meningkatnya harga tanah. Apabila dibiarkan, maka hanya mereka yang mempunyai penghasilan tinggi saja yang akan mampu menempati rumah-rumah yang layak. Dan mereka yang penghasilannya belum tinggi, terpaksa harus tinggal di wilayah-wilayah kumuh yang tidak sehat.” ungkap Kepala Negara
Kepada para nelayan yang mendapat kesempatan menghuni rumah susun ini, Presiden minta agar dengan semangat kesetiakawanan sosial senantiasa menjaga kebersihan, kesehatan dan ketentraman di rumah susun ini, serta lingkungan sekitarnya.
Perumahan nelayan di Muara Angke merupakan rumah nelayan percontohan untuk pengembangan permukiman nelayan lainnya di seluruh Indonesia. Karena itu Presiden berharap agar suasana kehidupan di sini juga dapat menjadi contoh di daerah lain.
Tanpa Uang Muka dan Bunga
Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja melaporkan, rumah susun nelayan Muara Angke dibangun 5 blok masing-masing terdiri dari 16 unit sehingga seluruhnya berjumlah 80 unit, dengan luas masing-masing 21 meter persegi.
Penghuni rusun ini diprioritaskan para nelayan di Muara Angke, yang saat ini bertempat tinggal di lokasi permukiman yang tidak layak huni. Diharapkan dengan cara sewa beli selama 15 tahun, tanpa uang muka dan tanpa bunga pinjaman, para pelayan akan mampu menempati rumah susun ini. Apalagi cicilan adalah Rp.55.000/ bulan untuk lantai bawah, dan Rp.45.000/bulan untuk lantai atas. Ini, menurut Gubernur Suljadi, telah dipertimbangkan sesuai dengan kemampuan para nelayan, sehingga diharapkan dapat memberikan peluang yang cukup besar bagi para nelayan sebagai penghuni rumah susun.
Penataan dan pembangunan pemukiman nelayan di Muara Angke Jakarta Utara sudah dilaksanakan sejak tahun 1978. Pada tahap pertama, telah dibangun 540 unit rumah sebagai tahap awal dari rencana Pemda DKI Jakarta membenahi permukiman nelayan di Muara Angke. Pada tahun 1988, Presiden Soeharto menyumbang 1.203 unit rumah Bermis. Akhir 1992, Pemda DKl Jakarta melalui APBD dan kerja sama dengan swasta melanjutkan pembangunan, sehingga jumlah rumah nelayan di Muara Angke tercatat 936 unit Jumat kemarin, jumlah itu bertambah lagi menjadi 1.016 unit setelah rusun sumbangan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan diresmikan penggunaannya.
Gubernur DKl Jakarta Suljadi Soedirdja mengatakan pembangunan rumah susun merupakan pilihan bagi tempat tinggal warga kota Jakarta di rnasa depan, mengingat lahan semakin terbatas sementara jumlah penduduk terus bertambah. Menurut Sujadi, untuk mengantisipasi perkembangan itu, di DKI Jakarta sudah dibangun rusun 8.734 unit, sementara yang sedang dibangun 2.687 unit. Jika selesai, seluruhnya nanti berjumlah 11.421 unit terdiri dari tipe 18,21 dan 27. Sampai tahun 2000, Pemda DKI Jakarta secara bertahap merencanakan membangun rumah susun berbagai tipe sebanyak 27.568 unit.
Sumber : KOMPAS (26/08/1995)
___________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 741-744.